Sunday, December 26, 2010

[Kehidupan] Robohnya Batas Kita

-- Sarie Febriane dan Putu Fajar Arcana

DUNIA kian sesak oleh rahasia yang bocor. Sebelumnya hanya berupa bisik-bisik, lalu menjadi rahasia umum. Kemudian, dunia ”cyber” menjadi sarana amplifikasi dan ”konfirmasi” atas kerahasiaan itu. Semua roboh, tanpa batas.

Rahasia ataupun privasi semakin menjadi absurd. Sarie Febriane dan Putu Fajar Arcana

Kemunculan WikiLeaks tahun 2010 ini—diikuti versi lokal IndoLeaks—seolah mengonfirmasi realitas yang akan dihadapi warga dunia pada masa mendatang. Sebuah masyarakat global tanpa batas yang hidup dalam keniscayaan digital membuat siapa pun seperti dalam akuarium.

”Perundangan Kebebasan Informasi sudah ada. Tapi realitasnya, akses informasi dari lembaga pemerintahan masih amat sulit. Padahal isu publik sepenuhnya hak publik. Tak mengherankan jika orang hilang kepercayaan kepada pemerintah. Kanal resmi macet, orang menjadi percaya pada kanal alternatif, seperti Wikileaks dan Indoleaks,” tutur Bustar Maitar, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, yang kerap membuka kedua situs itu.

Bagi Bustar, sebagian isu yang disajikan di Indoleaks, seperti soal Lumpur Lapindo, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. ”Namun, kemunculannya di situs menjadi ’konfirmasi’ bahwa isu selama ini demikian adanya. Tentu saja ini bikin orang semakin tidak percaya kepada pemerintah,” kata Bustar.

Lain lagi cerita seorang pemilik akun Twitter anonim asal Indonesia, yang sejak sebelum kemunculan WikilLeaks dan IndoLeaks gemar berbagi informasi tersembunyi seputar pejabat negara dan dunia politik kepada ribuan follower-nya. Menurut dia, meski pers di Indonesia kini lebih bebas, publik rupanya masih haus informasi yang tersembunyi.

”Mereka antusias banget dengan informasi yang tidak muncul di media mainstream. Lucunya, saya sering juga merangkum semua isu yang tersaji di koran dalam tweet berseri. Anehnya, follower tetap terheran-heran. Mereka seperti tidak pernah baca koran saja,” ujar si anonim tertawa.

Kanal informasi di dunia cyber otomatis mudah mendapatkan legitimasi dari publik ketika kanal resmi buntu. Sementara pemerintah atau aktor negara masih kerap tergagap-gagap menghadapi realitas cyber saat ini. Upaya untuk ”membunuh” situs atau memidanakan aktor-aktor individu di balik situs itu malah mengundang tawa geli massal.

Menurut Bustar, tak ada cara lain bagi negara atau pemerintah untuk mempertahankan legitimasinya dengan mengubah dirinya sendiri, yakni dengan berhenti menjadi entitas yang berbungkus kepalsuan.

Sementara pada level individu pun kegagapan itu juga terjadi. Tanpa sepenuhnya kita sadari, penetrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) hingga ke ruang-ruang privat besar kemungkinannya untuk teramplifikasi melampaui batas ruang dan waktu. Peristiwa bocornya video seks (melalui telepon seluler) yang bergema hingga ke mancanegara beberapa waktu lalu, misalnya, akan senantiasa tertatah di dunia cyber. Semoga saja anak keturunan mereka tidak akan menjenguk riwayat masa lalu itu dengan bertanya kepada ”mbah” Google.

Rapuh

Realitas virtual dan nonvirtual sulit diraba batasnya. TIK akan terus tumbuh, menjadikan batas-batas yang berlaku di dunia offline roboh. Apa pun yang diperbuat manusia dengan TIK akan senantiasa terlacak (trackable), lalu tertatah abadi di dunia cyber yang tentu berdampak di dunia offline. alias jagat nyata.

Yasraf A Piliang, Ketua Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, teknologi digital telah mengubah secara radikal relasi sosial dan membawa arus percepatan luar biasa dalam pola-pola informasi. Namun, kultur yang berkembang adalah ephermal, segalanya bergerak secara seketika, tetapi memiliki ciri-ciri yang rapuh.

”Sayangnya, kultur digital justru mencabut manusia dari pengalaman riil. Contohnya, generasi digital mungkin mengenal pohon pepaya, tetapi mereka tak pernah terkena getah pepaya,” ujar Yasraf.

Alan Touraine, yang dikutip Yasraf dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, menyebut kehidupan sosial telah kehilangan kesatuannya menuju akhir sosial dalam sebuah arus perubahan terus-menerus. Akhir sosial itu ditandai dengan transparansi sosial, yakni kategori, batas, dan hierarki sosial lenyap. Di dalamnya, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai dan norma sosial. Akan tetapi, mengikuti strateginya sendiri-sendiri dalam proses perubahan global dan tak dapat sepenuhnya bisa dikontrol oleh aktor negara.

Segalanya memang mungkin pada era ”kedaulatan” TIK dan cyber. Shinta dan Jojo yang menyanyikan ”Keong Racun” dari dalam kamar tidur bisa mendadak tenar dan mengglobal. Seorang menteri yang mati gaya bisa lantas serentak menjadi olok-olok global. Begitu juga pemimpin yang dianggap mencederai nurani akan ramai dicemooh rakyat di dunia cyber. Batas-batas itu telah roboh. Sadarlah! (BSW)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

No comments: