-- Fanny Chotimah
PADA hari pertempuran terakhir, Rahwana maju ke medan perang sendirian dengan menaiki kereta kencana yang ditarik delapan kuda terpilih. Pada pertempuran itu, Rama menaiki kereta Indra dari surga yang dikemudikan Matali. Setiap Rama mengirimkan senjatanya untuk menghancurkan Rahwana, raksasa tersebut selalu dapat bangkit kembali sehingga membuat Rama kewalahan.
Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kiai Dangu. Senjata tersebut selalu mengikuti ke mana saja Rahwana pergi untuk menyayat kulitnya. Setelah Rahwana tersiksa oleh serangan Kiai Dangu, dalam keadaan sekarat ia pulang ke Istana Alengka menemui istrinya, Banondari. Rahwana menembang sambil meneteskan air mata.
Fragmen ini merupakan kematian Rahwana yang babak akhirnya saya kawinkan dengan tembang Cianjuran berjudul ”Ceurik Rahwana” (Tangis Rahwana). Apakah sebenarnya yang membuat Raja Alengka yang pemberani ini meneteskan air mata? Dalam fragmen tembang ”Ceurik Rahwana”, Banondari —istri Rahwana dalam versi Sunda—terkejut melihat suaminya meneteskan air mata. Raja digdaya yang mahakuat, penakluk tiga dunia, dunia bawah tanah, dunia manusia, dan para dewa, itu ternyata dapat menangis.
Air mata gajah
”Ceurik Rahwana” merupakan sebuah karya anonim yang bisa disinyalir muncul sekitar abad ke-15. Salah satu indikasinya adanya sebutan Gusti, bisa jadi ini merupakan warisan Hindu, dan juga adanya Pantun Ramayana secara tertulis dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian pada 1518 yang sudah dikenal masyarakat Sunda. Islam baru masuk di tanah Sunda pada abad ke-16 Masehi.
Tembang ini dimainkan dalam petikan kecapi berlaras pelog dengan denting dan alunan yang mistis. Suara bening pesindennya terdengar seperti datang dari masa dan dunia berbeda. Suasana yang menggemakan kembali kata-kata E M Cioran dalam bukunya, Air Mata dan Orang Suci (1937).
Ingatlah kita pada riwayat kehadiran Rahwana—versi Anak Bajang Menggiring Angin (1983) karya Sindhunata—yang diawali dengan rintihan raksasa Warudoyong dan Banaspati yang memohon kepada Batara Guru untuk menggagalkan Sukesi dan Wisrawa yang akan membalikkan dunia dengan Sastra Jendra. Para dewa tak ingin mati, dunia belum siap, dan berjuta manusia masih ingin tidur dalam dosa-dosanya. Sukesi pun berlinang air mata dihukum oleh Batara Guru karena kesombongannya, hati manusia yang lemah.
Dari rahim Sukesi lahirlah Rahwana, makhluk yang konon penuh dosa, dengan tafsir cinta yang celaka. Namun, ia lahir dan pergi bersama air mata. Seperti gajah yang menangisi kematiannya. Ketika seekor gajah mati, gajah-gajah lain dalam kelompoknya akan melingkari mayatnya, berdiam, seperti mengheningkan cipta, lalu meneteskan air mata, hingga akhirnya mereka bisa berdamai dengan rasa kehilangan mereka.
Air mata korban
Air mata bagi manusia merupakan ekspresi dalam menghadapi kematian, juga dalam perjumpaan dengan kehidupan. Tangisanlah yang diteriakkan bayi saat pertama ia menemui hidup. Tangisan pula yang ia gunakan untuk mengomunikasikan kebutuhan dasarnya, haus, lapar, sakit, dan sebagainya.
Bagaimana jika manusia tidak bisa menangis? Seperti Max, salah satu karakter dalam film animasi Mary and Max (2009) yang mengidap aspergies syndrome. Pengidap penyakit ini menderita depresi karena tidak mampu untuk memahami teks secara verbal dan sering kali menderita kepanikan. Ia mengalami kesulitan untuk menenangkan dirinya dan yang sangat menyedihkan, ia tidak bisa meluapkan semua kekecewaannya dengan air mata.
Apakah kita saat ini adalah Max, manusia yang tak mampu lagi berair mata? Jika berbotol-botol air mata korban lumpur panas di Sidoarjo, korban ledakan gas, korban-korban ketidakadilan di negeri ini dikumpulkan, lalu dihadiahkan kepada bapak-bapak wakil rakyat, apa yang akan terjadi?
Fanny Chotimah, Penulis, Pegiat Bale Sastra Kecapi, Tinggal di Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Desember 2010
No comments:
Post a Comment