CILIWUNG kini sedang menyita perhatian sekitar jutaan penduduk Jakarta karena banjir sungai ini telah melahirkan berbagai masalah mulai dari permukiman sampai lalu lintas yang macet. Kalau masalah banjir itu dikonversikan ke dana, maka sudah begitu banyak uang yang terhanyut dan terbuang percuma ke dasar Laut Jawa. Tidak heran ada pendapat, Ciliwung telah menjadi sumber bencana, meskipun kalau direnungkan lebih dalam, penyebab bencana itu tidak lain penduduk Jakarta juga yang seenaknya merusak hutan di hulu Ciliwung dan seenaknya membangun rumah sehingga daerah aliran sungai makin sempit dari waktu ke waktu.
Sungai Ciliwung meluap dan merendam rumah penduduk yang berada di pinggiran sungai tersebut, terutama warga di RW 01, Kampung Cawang Ciliwung, Kelurahan Cawang, Jakarta, Selasa (3/2). (SP/Charles Ulag)
Belum lagi bantaran sungai dijadikan tempat usaha. Lantas, tanpa merasa berdosa sedikit pun, seenaknya membuang sampah ke sungai. Maka, Ciliwung telah menjadi pabrik sampah berjuta-juta ton setiap hari.
Ciliwung yang pada musim hujan airnya meluap ke mana-mana dan pada musim kering berubah menjadi comberan, telah lama memberi inspirasi bagi banyak penyair Indonesia untuk melahirkan puisi.
Kritikus sastra kenamaan Prof A Teeuw (1980) asal Belanda mengatakan, sejak dulu sungai yang membelah kota Jakarta itu telah dikenal penyair-penyair Indonesia sebagai lambang suka-duka rakyat Indonesia.
Dalam bukunya Empat Kumpulan Sajak (2003: Cetakan kedelapan), penyair WS Rendra menulis dua sajak tentang Ciliwung berjudul Ciliwung dan Ciliwung yang Manis. Dua sajak itu tidak lain ingin menyuarakan orang-orang miskin tertindas. Dalam sajak Ciliwung yang Manis, Rendra menulis: Ciliwung mengalir/dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta/kerna tiada bagai kota yang papa itu/ia tahu siapa bundanya.
Pada bait terakhir puisi, Rendra melukiskan Ciliwung sebagai: Teman segala orang miskin/timbunan rindu yang terperam/bukan bunga tapi bunga/Begitu kali bernyanyi meliuk-liuk/dan Jakarta disinggung dengan pantatnya.
Penyair Taufiq Ismail juga menulis puisi tentang Ciliwung sebagai kenangan yang buruk. Dalam buku kumpulan puisinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998), Taufiq menulis sebuah puisi untuk seorang sahabatnya yang judulnya sangat panjang, yakni "Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang Pada Hari Ini Pulang ke Almamaternya".
Sajak ini cukup panjang dan terdiri dari empat bagian. Bagian keempat dari puisinya dibacakan oleh Taufiq pada hari wisuda M Kasim Arifin dan lulusan lainnya setelah Kasim menerima gelar insinyur pertanian di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), kampus Dermaga, Sabtu 22 September 1979.
Sosok Kasim ini, menurut catatan Taufiq, menarik. Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang, ternyata menanam akar di Waimital, enggan memenuhi panggilan Rektor IPB Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor.
Kasim terharu pada penghargaan almamater, tetapi pada hakikatnya dia tidak memerlukan gelar akademik. Pada hari wisuda itu, demikian catatan Taufiq, Kasim yang berbelas-tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja kegerahan karena mengenakan jas, dasi, dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya.
Kasim telah menjadi mata air puisi bagi Taufiq untuk menulis puisi tadi dan membacakannya untuk Kasim pada hari wisudanya. Taufiq antara lain menulis: Dari pulau itu, dia telah pulang/Dia yang dikabarkan hilang/Lima belas tahun lamanya/Di Waimital Kasim mencetak harapan/Di kota kita mencetak keluhan/(Aku jadi ingat masa kita diplonco/Dua puluh dua tahun yang lalu)/Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca/Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi/Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku/Ketika aku mengingatmu, Sim.
Dalam puisi ini, Taufiq mencoba berkaca diri di atas air keruh Ciliwung dan ia akhirnya menyesali dirinya dengan cara meludahi bayangannya sendiri.
Ciliwung juga menarik minat penyair Slamet Sukirnanto. Ia menulis puisi Sungai Ciliwung yang Miskin" (1967). Dalam sajak itu, ia melukiskan Ciliwung yang miskin. Sang penyair tak tahu bagaimana duka sungai yang membelah Ibukota Negara Republik Indonesia itu. Duka Ciliwung yang coklat itu telah merambat hidup lampau dan kini. Penyair ini tidak hanya menggambarkan sungai yang sudah rusak parah akibat ulah penduduk yang tinggal di sekitar daerah alirannya, tetapi juga sekaligus menjadi metafora kemiskinan.
Masih banyak puisi tentang Ciliwung dari banyak penyair di negeri ini yang tidak bisa kita telusuri satu per satu. Puisi-puisi itu, umumnya menyuarakan keprihatinan dengan kondisi Ciliwung saat ini yang tidak lagi menjadi sumber kehidupan, tetapi sumber bencana.
Di mata para penyair, Ciliwung adalah wajah Jakarta yang melukiskan sejujur-jujurnya kehidupan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Bahkan, ada puisi yang bernada mengungkapkan rasa malu karena begitu buruknya kerusakan yang diderita Ciliwung. Belajar dari pengalaman buruk setiap musim hujan, bencana banjir yang besar itu mestinya menjadi sajak yang memberi inspirasi dan dorongan kuat bagi pendudukan Jakarta dan pemerintah untuk segera menyehatkan Ciliwung begitu musim kering tiba. Ironis, kita baru menaruh perhatian kepada sungai yang malang itu pada musim hujan saja, saat ia sedang meneror penduduk Jakarta dengan luapan airnya. Ketika musik kering datang, kita membiarkannya merana karena airnya surut kering. [SP/Willy Hangguman]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 3 Februari 2009
No comments:
Post a Comment