Sunday, December 12, 2010

[Kehidupan] Mobilitas Sosial: Mimpi adalah Kunci

-- Ilham Khoiri

MIMPI adalah kunci/untuk kita/menaklukkan dunia/Berlarilah, tanpa lelah/Sampai engkau meraihnya.... (Nidji, ”Laskar Pelangi”)

Lirik lagu yang dinyanyikan Giring Ganesha dari grup Nidji itu mengingatkan kita pada semboyan lama: mimpi bisa mendorong siapa pun untuk meraih cita-cita. Semangat semacam ini sekarang telah dituai beberapa orang yang terlibat dalam novel dan film ”Laskar Pelangi”.

Perjalanan hidup Muslimah (59), seorang guru yang menjadi tokoh novel Laskar Pelangi, bisa menjadi contoh. Dalam buku, Bu Mus—begitu sapaannya—digambarkan sebagai pendidik yang berjuang dan menyemangati para siswa SD Muhammadiyah yang hidup kesusahan. Dirundung kekhawatiran gedung sekolah itu roboh atau bubar, perempuan itu tetap setia mengajar.

Setelah novel dan film Laskar Pelangi meledak, Muslimah masyhur dan ditempatkan sebagai salah satu ikon guru pejuang. Sekitar 20 penghargaan dari berbagai lembaga diterimanya. Di antaranya, Aisyah Award dari Muhammadiyah dan Satya Lencana yang diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Apa yang saya peroleh sekarang lebih dari apa yang saya mimpikan. Saya hanya beruntung karena sebenarnya banyak guru lain yang lebih berjasa,” katanya, akhir November lalu.

Muslimah kini juga langganan diundang untuk memberikan ceramah dalam berbagai diskusi atau seminar di banyak kota. Beberapa kali dia muncul dalam acara televisi atau radio. Semuanya meminta dia untuk berbagi pengalaman sebagai guru di daerah terpencil.

Banyak juga yang datang berkunjung ke rumah. Mereka penasaran ingin melihat langsung sosok guru itu. ”Pernah ada perempuan cantik dari Aceh yang datang memeluk saya sambil menangis. Katanya, terima kasih ibu telah memberi inspirasi kepada saya,” papar Muslimah yang sudah mengajar lebih dari 30 tahun.

Muslimah telah menjadi guru yang tenar. Meski begitu, perempuan ini tetap hidup bersahaja di rumahnya yang tak jauh dari Desa Linggang, Gantong, Belitong. SD Muhammadiyah seperti dalam novel itu tutup tahun 1991, tetapi spirit guru memberikan inspirasi bagi banyak orang.

Hal serupa dialami Zulfany Pasha (14), pemeran Ikal dalam film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Setelah sukses membintangi film itu, hidup siswa kelas I SMAN II Tanjung Pandan, Belitong, itu berubah. Tak hanya populer, remaja ini bahkan jadi semacam ikon anak kampung yang sukses di dunia film. Saat promosi film di beberapa kota, dia tampil bak selebriti yang dikerumuni remaja lain yang ingin sekadar berdekatan, minta tanda tangan, mencium, atau mencubitnya.

Lebih dari itu, dia senang karena bisa menjajal dunia film yang dulu seolah hanya milik orang kota dan tak terjangkau orang daerah. ”Senang bisa belajar kepada Mas Riri Riza dan Mbak Mira Lesmana. Siapa tahu, nanti bisa main film saat dewasa,” katanya.

Zulfany juga bahagia bisa membantu ekonomi keluarga dengan honor jutaan rupiah dari main film. Sebagian honor itu ditabung untuk kebutuhannya saat besar nanti.

Lebih kurang begitu juga pengalaman remaja lain yang bermain dalam film Laskar Pelangi. Sebut saja Verrys Yamarno (14) yang memerankan tokoh Mahar; Ferdian (15), pemeran Lintang; atau Levina (15) yang jadi gadis China, Aling. ”Gembira bisa bantu ekonomi keluarga,” kata Ferdian yang ayahnya, Iskandar, seorang buruh petambang timah.

Mobilitas

Perubahan yang dialami orang-orang lokal yang menembus pentas nasional itu memperlihatkan adanya mobilitas sosial. Bayangkan saja, keteladanan seorang guru sekolah di pulau kecil diapresiasi banyak orang. Anak-anak kampung yang sederhana, biasa keluyuran di bekas tambang timah, menjelma sebagai bintang film; sejajar dengan anak-anak kota yang necis, suka nongkrong di mal.

Mobilitas lebih besar bakal dialami para pemain film Laskar Pelangi beberapa tahun lagi. Selain honor main film, mereka juga mendapat beasiswa dari Miles Films sampai beres sekolah. Masuk kuliah nanti, mereka dijanjikan dapat beasiswa dari Pertamina hingga lulus jadi sarjana.

”Mungkin saya nanti akan pilih jurusan psikologi. Saya mau jadi psikolog,” kata Verrys Yamarno dengan bersemangat. Beberapa anak lain juga sudah mulai memikirkan jurusan di perguruan tinggi.

Ini menggembirakan. Setidaknya ada jaminan bahwa mereka nanti punya sokongan dana untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Modal ini sangat berarti bagi sebagian besar keluarga mereka yang umumnya berasal dari kalangan sederhana. Apalagi biaya kuliah sekarang kian mahal.

”Kalau tidak dapat beasiswa, saya belum tahu mau mencari dana dari mana untuk kuliah anak. Sebagian honor main film anak juga ditabung untuk menambah kebutuhan lain saat kuliah,” kata Hermanto (40), ayah Zulfany, seorang pedagang pakaian di Pasar Tanjung Pandan.

Setidaknya mereka tak harus kembali mengalami susahnya mendapat pendidikan sebagaimana anak-anak Laskar Pelangi dulu. Dengan kuliah, diharapkan mereka bisa lebih memberdayakan diri. Mereka berpotensi menjadi generasi baru yang lebih maju.

Inspirasi

Perubahan yang terjadi pada orang-orang Laskar Pelangi juga memendar pada masyarakat Belitong lain. Meski tak masuk sebagai tokoh novel atau ikut main film, sedikit banyak mereka juga merasakan pendaran semangat karya sastra itu.

Salah satunya Angga (11), siswa kelas V SDN 28 Gantong. Remaja ini tampak serius mengikuti karnaval dalam Festival Laskar Pelangi. ”Saya bangga dengan Laskar Pelangi dan saya ingin meniru semangat mereka,” katanya.

Sebenarnya spirit semacam ini tak hanya menyemangati masyarakat Bangka Belitung. Inspirasi untuk jangan menyerah dalam memperoleh pendidikan telah menjalar ke beberapa daerah lain di Nusantara yang kondisi pendidikannya malah mungkin lebih buruk lagi.

Agaknya energi dari Laskar Pelangi ini akan terus dikenang. Selama infrastruktur pendidikan di negeri ini masih lemah dan masih banyak warga kekurangan, kaum muda patut mengambil ilham dari novel itu agar tetap ngotot mewujudkan cita-citanya. Meminjam lirik lagu yang dinyanyikan Nidji, sebenarnya spirit Laskar Pelangi memang ”takkan terikat waktu”.

Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010

No comments: