-- Budiarto Shambazy
SEBAGAI bekas warga Pujowinatan dan Gunung Ketur, saya tersinggung dengan perlakuan terhadap Yogyakarta. Rasanya kurang kerjaan memperuncing ”monarki versus demokrasi”.
Buyar kenangan manis menikmati wangi jamu lempuyang dan rasa aman-nyaman nongkrong di bawah pohon beringin raksasa di halaman Pakualaman. Rasa sedih melihat Yogyakarta diselimuti wedhus gembel berubah jadi murka.
Perlakuan itu meremehkan peranan historis dan kultural Yogyakarta. Ini melting pot yang sejak dulu menaungi ragam suku, agama, dan kelas. Makanya secara kultural disebut ”daerah istimewa”.
Lebih menjengkelkan isu ini diketengahkan saat rakyat Yogyakarta dan sekitarnya sedang menghadapi bencana Merapi. Rakyat Yogyakarta, seperti kata pepatah, ”sudah jatuh, tertimpa tangga pula”.
Celakalah mereka yang tak belajar sejarah. Seperti kata Bung Karno, ”Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Namun, bagi sebagian orang, singkatan Jas Merah rupanya telah berubah jadi ”Sejarah Saya Memang Parah”.
Bicara sejarah, Yogyakarta entitas terlekat dan terdekat dengan perjuangan kemerdekaan. Jika tak ada Hamengku Buwono IX yang jadi Sultan September 1940 dan Paku Alam VIII yang naik takhta April 1937, jalan cerita perjuangan bisa saja lain.
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan wilayah mereka bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebulan setelah proklamasi. Entah berapa banyak aset kedua kerajaan kecil itu disumbangkan untuk perjuangan.
Tak sedikit kerajaan meniru langkah Yogyakarta, antara lain Solo, Bone, Makassar, Bugis, dan raja-raja di Bali. Saat itu NKRI belum besar, antara lain baru terdiri dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Yogyakarta bukan hanya jadi ibu kota, melainkan juga pusat reli perjuangan kaum muda bersama kota Jakarta, Solo, Bandung, Malang, dan Surabaya. Suka atau tidak, Hamengku Buwono IX tokoh perjuangan penting yang bisa disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.
Kalau Jakarta pusat diplomasi pasca-kemerdekaan oleh pemerintahan Sutan Syahrir, Yogyakarta—dan Jawa Tengah—seumur-umur pusat perjuangan senjata perang gerilya lawan Jepang dan Belanda. Itu sebabnya TNI, yang dibentuk Panglima Besar Sudirman, lahir di sana.
Tak heran ”Serangan Umum” yang diprakarsai Hamengku Buwono IX selama enam jam di Yogyakarta ikut mendukung upaya pengakuan kedaulatan wilayah di mata dunia. Jangankan berjuang, Hamengku Buwono IX bahkan merelakan sebagian tanah untuk Universitas Gadjah Mada.
Kesetiaan Yogyakarta (baca: daerah/provinsi) selama era perjuangan patut diketengahkan kembali. Loyalitas itu relevan dikaji terus karena problem pelik yang belum selesai sejak dulu sampai kini berkaitan dengan pembangkangan daerah.
Awal pembangkangan terhadap NKRI dimulai 1949 setelah Belanda menerima kemerdekaan tahun 1949 versi Konferensi Meja Bundar (KMB). Den Haag menerima KMB sekalipun menolak klaim kita atas Papua Barat.
Per 27 Desember 1949 Indonesia jadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas 16 negara kecil yang terpecah, termasuk RI (Republik Indonesia). Jumlah ini peningkatan dua kali lipat dibandingkan setelah proklamasi.
RIS tak tahan lama karena menimbulkan kekecewaan negara yang tergabung di dalamnya. Kekecewaan itu sebagian besar bersumber dari kegagalan sistem demokrasi parlementer.
Rakyat lelah menyaksikan kabinet jatuh-bangun cuma karena soal sepele. Kalau didominasi pimpinan partai/tokoh kurang kompeten, kabinet kurang efektif karena sering trial and error.
RIS dibubarkan 17 Agustus 1950 dan Pemerintah RI kembali lagi ke konstitusi UUD 1945 dan dipimpin Soekarno-Hatta. Selesaikah pembangkangan daerah? Ternyata belum.
Sejarah membuktikan pembangkangan pasca-RIS lebih kerap terjadi, sebagian bahkan berubah jadi pemberontakan. Salah satu faktor penyebab praktik politik devide et impera Belanda yang masih ingin bercokol.
Mereka memanfaatkan kelompok/pemimpin daerah sebagai kepanjangan tangan. Mereka, misalnya, melancarkan provokasi di Bandung melalui Kapten Raymond Westerling yang memperalat sejumlah tokoh lokal Jabar. Pembangkangan/pemberontakan satu dasawarsa setelah merdeka itu menimbulkan ketegangan pusat-daerah hingga kini. Salah satu penyebab, kultur kekuasaan yang konservatif, sentralistis, dan feodalistis.
Tipologi kekuasaan ini bersumber dari ”kultur Mataram” sekitar abad ke-16 sampai ke-19. Elite Mataram emoh ada ”dua Matahari”, apalagi ketika mulai kehilangan karisma, wibawa, dan kuasa.
Fenomena ”Jas Merah” terulang lagi karena elite anti ”dua Matahari” itu. Jangan salah, bukan Hamengku Buwono X yang membangkang, melainkan para kawula yang mendukungnya.
Sumber pembangkangan sama: kekecewaan terhadap kegagalan sistem campuran presidenter/parlemensial. Rakyat lelah elite kekuasaan mengurus hal-hal sepele, abai terhadap moral, etika, dan praktik politik devide et impera.
Ternyata belum ada yang berubah.
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Desember 2010
No comments:
Post a Comment