Sunday, December 19, 2010

Menemukan Indonesia di Pinggiran

MENONTON Leo Kristi (61), yang berkarya sejak tahun 1970-an sampai sekarang, hampir selalu mengajak kita untuk menemukan Indonesia. Bukan merujuk pada cerita sejarah besar, melainkan dari potongan kisah-kisah kecil orang pinggiran.


Warm, fresh, and healthy, lautku/ Warm, fresh, and healthy

Warm, fresh, and healthy, rakyatku/ Warm, fresh, and healthy

Nusantara indah ini/ Cahaya jiwamu

Nusantara kaya ini/ Cahaya ragamu



Panji rayuku/ Panji rayu

Tetap semangat/ Ayo semangat, Indonesia

Belajarlah hingga ke ujung dunia/ Bermainlah hingga ke ujung dunia

Bercintalah, tanah pertiwi/ Tanah pusaka negeri

Bersamalah semua…



Lirik lagu ”Panji Rayu (Salam Kasih Ayah)” itu didendangkan Leo Kristi dalam ”Konser Rakyat” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (17/12) malam. Suaranya menggugah, iramanya mengalir pelan dengan iringan petikan gitar dan biola melengking-lengking. Pentas yang digelar kelompok penggemar Leo Kristi (LKers) ini sekaligus menandai peluncuran album terbarunya berjudul Warm, Fresh, & Healthy.

Kali ini Leo tampil bersama bersama Lusi Ayu (vokal), Liliek Jasqee (biola), Reddy (keyboard), Taufiq (bas), dan Sena Reksalegora (perkusi).

”Panji Rayu” selain menjadi judul album ke-11 Leo, lagu itu juga meneguhkan kembali gagasan tentang Nusantara. Gagasan ini dilihat sebagai bentangan pulau-pulau yang indah, kaya, dan rakyat kecil yang bersemangat. Ada optimisme yang meluap-luap di situ. Sebelum menyanyikan lagu ini, Leo memberi pengantar. ”Merah dalam putih. Bagaikan sang saka di hati,” katanya.

Seperti album-album sebelumnya, sebagian besar dari total 11 lagu dalam album ini juga mengungkapkan Indonesia dari peristiwa-peristiwa kecil. Itu terlihat dari lagu ”Ishatani”, ”Putu Sujenan”, atau ”Mana Bandung Gue”.

Dalam ”Ishatani”, Leo mengisahkan perjuangan petani yang bekerja di sawah dan ladang. Lagu itu bermula dari perjalanannya di Kalimantan dan melihat seorang petani yang bekerja mencangkul tanah hingga waktu shalat isya pada malam hari.

”Putu Sujenan” mencerminkan kerinduan akan Bali yang damai dan asri. Romantika itu menghilang akibat digerus perubahan zaman. ”Saya datang ke Bali tahun 1964 dan tahun 1974. Saat itu, semua masih tenang. Tahun 2000-an, saya datang lagi. Bali sudah ramai, banyak spa dan panti pijat,” katanya sebelum menyanyikan lagu ini.

Nusantara

Leo Kristi memang lekat dengan lagu-lagu yang melukiskan Nusantara dari pinggiran. Dia biasa berkelana hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, tinggal atau berkegiatan beberapa waktu, kemudian melahirkan lagu yang menyuguhkan denyut kehidupan rakyat.

Kisah petani, nelayan, bocah-bocah dusun, atau orang kampung banyak mewarnai lagu-lagunya. Begitu pula gambaran tentang sudut kota, kereta, atau sebuah pesisir. Itu tecermin dari lagu-lagu terkenalnya, katakanlah seperti ”Di Deretan Rel Kereta”, ”Gulagalugu Suara Nelayan”, ”Salam dari Desa”, atau ”Lenggang Lenggong Badai Lautku”.

Semangat itu juga terekam dalam album-albumnya yang dirilis secara terbatas sejak tahun 1975. Yang menarik, hingga sekarang, Leo juga tetap meneruskan penjelajahan kreatifnya itu. ”Saya tetap berjalan ke pelosok-pelosok dengan bebas, tanpa dipengaruhi apa pun. Saya ingin terus mengajak kita bersama-sama membangun semangat keindonesiaan, juga menjaga lingkungan,” katanya.

Kisah-kisah pedusunan Nusantara yang dilontarkan Leo masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia. Apalagi, bangsa ini sekarang masih tertatih menata diri dan tersedot dalam tarik-menarik kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Sementara kekuatan negara terlalu lemah, bahkan kerap absen membangun identitas kebangsaan bagi masyarakat.

Dalam situasi itu, lagu-lagu Leo Kristi menyuntikkan semangat untuk mencintai Tanah Air secara lebih santai, rileks, terbuka, dan penuh kebersamaan dengan spirit kerakyatan. Kisah perjuangan orang-orang kecil yang diangkatnya memberikan harapan: bangsa ini bisa terus berkembang menjadi besar.

Spirit nasionalisme ini pula yang membuat Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng menggemari lagu-lagu Leo Kristi. Jumat malam lalu, dia ikut menonton. Dia juga bersabar menunggu Leo muncul lagi setelah pamitan usai lagu kelima. Bahkan, Andi juga ikut menyanyi di panggung.

”Saya mengenal lagu-lagu Leo Kristi sejak 30-an tahun lalu, terutama ketika kuliah di Yogyakarta. Liriknya mengobarkan semangat nasionalisme. Ini sangat relevan dengan situasi Indonesia kapan pun juga,” kata Andi.

Tak hanya soal nasionalisme, lagu-lagu Leo Kristi juga membuka ruang kontemplasi. Pandangan yang romantik, bahasa puitis, dan musik kerakyatannya yang menyerap spirit anasir Nusantara bisa mengundang siapa pun untuk merenung lebih jauh perihal bangunan Indonesia.

”Dia itu legenda yang terus berkarya sampai sekarang,” kata Taufik Rahzen, yang mengikuti perkembangan musik Leo sejak tahun 1979.

Mungkin lantaran itu pula, para penggemar Leo juga masih terus setia mengikuti perkembangan karya-karyanya. Album Warm, Fresh, & Healthy ini juga hasil kerja keras para pencinta Leo yang tergabung dalam LKers. Kelompok ini memproduksi CD album ini secara terbatas, hanya 300 keping, dengan dana dari urunan di antara penggiat dan anggotanya. Setiap orang yang memberikan uang Rp 1 juta bakal dapat satu CD baru dan 10 CD lama.

”Sudah lama Leo tak buat album baru setelah album terakhirnya, ’Tembang Lestari’ (1995). Dengan saling bahu-membahu, kami membuat album untuk merekam lagu-lagu barunya yang tak masuk dalam 10 album lama,” kata Ramdan Malik, panitia pentas dan anggota LKers. (ILHAM KHOIRI)

Sumber: Kompas, Minggu, 19 Desember 2010

No comments: