Sunday, December 05, 2010

Perlawanan Itu Indah

-- Hikmat Darmawan

GAGASANNYA adalah perlawanan. Sesuatu yang nyaris ditinggalkan karena capek dan putus asa. Sebermula, kartun memang mengandung politik. Teknik menggambar kartun ala Barat lahir dari rahim Renaissance. Kitab pertama yang tercatat dalam sejarah seni adalah karya Mosini dari Italia, Diverse Figures (1646). Teknik yang seolah ”hanya cara menggambar” ini didasari oleh sebuah gagasan yang sebetulnya politis.

Ia lahir dari kepercayaan bahwa setiap manusia adalah individu yang unik. Dengan kata lain: individualisme. Ini sebuah paham yang sangat politis di era Kuasa Gereja Abad Kegelapan dan Feodalisme Eropa merajalela. Individualisme mengancam hak khusus para ningrat dan pengampu agama yang hanya mengakui keistimewaan mereka sendiri.

Teknik kartun yang menyederhanakan atau melebih-lebihkan (sering kali, keduanya sekaligus!) bertujuan menangkap keunikan individual tersebut. Baik keunikan ragawi obyek maupun sifat batinnya. Teknik melebih-lebihkan dalam kartun kemudian berkembang menjadi seni karikatur, yakni upaya penekanan pada satu aspek keunikan individu. Penekanan itu kemudian seringkali direntang menjadi parodi. Seni karikatur kini identik dengan baik parodi fisik maupun parodi politik.

Seperti umumnya, parodi mengandung opini dan karenanya berpotensi sebagai seni kritik terhadap keadaan sosial-politik masyarakat.

Setan pun putus asa

Di bahu sejarah kartun itulah, Aji Prasetyo berkarya. Ia meramu seni kartun, karikatur, dan komik. Format komik ini yang jadi kelebihan seni kartun Aji. Hidup Itu Indah menunjukkan keunikan Aji di tengah kancah komik nasional dewasa ini.

Karena terlalu lekatnya kesan bahwa ”komik>hiburan”, Ayu Utami tampak merasa perlu menegaskan dalam pengantarnya bahwa komik-komik dalam kumpulan ini adalah ”komik esai” atau ”komik komentar sosial”.

Sebetulnya, publik Indonesia lumayan karib dengan ”komik esai”. Pada 1966-1970, misalnya, Delsy Syamsumar mencipta seri Mat Pilun untuk majalah Caraka, yang mengandung komentar-komentar sosial pada masyarakat semasa. Kompas juga jadi rumah banyak komik kritik sosial, seperti seri Panji Koming karya Dwi Koen. Sejak 1998 juga dikenal Beni & Mice lewat seri ”Lagak Jakarta”.

Kelebihan Aji adalah ia tak merancang komiknya sebagai komik strip di media yang selalu taat pada batasan halaman. Ia meneruskan tradisi Beni & Mice dalam ”Lagak Jakarta” yang mulanya membuat komik dalam kesadaran kelenturan halaman buku. Lebih dari itu, Aji sepenuhnya berangkat dari kebutuhan mendedahkan opininya. Aji lebih politis dari Beni & Mice: Ia ingin melawan. Komik-komik Aji adalah pernyataan oposisi terhadap ketakadilan.

Cukup sering Aji melawan dengan membentur langsung sebuah isu. Dalam Setan Menggugat, Aji mengudar sebuah esai tentang kemunafikan beragama lewat sebuah rangkaian adegan sangat imajinatif: percakapan (sosok mirip) Aji dengan setan yang mau bunuh diri. Kenapa? Karena setan merasa manusia kok enak betul, selalu menyalahkan dirinya kalau mau berbuat jahat. Dan, si setan merasa minder, kejahatan manusia sudah bisa lebih hebat darinya.

Aji menembak dengan ”peluru tajam” ke arah doktrin-doktrin yang tipikal disebut ”fundamentalisme Islam”. Risiko beropini keras macam begini: Aji, di beberapa tempat, tampak terjebak dalam penyederhanaan masalah, atau malah meleset. Dalam memandang kasus terorisme, Aji luput mempertanyakan berbagai kejanggalan identifikasi dan proses penangkapan teroris Islam baik oleh polisi maupun media.

Aji terutama meleset jika menyangkut soal jender. Ia beberapa kali nyinyir menyoal pilihan pakaian seksi perempuan, masalah rumah tangga artis (hlm 178), mencerca kehadiran Rani sebagai yang paling disayangkan dalam kasus Antasari, dan memakai istilah ”gundik” (sebuah kekerasan verbal) untuk menyebut perempuan selingkuhan politisi.

Jika Aji sanggup bersimpati pada sosok seorang ekshibisionis (dalam ”Berdamai dengan Zaman”, sosok itu adalah lelaki dengan penyimpangan seksual gemar mempertontonkan kelaminnya pada perempuan), kenapa ia tak mampu berempati pada Rani?

Bahasa komik mumpuni

Akan tetapi, segala kemelesetan itu adalah sebuah proses yang perlu. Perjalanan Aji sebagai komikus semoga masih panjang. Lagipula, sekian kekurangan Aji dalam kumpulan ini dibayar dengan kelebihan-kelebihannya. Salah satu yang utama, penguasaan Aji yang tampaknya intuitif atas bahasa komik.

Kepiawaian bahasa komik—yang bukan sekadar teknik gambar—ini pula mampu menutupi kekurangan Aji dalam menggambar ruang latar. Panel-panelnya yang sering kosong justru memberi fokus lebih tajam pada aspek-aspek seni kartun dan bahasa komik yang penting: ekspresi wajah dan gesture (lihat, misalnya, gambar berbagai pose doa di halaman 63), sudut pandang, komposisi panel, serta seni pengaksaraan.

Keunggulan utama Aji adalah kapasitas humornya. Dan humor, di samping menyandarkan pada sudut pandang yang ”aneh” (”logika bengkok”, menurut istilah Arswendo Atmowiloto di majalah Hai pada era 1980-an), juga menyandarkan pada timing. Aji sangat menguasai timing, rasa-waktu yang jitu, untuk membuat humor-humornya menonjok. Dan keterampilan ini sangat penting dalam bahasa komik.

Lihat, Aji enteng saja beralih dari satu sudut pandang ke sudut pandang gambar lain. Ia tahu kapan saat yang jitu untuk close up, siluet, panel besar, tanpa panel, dan sebagainya.

Dengan keterampilan atau intuisi berbahasa komik yang mumpuni ini, Aji bisa keluar-masuk isu dan tema dengan leluasa. Saat Aji tak sedang beropini, ia masuk ke dalam kontras-kontras kehidupan sehari-hari. Alangkah efektif kesan yang tertanam pada pembaca, misalnya, saat Aji yang jarang menggambar ruang tiba-tiba mengolahnya dalam cerita-cerita ”Hidup Itu Indah”, ”Perjalanan”, dan ”Summertime”—sketsa-sketsa meditatif terhadap berbagai kesenjangan dalam masyarakat yang tanpa marah.

Dalam kumpulan ini, Aji telah membawa pembaca ke sebuah Indonesia yang sedang tercabik-cabik oleh kedegilan, ketakadilan, ketakpedulian. Betapa cerita tentang anak sekolah yang bunuh diri karena tak mampu bayar iuran sekolah (”Saat Seseorang Itu Hilang”) merajam rasa keadilan.

Untunglah masih ada perlawanan-perlawanan macam yang dilakukan Aji ini. Sesungguhnya, perlawanan-perlawanan kecil seperti ini mengandung politik yang masih indah: sebuah gerakan dari bawah, yang masih percaya bahwa manusia bisa mengubah dunia ini jadi lebih baik.

Hikmat Darmawan, sedang meneliti komik di Jepang dalam program Asian Public Intelectuals (API) Fellowship Program 2010-2011.

Sumber: Kompas, Minggu, 5 Desember 2010

No comments: