-- M Burhanudin dan M Hilmi Faiq
MALAM kian larut. Ogung Ihutan, sang pemimpin ritual, berdiri dan menepukkan tangan memberikan aba-aba. Pertanda ritual suci komunitas Parmalim di Desa Samuaran, Toba Samosir, dimulai.
Alunan diatonis gondang, seni musik tradisional Batak pengiring ritual suci, pun membahana.
Puluhan tamu yang ada di sebuah rumah panggung, tempat digelarnya ritual, terdiam takzim. Hanya suara ritmik tetabuhan gondang ditingkahi sayatan melodik sarune yang terdengar. Tujuh alat musik yang dimainkan tujuh pargonsi, pemain gondang, mengalun cepat membangkitkan semangat. Terkadang terdengar menukik pelan mengharukan.
Sekitar 12 anggota keluarga tuan rumah acara berbaris menari manortor (tortor) di hadapan pargonsi, mengikuti alunan gondang. Sejam berselang, tempo musik kian cepat. Seorang perempuan tua, satu dari 12 orang yang manortor, kesurupan, tiba-tiba keluar dari barisan. Ia bergerak memutar. Tak lagi jinjit, bahkan terkadang melompat kecil. Raut wajahnya memerah. Di tengah tarian, ia tampak menangis.
Tak beberapa lama, sejumlah anggota keluarga lainnya mendekatinya. Berpelukan. Menangis bersama. Alunan gondang berhenti sejenak. Sang perempuan tua yang sudah terasuki roh suci itu lalu berbicara dengan mata terpejam. Penari lain mendengarkan tuturan itu. Itulah pesan roh suci melalui perempuan tua itu kepada para anggota keluarga. Roh suci yang hadir oleh alunan gondang.
Itulah puncak ritual suci Mardebata (puji syukur) warga pemeluk Parmalim, 21 Oktober lalu. Penganut Parmalim, sebagaimana warga Batak tradisional, meyakini, roh suci berkuasa atas hidup mereka. Untuk berkomunikasi dengan roh suci, gondang pun dimainkan.
Raja Marnangkok Naipospos, pemimpin tertinggi Parmalim, menegaskan, gondang merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Doa dan pengharapan disampaikan manusia saat gondang dimainkan.
Ada berbagai jenis lagu yang dimainkan dalam gondang. Tiap lagu berbeda tujuannya. Tergantung dari niat dan tujuan sang tuan rumah atau pemimpin adat.
Anggapan sakral masyarakat tradisional Batak atas gondang membuat penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sangat tinggi, bahkan sejajar dengan dewa. Pemain taganing disebut Batara Guru Hundul, sedangkan pemain sarune disebut Batara Guru Manguntar.
Pengajar Etnomusikologi dari Universitas Sumatera Utara, Ben Pasaribu, menjelaskan, gondang awalnya berfungsi sebagai alat musik dalam ritual keagamaan, seperti yang sampai saat ini diterapkan oleh umat Parmalim.
Hampir dalam semua kegiatan tradisional Batak, seperti pesta kelahiran, kematian, pernikahan, hingga hari besar, gondang hadir. Selain sebagai hiburan, gondang bermakna religius magis bagi mereka. ”Belakangan saya juga melihat perguruan tinggi mengajarkan gondang kepada mahasiswanya sebagai wawasan musik Nusantara,” kata Ben.
Komposisi unik
Menurut tradisi Batak, gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat musik, ansambel musik, sekaligus komposisi lagu. Umumnya dimainkan untuk mengiringi tari manortor.
Ada dua jenis gondang, yang terbagi berdasarkan ansambelnya, yaitu gondang sabangunan, biasanya dimainkan di halaman rumah; dan gondang hasapi, biasanya dimainkan dalam rumah. Nada yang dipakai dalam dua musik gondang itu tak berbeda.
Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon (alat musik tiup), taganing (5 kendang yang punya peran melodis), gordang (kendang besar penentu ritme), 3-4 gong yang disebut ogung (pembentuk ritme konstan), dan hesek (perkusi, biasanya kayu atau botol yang dipukul). Gondang hasapi terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil 2 senar), garantung (gambang kayu), sulim (suling bambu berselaput kertas getar), sarune etek (sejenis klarinet), dan hesek.
Komposisi musik gondang tergolong unik. Meski sama- sama terbagi dalam tangga nada sebagaimana musik umumnya, tapi disusun tidak sama persis alurnya. Selain itu, berbeda dengan tangga nada musik Barat yang memiliki tujuh tingkat, gondang hanya memiliki lima tingkatan nada diatonis mayor, yaitu do, re, mi, fa, sol. Ini seperti terdengar dari alat musik taganing dan garantung.
Keunikan nada ini, menurut Mark Kenyton, kandidat doktor dari Universitas Washington, Amerika Serikat, yang baru-baru ini meneliti gondang, membuat gondang memiliki nada pentatonik unik. Nada yang sulit ditemukan di tempat lain di dunia.
Bahkan, dibandingkan dengan musik pentatonik yang hampir sejenis, seperti gamelan Jawa dan Bali, gondang tetap berbeda karena setiap ansambelnya tak sama. Ketukan melodi gamelan Jawa dan Bali cenderung pakem, sedangkan gondang bervariasi, tergantung dari improvisasi dan estetis pemain sarune dan taganing, yang kadang bermain seperti sedang trance.
Khusus untuk taganing—disebut juga tagading atau tataganing yang berarti lima—memiliki keunikan tersendiri. Taganing tidak hanya mampu mengatur ritme musik, tetapi juga melodi yang mendominasi lagu. ”Itu mirip dengan hsaing waing di Burma dan entenga di Uganda,” papar Ben.
Namun, pengaruh budaya baru telah mengubah banyak hal. Di sebagian besar pertunjukan gondang semata hanya menonjolkan aspek hiburan. Kesakralan gondang mulai luntur. Para pargonsi sendiri tak banyak yang memahami kedalaman maknanya.
Bahkan, di banyak momen perayaan tradisional, seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian, sebagian masyarakat Batak tak lagi menggelar gondang. Mereka memilih seni hiburan modern, seperti organ tunggal dan musik Eropa.
Tonggo Raja Simangunsong, seniman gondang dari Porsea, Toba Samosir, mengungkapkan, kini sering terjadi sebulan tanpa undangan berpentas.
Kondisi ini semestinya menjadi perhatian semua pihak. Gondang dengan segala kesakralan dan keunikannya adalah kekayaan lokal bangsa....
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Desember 2010
No comments:
Post a Comment