-- Teddi Muhtadin
ADA dua titik tolak yang diajukan panitia untuk merefleksikan budaya tradisi Sunda 2010 berikut prediksinya pada tahun mendatang, yaitu (1) kematian beberapa seniman Sunda dan (2) fenomena menguatnya identitas kesundaan, seperti yang tampak dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda yang diselenggarakan beberapa bulan yang lalu.
Sebagai makhluk biologis, kematian adalah sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, kematian yang begitu dekat dari satu seniman ke seniman lain, dari satu tokoh ke tokoh lain dalam ranah budaya Sunda menjadi semakin penting untuk kita renungkan. Yang lebih penting bukan mengapa mereka meninggal dunia, tetapi bagaimana penghargaan kita terhadap mereka?
Saya teringat ucapan sejarahwan Dr. Mumuh Muhsin pada 4 Desember lalu, bertepatan dengan hari kelahiran Dewi Sartika. Menurut dia, jika Dewi Sartika dianggap kecil perannya dibandingkan dengan tokoh lain, orang Sunda pasti marah. Namun ketika momentum untuk membicarakannya datang, tak ada satu media pun yang menyambutnya. Padahal, menurut dia, "siapa yang menguasai hari ini akan menguasai masa lalu, dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan."
Hal inilah yang saya pertimbangkan ketika menghadapi kematian seniman dan tokoh Sunda sepanjang 2010. Mulai dari Abah Us-us, seniman komedian senior (meninggal dunia 8 Mei 2010), Mimi Rasinah, maestro tari topeng Cirebon (meninggal dunia 7 Agustus 2010), Tatang Benyamin Koswara (meninggal dunia 14 Agustus 2010), Nano S. seniman karawitan (meninggal dunia 29 September 2010), dan Kang Ibing (meninggal dunia 19 Agustus 2010).
Selain mereka, kita pun kehilangan Saleh Basarah, tokoh nasional marsekal TNI AU (meninggal dunia 11 Maret 2010), Uka Tjandrasasmita, arkeolog Islam (meninggal dunia 22 Mei 2010), Wawan Juanda, promotor di dunia pertunjukan (meninggal dunia 5 Juli 2010), Achdiat K. Mihardja (meninggal dunia 8 Juli 2010), dan Setia Permana (meninggal dunia 7 Agustus 2010).
Seperti dikatakan salah satu tokoh dalam drama "Pintu Tertutup" karya Sartre, kalau tidak lambat, kematian itu dirasakan manusia datang terlalu cepat. Akan tetapi, sebenarnya kita tidak perlu berandai-andai. Kita percaya bahwa kematian seseorang selalu sesuai dengan takdirnya, baik waktu maupun tempatnya. Yang mesti kita renungkan adalah bagaimana penghargaan kita terhadap mereka. Siapakah yang akan merawat hasil karya mereka? Adakah lembaga yang menyimpan karya mereka? Apakah keluarga para seniman dan tokoh-tokoh itu mengerti arti penting karya mereka yang meninggal dunia?
Mendokumentasikan karya mereka secara keseluruhan, membicarakan capaian dan kegagalan mereka, dan menyosialisasikan karya mereka kepada khalayak menjadi hal yang penting. Mumpung mereka belum terlalu lama meninggalkan kita. Saya pernah punya pengalaman menemukan buku-buku milik Muh. Rustandi Kartakusumah di kaki lima Jalan Dewi Sartika. Buku-buku itu tercecer ketika pemiliknya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Jika ada lembaga yang dapat dipercaya mampu merawat dan memanfaatkan karya-karya mereka, mungkin keluarganya dapat mewakafkan karya-karya para seniman ke lembaga ini. Dengan begitu kita akan mengetahui, misalnya, mengapa Muh. Rustandi Kartakusumah berkarya seperti itu, seperti apa idenya, siapa yang memengaruhinya, dan sebagainya.
Bahwa karya-karya Muh. Rustandi Kartakusumah atau Nano S., Abah Us-us, Kang Ibing merupakan karya seni Sunda yang tidak perlu diragukan lagi, tetapi sebagaimana gen di dalam tubuh kita, karya mereka pun mewarisi anasir dari karya seni lain atau pemikiran lain. Saya kira, jika karya mereka ditelaah secara keseluruhan, insya Allah kita akan menemukan hal tersebut. Jika demikian, inilah identitas sebuah karya yang analog dengan identitas individu dan analog juga dengan identitas suatu bangsa (atau suku bangsa).
Identitas seperti inilah yang kita temukan dalam situs Batujaya. Menurut Hasan Djafar, berdasarkan ciri-ciri yang tampak dari struktur bangunan diketahui bahwa latar keagamaan di percandian itu adalah agama Buddha, tepatnya Buddha Mahayana. Jika situs tersebut merupakan bagian dari identitas kesundaan, identitas kesundaan itu dari sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari agama Buddha. Sebagaimana pertalian identitas kesundaan dengan Islam di masa berikutnya. Pertalian-pertalian itulah yang membentuk identitas kesundaan. Menghilangkannya hanya berarti mengamputasi identitas kesundaan yang sudah terbentuk oleh sejarah.
Identitas seperti ini pulalah yang dapat kita cermati dari buku Atlantis karya Arysio Santos. Namun, jika situs Batujaya bercerita tentang kedatangan atau masuknya pengaruh luar karena tanah Sunda menjadi surga yang memikat, dalam Atlantis justru bercerita sebaliknya. Buku ini bercerita tentang kepergian atau penyebaran karena tanah surga ini sudah menjadi neraka yang mematikan.
Dengan demikian, identitas kesundaan bukan sesuatu yang tertutup, melainkan terbuka. Ia bertalian dengan banyak hal: baik kelahiran maupun kematian, baik kedatangan maupun kepergian. Dengan begitu, orang Sunda dapat memberi kontribusi kepada identitas kesundaan. Akan tetapi, kontribusi hanya memungkinkan jika memiliki pengetahuan yang utuh tentang kesundaan. Pengetahuan hanya mungkin berkembang dengan adanya data atau dokumen. Di sinilah pendataan atau pendokumentasian menjadi penting.
Teddi Muhtadin, dosen Fakultas Sastra Sunda Universitas Padjadjaran Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment