Judul buku : Catatan Harian Seorang Mafia Pajak
Penulis : Heru Prabowo
Penerbit : Edelweiss, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2010
Tebal buku : 295 halaman
TATKALA berita Gayus Halomoan P. Tambunan—seorang pegawai pajak golongan rendah yang memiliki rekening berjumlah miliaran rupiah—mencuat ke tengah masyarakat, pemberitaan itu pun langsung terasa menempelak semua orang. Bagaimana mungkin seorang pegawai pajak golongan III A bisa memiliki rekening segendut itu? Tudingan bahwa "kekayaan" itu didapat dari hasil korupsi atau setidaknya menggunakan wewenang jabatan untuk memperkaya diri sendiri, ternyata tidaklah sekadar isapan jempol.
Kisah yang terangkum dalam buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak yang ditulis Heru Prabowo ini tidak saja membenarkan tudingan dan keberadaan mafia-mafia pajak itu, tetapi juga mengungkap dengan gamblang bahwa negeri ini benar-benar bobrok. Sebab, selain mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh pegawai-pegawai pajak (sekelas Gayus), buku ini juga mengisahkan keculasan oknum di institusi kepolisian dan kejaksaan: seputar jual beli kasus, layanan khusus di balik jeruji yang dibisniskan, dan bahkan hingga sindikat mafia hukum.
Berkisah tentang seorang pegawai pajak tingkat rendah, buku ini menuturkan kehidupan tokoh "aku" (Dimas Prakoso) yang tergerus arus ikut korupsi ketika ia menjadi pegawai pajak di kota Surabaya. Idealisme yang dia sesap di bangku kuliah (di STAN PRODIP Departemen Keuangan) dan bahkan sempat menjadi seorang santri di sebuah ma’had ternyata tidak menjadikan dia bersiteguh, taat, dan konsisten dalam memeluk iman untuk berjiwa bersih dan hidup dengan payung dari ajaran agama. Pelajaran korupsi yang ia temui di kantor pajak seakan membuka matanya, bahwa ada sejuta pintu mulai dari mengundurkan tanggal, permainan restitusi, hingga perubahan database bagi orang pajak untuk bisa membeli mobil, rumah, dan bahkan menjadi kaya raya.
Tidak berlebihan kalau dalam waktu singkat tokoh aku bisa beli rumah, mobil, dan punya bisnis (multiplayer dan komputer). Tapi ketika bisnis yang ia bangun nyaris ambruk dan ia didesak Pak Johan (mantan atasannya) untuk mengembalikan modal (yang ditanamkan) ia digenggam kebuntuan. Ia pun kemudian tergelincir tawaran Anton untuk kerja sama guna menjual faktur pajak fiktif. Tapi kecerobohan yang ia lakukan dalam penjual faktur fiktif itu ternyata harus ia bayar mahal.
Dua tahun kemudian, ketika penyidik pajak melakukan sebuah gebrakan, ia pun diciduk: dijebloskan ke tahanan (bersama Anton, Sandi, Tommi, dan Huda) dengan tudingan merugikan negara sebesar empat miliar rupiah. Tetapi, di balik penangkapan itu masih menyimpan misteri.
Setelah dia melakukan pengusutan, belakangan dia tahu bahwa dia ternyata telah dikorbankan Pak Roy, atasannya yang ingin membangun sebuah citra (agar dianggap bersih, mendukung gerakan antikorupsi), dengan menjebloskan anak buahnya yang korupsi—untuk mengincar jabatan Dirjen Pajak atau setidaknya sekditjen.
Kasus yang membelitnya itu pun kemudian membawanya ke jalan pertobatan. Apalagi, tatkala ia tahu istrinya sedang mengandung anak pertama dan ia tak ingin memberi makan buah hatinya dengan hasil korupsi. Sebuah ending yang tak dinafikan merupakan pesan penting dari buku ini. Apalagi dalam penjara, tokoh aku mengalami pergualatan batin yang membuka mata kita semua bahwa negeri ini benar-benar bobrok dan dililit masalah akut korupsi. Tapi kesadaran pemberantasan itu dimulai dari kesadaran tokoh aku—yakni dari setiap pribadi.
Tak berlebihan jika buku ini menggedor hati nurani siapa saja untuk selalu ingat: korupsi ada di mana-mana, tapi keteguhan hati adalah kunci utama untuk "tetap berpegang teguh"—dalam melawan korupsi. Pesan penting itulah yang menjadikan buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak ini tidak saja penting dibaca, tetapi juga "membuka mata" semua rakyat Indonesia akan kebobrokan di tubuh Dirjen Pajak dan mafia pajak yang berkantor di institusi tersebut.
Buku ini juga menggambarkan dengan gamblang bahwa pegawai pajak sekelas Gayus—yang sebenarnya bukan siapa-siapa— tidak lebih adalah mafia pajak keroco, dan di tingkat atas ada sejumlah aktor besar yang kuat—sebagaimana Pak Roy—, tetapi ironisnya tak tersentuh hukum. Bahkan memiliki peluang untuk menjabat Dirjen Pajak atau setidaknya sekditjen. Sungguh sebuah gambaran dari negeri korup!
N. Mursidi, cerpenis tinggal di Jakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment