-- Heidi Arbuckle
SEBAGAI peneliti asing, sering kali orang Indonesia berkomentar kepada saya: ”Oh, kamu orang yang meneliti Frida Kahlo-nya Indonesia, ya?” Saya tidak lagi heran mendengarnya, tetapi selalu tergelitik dengan kenyataan bahwa orang Indonesia lebih kenal pelukis perempuan asal Meksiko daripada Emiria Soenassa, pelukis perempuan termasyhur pada zamannya di negeri mereka sendiri. Apalagi, menurut saya, lukisan dan riwayat hidup Emiria tidak kalah menarik dari Frida.
Emiria mengawali kariernya sebagai pelukis pada usia 46 tahun, tetapi semasa hidupnya ia juga dikenal sebagai revolusioner, niagawati, filantropis, dan (mengklaim diri) sebagai seorang bangsawan, yaitu ”Ratu” dari kesultanan Tidore. Dalam majalah Perintis yang diterbitkan tahun 1951, Usmar Ismail menyebut Emiria sebagai seorang ”perintis”, mendudukkan Emiria di samping nama-nama besar, seperti Chairil Anwar dan Kartini. Ismail mengatakan: ”Dan bukan saja berhubung dengan seni lukis. Juru rawat bangsa Indonesia jang pertama? Kepala perkebunan jang pertama? Emiria Soenassa!” Sebelum Indonesia merdeka, Emiria telah mencapai kebebasan dirinya dalam seni lukis, yaitu kebebasan untuk menyatakan sesuatu. Hal inilah yang menjadi alasan diberikannya judul ”Emiria, Sang Perintis” pada pameran tunggal Emiria Soenassa yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta pada 10-18 Desember 2010.
Pribumi
Seperti banyak pelukis pribumi pada zamannya, Emiria tidak pernah belajar melukis secara akademis. Banyak orang yang mengira Emiria adalah murid melukis Sudjojono, tetapi saya kira hubungan mereka bukan sebagai guru dan murid. Selain usia Emiria sudah dua puluh tahun lebih tua dari Sudjojono, hubungan mereka lebih mirip kawan seperjuangan. Mia Bustam, istri pertama Sudjojono, ingat saat sedang bertamu ke rumah Emiria bersama sang suami demi meminta lukisan untuk dipamerkan pada awal 1940-an. Mengenang kunjungannya itu, Mia mengatakan: ”Untuk hidangannya, di piring kecil kami ditawari kacang bawang hanya lima buah!” Menjelaskan karakter si Emiria, Mia bercerita: ”Sikap hidupnya juga apa adanya begitu, jujur sekali, omongannya juga begitu.”
Dorongan melukis untuk pertama kalinya pada Emiria justru berasal dari sahabat dekatnya, seorang Belanda bernama Guillaume Frédéric Pijper. Pijper menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Bumiputra di bawah pemerintah kolonial Belanda. Selain seorang teolog yang ahli Islam, ia juga memperlihatkan ketertarikan terhadap seni, hingga kemudian ikut mendirikan Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar (kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung) bersama Ries Mulder. Atas tantangan Pijper, Emiria menghasilkan lukisan pertamanya pada tahun 1940 berjudul ”Telaga Warna”, setelah mereka berdua pergi mencari inspirasi ke Puncak. Lukisan tersebut dipamerkan dalam pameran pertama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Toko Buku Kolff & Co di Jakarta. Namun, seperti banyak lukisan Emiria lainnya, lukisan tersebut sudah tidak lagi diketahui keberadaannya.
Ciri khas Emiria berada pada usahanya untuk memperbarui seni primitif atau seni Indonesia yang kuno ke dalam seni lukis modern pada zamannya. Karyanya bisa digambarkan sebagai gabungan (fusion) yang dinamis antara seni adat (indigenous art) dan seni rupa modern neo-primitif. Emiria juga menggunakan warna secara primitif dan sering mengabaikan perspektif serta aspek pencahayaan. Walaupun subyek lukisannya adalah penggambaran alam raya dan berbagai kelompok etnis Indonesia, bentuk, suasana, dan warnanya banyak dipengaruhi pelukis-pelukis modern Eropa. Maklum, sebelum menjadi pelukis pada tahun 1940-an, Emiria sudah pernah berulang kali berkunjung ke negeri-negeri Eropa. Salah satu lukisan yang menggambarkan gabungan dinamis ini adalah ”Orang Irian dengan Boeroeng Tjenderawasih” (1948) yang menggarap garis-garis wajah orang Papua mirip dengan periode Picasso mengabstraksi patung dan topeng Afrika setelah ia berkunjung ke Museum Trocadéro di Paris.
Namun, representasi Emiria atas ”orang primitif” di Indonesia tidak sekadar eksotisme atau fetish terhadap ritus dan budaya tribal. Emiria memang membayangkan diri sebagai bagian dari kebangsaan Papua, dengan mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Sahadjuan dari Kesultanan Tidore. Pada abad ke-17, Tidore mengklaim kekuasaan tak mutlak (shadowy authority) atas tanah Papua Barat. Bersama nasionalis Papua, Silas Papare, ketua Partai Kemerdekaan Indonesia Irian di Jakarta, Emiria memperjuangkan hak Kesultanan Tidore sepanjang tahun 1949 sampai tahun 1960-an, hingga membawanya ke Meja Bundar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Dari lukisan-lukisannya, kita bisa membaca sikap politis Emiria dan perbedaan ”nasionalisme”-nya dibandingkan dengan narasi-narasi besar nasionalisme yang diusung oleh kebanyakan pelukis di zamannya. Penelusuran Emiria terhadap nuansa etnik dari Indonesia bagian timur dan suku-suku pribuminya, seperti suku Papua, Kubu, dan Dayak, adalah apa yang memisahkannya dari kebanyakan pelukis pria pada masa itu, seperti yang tampak dalam lukisan ”Pemanah Papua/Pijlenmakers Nieuw-Guinea” (1941) dan Penganten Dajak” serta ”Bahaya Belakang Kembang Terate” (keduanya pertama kali dipamerkan tahun 1946 di Batavia-Kunstkring). Pada saat para pelukis di kota-kota besar membayangkan sebuah negara baru dan para penduduknya yang terpusat, Emiria membayangkan bahwa hal itu justru tersebar di wilayah-wilayah pinggir nusa Indonesia yang beraneka ragam, seperti halnya hutan-hutan yang (akunya) telah ia jelajahi mulai dari Humboldbaai (Jayapura) sampai Sabang.
Heidi Arbuckle, Peneliti dari Universitas Melbourne, Pengurus Program Media di Ford Foundation Indonesia
Terima kasih kepada Nayla Majestya yang telah membantu menerjemahkan tulisan ini.
Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment