Sunday, December 05, 2010

Cahaya di Antara Hegemoni dan Resistensi, Pembacaan atas Pementasan Monolog Gelombang Sunyi

-- Dr Junaidi M Hum

MESKIPUN Indonesia telah merdeka baik secara de facto maupun de yure, secara hakiki kita sebenarnya belum merdeka. Bagi golongan elit atau penguasa mereka telah sangat merdeka. Tetapi bagi golongan masyarakat kecil atau masyarakat biasa mereka tidak merasakan kemerdekaan itu. Penjajahan secara fisik oleh bangsa lain memang tak ada lagi di Indonesia. Tetapi penjajahan secara ekonomi dan kultural oleh bangsa sendiri masih terjadi dan akibatnya lebih menyakitkan bagi orang-orang kecil. Ketidakberdayaan masyarakat tempatan menjadi peluang bagi orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi. Akibatnya, masyarakat tempatan selalu ditindas dan secara sistematis sengaja untuk tidak diberdayakan. Penindasan terhadap masyarakat oleh bangsa sendiri itulah yang digugat dalam pementasan monolog yang berjudul Gelombang Sunyi oleh Teater Selembayung pada tanggal 27-28 November 2010.

Pementasan monolog Gelombang Sunyi merupakan manifestasi dari respon sutradara, Fedli Azis terhadap dua hal, yakni pertama pembacaan atas salah satu novel terkenal yang juga berjudul Gelombang Sunyi, ditulis oleh Taufik Ikram Jamil, seorang novelis Riau yang terkenal. Pembacaan suatu karya dan menuliskannya lagi dalam bentuk yang berbeda merupakan tradisi sastra yang sudah lama berlaku dalam dunia kreativitas sastra. Penulisan kembali ke dalam bentuk yang berbeda merupakan apresiasi yang dilakukan seseorang untuk menghargai karya yang lebih dahulu ditulis. Meskipun monolog ini diangkat dari novel Gelombang Sunyi, dalam penafsirannya kita sebaiknya membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang terdapat dalam novel tersebut. Kedua, monolog ini merupakan respon sutradara terhadap realitas yang sering dihadapi seorang jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya ke pelosok-pelosok kampung di Riau. Emosional dan kesadaran sutradara sebagai seorang jurnalistik mendorongnya untuk mengangkat penindasan yang dirasakan masyarakat dan penyiksaan yang dirasakan oleh seorang jurnalis ke dalam karya kreatif. Dalam monolog ini terlihat idealisme seorang jurnalis berbenturan dengan kekuatan ekonomi yang mengatur bangsa ini. Idealisme dipaksa untuk kalah demi mendapatkan keuntungan ekonomi.

Perlu Apresiasi
Pementasan monolog sepatutnya diberikan apresiasi atas beberapa dasar: pertama, pementasan teater agak jarang dilakukan di Riau sehingga pementasan monolog ini dapat memenuhi rasa kerinduan kita terhadap teater. Pementasan teater sangat bermanfaat dalam melatih sensitivitas kita terhadap tema kehidupan, apalagi bila tema yang diangkat bersentuhan langsung dengan ironi realitas kehidupan yang kita alami, seperti yang diangkat dalam monolog Gelombang Sunyi. Kita sadar masih banyak penindasan yang dirasakan oleh anak-anak negeri ini akibat nafsu kekayaan sekelompok orang. Salah satu manfaat dari kegiatan berkesenian memang mendorong kita memahami pengalaman dan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Meskipun cuplikan kehidupan diangkat dalam bentuk karya rekaan melalui media kesenian, jiwa kita akan terprovokasi untuk peduli dengan kondisi orang lain.

Kedua, Gedung Anjungan Seni Idrus Tintin tergolong megah sehingga sangat disayangkan bila tidak gunakan secara maksimal untuk pementasan teater. Pementasan monolog Gelombang Sunyi merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengisi kemegahan gedung teater tersebut. Seyogyanya, kemegahan gedung itu berbanding lurus dengan peningkatan kreativitas teater di Riau. Komunitas-komunitas teater yang terdapat di Riau seharusnya diberikan kemudahan dan didorong untuk menggunakan tempat ini. Selanjutnya diperlukan manajemen yang jelas dalam mengatur penggunaan gedung ini agar keberadaannya benar-benar memberikan manfaat bagi kemanjuan kesenian di Riau. Ketika pementasan monolog gelombang sunyi, kondisi kurang elok sudah terlihat dalam gedung megah itu. Pasalnya, ruang semegah itu tidak dilengkapi dengan penyejuk ruangan atau AC, padahal ruangan seperti itu harus dilengkapi dengan AC. Jika tidak, kita kepanasan dan bahkan bisa sesak nafas akibat kekuarangan udara. Mengapa tak ada AC? Entahlah! Membangun gedung yang megah itu sangat mudah tetapi merawatnya yang susah. Kita berharap pementasan teater selanjutnya dapat dilengkapi dengan AC seperti acara-acara formal pemerintah yang dilaksanakan di tempat ini biasanya dilengkapi dengan AC.
Ketiga, pementasan monolog ini membuktikan bahwa kita memiliki anak-anak muda yang kreatif dan mampu menghasilkan karya. Nama besar sang Idrus Tintin yang melekat dalam gedung itu menjadi semangat untuk mendorong kreativitas teater di Riau. Meskipun dengan kemampuan finansial yang sangat minim mereka mampu menghasilkan sebuah karya. Kreativitas mereka ini harus selalu diperhatikan dan didorong untuk terus tumbuh.

Instansi terkait dan institusi kesenian/kebudayaan perlu mempunyai strategi dalam peningkatan kreativitas kesenian di Riau. Pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta, dan komunitas seni dalam membangun kesenian perlu pula disinergikan. Kegiatan berkesenian memerlukan peran kekuasaan, uang, dan kreativitas. Mudah-mudahan melekatnya logo pemerintah Provinsi Riau dalam pementasan monolog Gelombang Sunyi benar-benar memberikan dukungan yang berarti bagi peningkatan kreativitas berkesenian.

Keempat, sang aktor muda yang memainkan peran dalam monolog ini tampak begitu piawai memainkan perannya sebagai seorang jurnalis. Meskipun monolog ini tergolong panjang, ia mampu secara konsisten memainkan perannya. Kualitas vokal dan bahasa tubuh yang dimainkannya cukup mendukung penyampaian pesan-pesan yang disampaikan dalam monolog ini.

Kelima, diawal cerita sulit bagi orang awam untuk mengenali musik yang digunakan untuk mendukung pementasan monolog Gelombang Sunyi. Ternyata, musik yang digunakan diadopsi dari musik atau bunyi-bunyian yang berasal dari tradisi masyarakat Kampar. Bunyi-bunyian itu memberikan penguatan bahwa setting cerita monolog ini berada di suatu daerah yang berada dalam masyarakat Melayu Riau.

Keenam, permainan cahaya yang elok dalam pementasan monolog Gelombang Sunyi memberikan makna yang mendukung tema yang diangkat. Konsep cahaya kotak-kotak menyimbolkan kondisi kehidupan yang terkotak-kotak pula. Ada kehidupan yang terang dengan cahaya dan ada pula kehidupan yang gelap tanpa cahaya. Kehidupan yang terang dirasakan oleh pihak penguasa yang mempunyai kekuatan untuk menguasai kelompok yang tertindas yang berada dalam kehidupan yang gelap.

Kearifan Lokal yang Tercabik Berharap Cahaya
Monolog Gelombang Sunyi mengangkat persoalan lokal yang menimpa masyarakat Riau, yakni penyerobotan tanah masyarakat tempatan oleh perusahaan yang mendorong munculnya resistensi oleh masyarakat dan seorang jurnalis. Kearifan lokal masyarakat tempatan tercabik-cabik oleh kekuatan ekonomi kelompok elit. Kondisi ketercabikan itu mengharapkan cahaya yang dapat membebaskan masyarakat dari dominasi pihak penguasa. Karena itu, kata “cahaya” menjadi sangat penting dalam monolog ini.

Dalam pementasan monolog Gelombang Sunyi beberapa kali sang aktor mengucapkan kata “cahaya”. Tampaknya “cahaya” menjadi salah satu kata kunci yang perlu diinterpretasikan untuk memahami monolog ini. Bahkan kata pertama kali yang diucapkan aktor ketika berada di pentas adalah cahaya. Perkataan “cahaya” yang disampaikan jurnalis diikuti pula dengan permainan cahaya yang diikuti pula dengan “gelap”. Selanjutnya sang aktor berkata “kegelapan mengebat tangan dan kakiku, kemudian dengan bengis mulai mengunci mulutku. Tak jelas, apakah di sekitarku berwarna hitam mengakap, tetapi pasti pandanganku tak lagi memiliki jarak, sehingga tidak ada benda-benda yang dapat ditangkap oleh alat penglihatanku. Aku merindukan cahaya, karena dengannya semula kukira aku dapat memahami warna hitam yang menempel di biji mataku sekarang. Cahaya, cahaya…”. Ketika sang aktor larut dalam sejarah masa silam kerajaan Riau-Lingga juga diucapkan “Di puncak kegelapan akan ada cahaya, akan ada cahaya”….. Bukankah aku sekarang dalam kegelapan yang sempurna. Lalu, dimanakah puncak kegelapan itu sehingga cahaya bisa merasuk dalam tubuhku. Dimanakah sinar. Ah, mengapa terlalu lama ku gapai cahaya”. Pada akhir monolognya, sang aktor pun berkata “Kini cahaya memelukku erat. Cahaya, cahaya, cahaya….”

Dalam monolog ini kata cahaya (terang) sengaja dipertentangkan dengan gelap. Sebagai binary opposition (pasangan berlawanan), “cahaya” dan “gelap” ditampilkan untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda. Bagi sang jurnalis “cahaya” bermakna kebebasan untuk hidup dan menyampaikan sesuatu. Kebebasan memang menjadi nilai asas bagi seorang jurnalis seperti yang terkandung dalam freedom of the press. Kebebasan itu sendiri berkaitan erat dengan kehidupan. Tanpa kebebasan, kehidupan manusia tidak bisa merasakan dirinya sebagai human being atau manusia seutuhnya.
Ketika sang jurnalis disiksa oleh aparat akibat pemberitaannya, ia berada dalam kondisi gelap. Ini bermakna dalam kondisi gelap, hidupnya tidak bebas. Gelap memang sering digunakan untuk menandai kehidupan yang tidak baik, penderitaan, belenggu, dan tirani. Sang jurnalis dituduh telah membantu mengurus bantuan hukum bagi Kahar dan delapan belas penduduk kampung yang dituduh telah membakar barak maupun kantor perusahaan besar nasional. Pembelaan yang dilakukan jurnalis baik dengan cara membantu mencarikan bantuan hukum maupun pembelaan melalui pemberitaan di media massa membuat dirinya berhadapan dengan pemegang kekuatan ekonomi di negeri ini. Padahal yang dilakukan jurnalis adalah membela kepentingan masyarakat tempatan yang mana tanah mereka telah dirampas oleh perusahaan. Tindakan pembakaran barak perusahaan yang dilakukan masyarakat sebenarnya bertujuan untuk membela hak mereka yang telah dirampas secara paksa oleh pihak perusahaan.

Sang jurnalis berada dalam kondisi gelap karena ia merasakan penyiksaan. Meskipun sang jurnalis berada dalam kondisi gelap, ia terus berharap adanya cahaya yang bisa memberikan harapan hidup bagi dirinya. Kisah Sultan Riau-Lingga yang disampaikan ketika ia berada dalam kegelapan menunjukkan bahwa ia sedang memimpikan cahaya untuk menerangi hidupnya. Ia ingin terbebas dari penyiksaan yang dirasakannya. Ia yakin bahwa cahaya itu akan datang untuk menyelamatkan hidupnya.

Hegemoni dan Resistensi
Dalam monolog Gelombang Sunyi sangat jelas terlihat adanya hegemoni yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Hegemoni bermakna kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. (Ratna, 2007: 175). Dalam hubungan yang bersifat hegemonic ini pihak yang berkuasa menggunakan kekuatannya untuk menindas pihak yang lemah. Akibatnya, pihak yang lemah memberikan resistensi terhadap penindasan dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Pihak penguasa, perusahaan, dan aparat berada dalam posisi kekuasaan. Mereka bekerja sama untuk membela kepentingan perusahaan demi mendapatkan keuntungan ekonomi dengan cara merampas tanah masyarakat tempatan. Ironisnya, pihak penguasa dan aparat tidak membela kepentingan masyarakat tempatan tetapi mereka sebaliknya membela kepentingan perusahaan demi mendapat keuntungan ekonomi. Persoalan pemberian izin pemanfaatan hutan oleh penguasa sering berakibat buruk bagi kepentingan masyarakat tempatan. Tetapi karena ada agenda ekonomi, penguasa memberikan legalitas bagi perusahaan untuk memporak-porandakan hutan dan lahan masyarakat.

Pihak penguasa dan perusahaan adalah pihak yang mempunyai dominasi sedangkan pihak masyarakat tempatan termasuk sang jurnalis adalah pihak yang tersubordinasi. Bahkan, bila dilihat dari perspektif post-colonialism pihak penguasa dan perusahaan adalah penjajah sedangkan masyarakat adalah pihak yang dijajah. Aneh bukan? Ketika penguasa menjajah bangsanya sendiri. Ini adalah suatu kritikan tajam yang penting disampaikan dalam monolog Gelombang Sunyi.

Penindasan yang teramat dalam yang dirasakan masyarakat tempatan dan sang jurnalis mengharuskan mereka untuk melakukan resistensi atau perlawanan terhadap pihak penindas. Ada tiga bentuk resistensi yang ditampilkan dalam monolog ini, yakni masyarakat membakar barak perusahaan, sang jurnalis melaporkan pihak perusahaan kepada Lembaga Bantuan Hukum, dan sang jurnalis membuat berita yang cenderung membela masyarakat dan menyalahkan pihak perusahaan dalam kerusuhan yang melibatkan masyarakat tempatan. Resistensi yang dilakukan sang jurnalis mengakibatkan ia mendapatkan siksaan yang sangat menyakinkan. Sang jurnalis berperan sebagai orang yang menyuarakan suara orang-orang yang tidak dianggap memiliki suara (voice of voiceless) sehingga mereka tidak dapat membela hak-hak mereka. Begitu mulia tugas sang jurnalis dalam monolog ini. Bahkan sang jurnalis seperti cahaya bagi masyarakat tempatan karena tulisan-tulisannya yang kritis dapat membela kepentingan mereka.

Di Manakah Cahaya?
Bagi sang jurnalis cahaya itu adalah kebebasan. Bagi pihak perusahaan cahaya itu keuntungan yang melimpah dari tanah-tanah masyarakat tempatan yang mereka rampas. Bagi masyarakat cahaya itu adalah sang jurnalis yang telah berupaya membela kepentingan mereka. Adakah cahaya yang hakiki ditampilkan? Sang jurnalis berharap datangnya cahaya tetapi cahaya yang diharapkannya itu ternyata hanya untuk kebebasan keluarga dan dirinya sendiri. Ketika sang jurnalis memperoleh kebebasan dan keluar dari kegelapan ia diperintahkan untuk memikirkan keluarganya dari pada membela kepentingan masyarakat. Sehingga ketika ia memperoleh kebebasan, persoalan nasib dan hak masyarakat tempatan tetap tidak terselesaikan. Ternyata cahaya itu hanya fatamorgana. Cahayanya bersifat artificial atau semu. Tidak ada cahaya yang hakiki. Atau memang kita tidak mungkin meraih cahaya hakiki dalam kondisi hegemoni yang berhadapan resistensi.

Penutup
Audiens atau penonton diberikan ruang untuk menyimpulkan sendiri cerita yang disampaikan dalam monolog Gelombang Sunyi. Kita memiliki hak untuk memaknai monolog ini dengan kemampuan interpretasi yang kita miliki. Jika demikian apa makna “gelombang sunyi” dalam monolog ini? Mungkin saja ia bermakna ujian kehidupan berupa penderitaan dan penindasan yang dirasakan masyarakat akibat dominasi ekonomi orang-orang kaya. Penderitaan dan penindasan berada dalam kondisi sunyi sebab tiada orang yang benar-benar berjuang untuk melepaskannya. Resistensi yang dilakukan tidak sebanding dengan kekuatan hegemoni dari pihak penguasa. Alhasil, cahaya yang diharapkan pun sirna. Begitulah adanya kehidupan.

Dr Junaidi M Hum
, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Anggota KPID Provinsi Riau.Tinggal di Pekanbaru

Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Desember 2010,

2 comments:

kabut said...

mendebarkan dan penuh kejutan,,, thanks pak junaidi.

kabut said...

mendebarkan dan penuh kejutan,,, thanks pak junaidi.