-- Asep Salahudin
Congo nyurup dina puhu/mulih ka jati mulang ka asal/sirnaning pati
Rawayan Jati
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ketika mendapat SMS dari Dhipa Galuh Purba tentang kepergian H.R. Hidayat Suryalaga (1941-2010), sama sekali tidak percaya sebab tampak jelas dalam Refleksi Budaya akhir tahun di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Rabu (22/12), beliau masih sehat biantara--meskipun kadang dilanda batuk--dengan bahasa Sunda yang ngoncrang dan fasihat.
Ironisnya, yang diperbincangkan dalam pertemuan itu adalah rasa kehilangan yang mendalam sepanjang 2010 atas wafatnya banyak budayawan Sunda. Lidah masih basah, bahkan masa belum beranjak ke 2011, tiba-tiba justru beliau sendiri menyusul tepat pukul 24.00 malam, 25 Desember. Kita berdoa semoga beliau mendapatkan damai di alam keabadian. Karya-karya dan jejak langkahnya menjadi bukti tentang kesalehan almarhum.
Banyak karya yang telah ditorehkannya. Catat saja misalnya "Etika sarta Tatakrama" (1994), "Wulang Krama" (5 jilid, 1994), "Gending Karesmen & Dramaturgi" (1995), "Kiat Menjadi MC Upacara Adat Sunda" (1996), "Rineka Budaya Sunda dan Lutung Kasarung" (1984). Tentu yang paling fenomenal adalah "Nur Hidayah", berupa saritilawah Alquran 30 juz dengan bahasa Sunda pada "Wangun Pupuh" yang dikerjakan selama 15 tahun (1981-1996), "Racikan Budaya Sunda" (1996), dan "Kasundaan Rawayan Jati" (2009).
Di samping itu, Abah Surya pun aktif sebagai Redaktur Surat Kabar Kudjang (1966-1978), pendiri dan penasihat Teater Kiwari (mulai 1975), penasehat Yayasan Nur Hidayah (mulai 1992), Ketua Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan (1992-2000), Ketua Daya Sunda (1994), Ketua YAS (1996-1998), pengurus LBSS (2000-2005), Staf Ahli Kebudayaan Unpas, pengurus Yayasan Daya Budaya Pasundan (2001-2004), dan panasihat Padépokan Penca Daya Sunda dan Damas.
Filsafat Sunda
Karya terakhir yang disilaturahmikan di Aula "PR" adalah Filsafat Sunda. Dalam kesempatan itu pula, Abah Surya menandaskan bahwa salah satu hal yang absen dalam atmosfer kebudayaan Sunda adalah filsafat. Padahal tidak ada suatu bangsa dan suku yang dapat mencapai harkat tinggi kecuali di belakangnya kokoh tradisi filsafat baik sebagai produk atau proses. Jangan dibandingkan dengan negara lain, bahkan dengan suku Jawa sekalipun Sunda banyak ketinggalan langkah. "Jawa telah mampu mendokumentasikan filsafatnya lebih dari dua ratus buku," ujarnya.
Tak ada yang menyangsikan lagi tentang kedudukan filsafat sebagai pintu masuk untuk meraih keadaban. Apa yang digelisahkan Abah Surya mengingatkan saya kepada tulisan Sultan Takdir Ali Syahbana. Tulisan itu berbunyi, "Menilik kepada pentingnya kedudukan filsafat sebagai pusat, sebagai inti dan sari daripada pikiran sesuatu bangsa yang terjelma dalam penghidupan masyarakat dan kebudayaan, telah selayaknya orang-orang yang menjadi pemimpin dalam pekerjaan pembangunan negara Indonesia yang sedang kita bentuk bersama-sama mempunyai kewajiban mendasarkan usaha dan perbuatannya atas dasar pertimbangan filsafat. Yaitu agar setiap usaha, pekerjaan, atau ciptaannya tidak tergantung di awang-awang, tetapi berdasarkan atas kesungguhan mencari pokok kebenaran sedalam-dalamnya. Atau sekurang-kurangnya mesti dapat mereka menempatkan dan menghargai aliran-aliran yang berkuasa di dunia sekarang sampai kepada dasar dan pokoknya yang terakhir, hingga dapatlah mereka mempunyai pedoman bagi segala usaha dan perbuatan mereka."
Kalau boleh bernostalgia, sejatinya Yunani dinobatkan sebagai pewaris peradaban Barat alamatnya tidak lain kerena pewarisan filsafatnya yang mengagumkan. Dalam tradisi Islam, puncak peradaban yang pernah digapainya pada abad pertengahan adalah masa-masa ketika filsafat justru mengambil peranan dalam nalar umat. Para pemikir Muslim dengan kreatif merayakan kebebasan berpikir tanpa khawatir mendapatkan stigma sesat dan kafir. Hal ihwal dicari persoalannya secara mendasar.
Kaitan antara filsafat dan kesundaan: inilah yang menjadi perhatian Abah Surya. Dalam konteks ini, apa yang dirisaukan Ajip Rosidi (2006) sedikit terjawab. "Banyak sekali orang yang berbicara tentang ’falsafah Sunda’ yang menimbulkan tanda tanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ’falsafah Sunda’? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang ’falsafah Sunda’ hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik, dan kirata basa saja. Ngawur!"
Perhatiannya yang tinggi terhadap filsafat tampaknya yang membuat Abah Surya selalu berpikir kritis dan senantiasa melihat segala hal dari akar persoalannya. Misalnya ketika orang Jawa Barat menyerukan tentang kewajiban mencintai sarakan tanah Pasundan, dia hanya tertawa, "Tanah Sunda yang mana? Hampir 70 persen lingkungan Sunda itu sudah bersertifikat orang lain, belum lagi persoalan-persoalan ketika Sunda dilihat dari aspek politik, sosial, agama, dan seterusnya."
Filsafat moral
Tentu saja haluan filsafat yang dikembangkan Abah Surya lebih menjurus kepada filsafat moral semacam al-Ghozali dalam tradisi Islam atau Immanuel Kant di Barat. Ketika orang sibuk mendiskusikan tentang tautan filosofis-kultural "Islam Sunda dan Sunda Islam", beliau dengan sangat meyakinkan membuktikannya dengan dilahirkan karya yang menjadi magnum opus-nya "Nur Hidayah" berupa saritilawah Alquran 30 juz "Wangun Pupuh" itu.
Manakala orang mempertanyakan hakikat (ontologi) kesundaan, Abah Surya memberikan empat tipologi. 1) Sunda subjektif. Seseorang berdasarkan pertimbangan subjektifnya merasa bahwa dirinya adalah urang Sunda, maka dia adalah urang Sunda. 2) Sunda objektif. Seseorang dianggap orang lain sebagai urang Sunda, maka orang tersebut sepantasnya mampu mengartikulasikan anggapan orang itu bahwa dirinya orang Sunda. 3) Sunda genetik. Seseorang yang secara keturunan memiliki silsilah urang Sunda pituin. 4) Sunda sosio-kultural. Orang yang walaupun secara genetik bukan orang Sunda, tetapi menjadikan falsafah dan kebudayaan Sunda sebagai haluan hidupnya.
Islam Sunda dan Sunda Islam dijadikannya "satu tarikan napas" tanpa satu sama lain saling menegasikan. Dalam kerangka ilmunya (epistemologi) dipadukan tak ubahnya gula dan peueutna. Membaca "Nurhidayahan" (dan "Nadoman Nurul Hikmah") apalagi kalau diiringi kecapi suling alam bawah sadar, kita seakan dibawa tidak dalam imajinasi "Islam Arab padang pasir", tetapi justru ke lingkungan Pasundan yang rimbun dengan padang rumput dengan segala nuansa mistis-mitologisnya, dengan segala keramahan dan gadis cantiknya.
Islam dan Sunda menjadi sebuah kearifan perenial tempat orang mencari kebahagiaan dan kesenangan setelah sebelumnya melakukan fase-fase tirakat sirna ning cipta (hirup darma wawayangan/subhanallah), sirna ning rasa (ngertakeun bumi lamba/alhamdulillahi rabbil alamin), sirna ning karsa (hirup dinuhun, paeh dirampes/bismillahirrahmanirrahim), sirna ning karya (muga bareng jeung parengna. Malati lingsir ku wanci, campaka ligar ku mangsa/insya Allah), sirna ning diri (henteu daya teu upaya, mun diaku eta kupur mun ditampi eta kapir/la haula wa la quwwata illa billahil adhim), sirna ning hurip (sapanjang maluruh batur kuring deui kuring deui sapanjang neangan kuring batur deui batur deui/assalamu alaikum wa rahmatullohi wa barakatuh), sirna ning wujud (rengse pancen dipigawe, tutas tugas dipilampah/Q.S. 6: 162-163), sirna ning dunya (mulih ka jati mulang ka asal/astagfirullahal adhim), sirna ning pati (congo nyurup dina puhu, dalitna kuring jeung Kuring/inna lillahi wa inna ilaihi rajiun).
Akhirnya, semoga almarhum bahagia. Congo nyurup dina puhu. Dalitna kuring jeung Kuring.
Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment