Monday, December 06, 2010

Keluar dari Jeratan "Bangsa Kuli"

-- Retor AW Kaligis

HARGA diri bangsa kerap terusik oleh kisah pilu tenaga kerja Indonesia.

Kisah seperti terkatung-katungnya nasib ratusan pekerja asal Sukabumi di negeri tempatnya bekerja, penganiayaan Sumiati di Arab Saudi, tewasnya Rohani di Oman, dan telantarnya para TKW di Dubai berulang kali terjadi. Istilah ”bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” seolah tak bisa lepas pada diri bangsa Indonesia. Istilah yang dipopulerkan Soekarno itu menggambarkan marjinalisasi dan proletarisasi bangsa di tengah alamnya yang luas dan kaya.

Soekarno mengaku mendapatkan istilah ini dari Muso ketika berguru pada tokoh Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto, di Surabaya lebih dari 90 tahun lalu (Cindy Adam, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, 1966: 54).

Konstruksi sosial

Ada anggapan negeri eks kolonial Belanda memiliki hambatan untuk maju di era merdeka. Para ahli pascakolonial mencoba menganalisis tentang karakteristik kolonialisme yang memengaruhi aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, dan kultural di masyarakat bekas jajahan.

Dalam Colonialism/Postcolonialism (1998: 12) Ania Loomba menyimpulkan, ”’Colonialism’ is not just something that happens with the collusion of forces inside, but a version of it can be duplicated from within”.

Soekarno (1958) berpendapat, perbedaan basis material penjajah memengaruhi cara kolonialisme. Dengan terpaan Revolusi Industri, industri di Inggris berkembang hingga mengalami overproduksi. Inggris menjajah untuk memperluas pasar sehingga sejak awal sistem kolonialismenya membuka sekolah dan universitas guna mendorong peningkatan daya beli penduduk jajahan. Berbeda dengan Inggris, Belanda menjajah untuk mencari bahan mentah. Pendidikan diselenggarakan terbatas dan diperuntukkan bagi strata tertentu. Kekayaan alam negeri ini dieksploitasi, rakyatnya dijadikan buruh murah setelah penguasaan tanah kolonialisme merampas sumber penghidupannya.

Di alam merdeka, negeri ini terus jadi penjaja sumber daya alam dan sumber tenaga murah. Kekayaan alam lebih banyak dinikmati segelintir pemodal dalam dan luar negeri. Kebijakan eksploitatif di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan terus memarjinalkan penguasaan tanah rakyat. Rakyat tak dipupuk oleh cita-cita mengelola sumber daya alamnya secara mandiri. Petani, nelayan, dan industri kecil masih bergantung pada keterampilan sederhana. Pedagang kecil kian terdesak sektor perdagangan modern.

Terpisahnya rakyat desa dari sumber kehidupannya mendorong proletarisasi masif. Dengan angkatan kerja berpendidikan rendah, arus urbanisasi kian menambah kaum miskin perkotaan. Industri manufaktur yang dikembangkan tak memiliki pijakan kuat atau bersifat footloose industry dengan lebih mempertimbangkan biaya produksi murah dan lokasi pabriknya mudah dipindahkan ke negara lain, seperti tekstil dan sepatu.

Buruh hanya berperan sebagai tukang atau operator mesin. Tuntutan perbaikan kesejahteraan dipandang melemahkan iklim investasi di sektor industri. Mayoritas dari sekitar 7 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi buruh kasar dan pekerja rumah tangga tanpa kemampuan memadai (unskilled).

Antitesis

Jika menganggap kemerdekaan sebagai antitesis kolonialisme (Belanda), restrukturisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi yang adil harus dilakukan. Kaum tani, nelayan, serta pedagang dan industri kecil dapat memperbarui aset produksi dengan penyediaan akses kredit seluas-luasnya, ditunjang pembenahan manajemen dan jaringan pemasaran. Industrialisasi yang dikembangkan berorientasi pada penguasaan teknologi tinggi dengan mensyaratkan penanam modal melakukan alih teknologi. Pendidikan berkualitas dan terjangkau diberikan bagi rakyat kecil.

Namun, transformasi bagi keadilan sosial sepatutnya diawali dengan reforma agraria untuk menyediakan tanah bagi rakyat di sektor pertanian yang mayoritas memiliki tanah di bawah 0,5 hektar dan bahkan tak bertanah (buruh tani). Keinginan pemerintah membagikan tanah kepada rakyat kecil masih kalah cepat dan jauh dengan berkali lipatnya kapling bagi segelintir pemodal besar melalui mekanisme hak guna usaha dan hak penguasaan hutan.

Perlu dibedakan pengertian distribusi tanah dan reforma agraria. D Lehmann (1978) menyatakan, struktur penguasaan tanah yang timpang menyebabkan perbedaan kuasa dan kemampuan menjangkau akses terhadap modal dan sarana produksi. Untuk itu, reforma agraria dimaksudkan merombak struktur penguasaan tanah untuk pemerataan. Selain mengoreksi ketimpangan hak milik di mana kelebihan tanah diganti rugi negara untuk dibagikan kepada petani gurem dan buruh tani, negara perlu memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi desa yang mengatur pengelolaan dan bagi hasil untuk petani.

Penguasaan basis material perdagangan oleh kaum tani mendorong kedaulatan pangan nasional berbasis pemberdayaan masyarakat lokal. Masalah pendanaan dapat disuntik mulai dari penyitaan kekayaan hasil korupsi hingga memperjuangkan peninjauan kembali kontrak sektor pertambangan yang banyak merugikan negara dan memarjinalkan masyarakat setempat, agar dapat diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Retor AW Kaligis, Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara

Sumber: Kompas, Senin, 6 Desember 2010

No comments: