-- Wahyu Susilo
Satu dan dua ataupun tiga,
Semua sama sama bohongnya,
Milih boleh, tidak memilih boleh,
Jangan memaksa, itu hak gue
(Satu, dua dan tiga, Wiji Thukul, 1992)
Sepenggal bait puisi tersebut mulai dilantunkan sebagai lagu oleh Wiji Thukul setiap ngamen puisi keliling kota. Tentu sangat benderang pesan yang terkandung dalam bait puisi tersebut: tak boleh siapa pun memaksa untuk memilih. Dalam penelusuran penulis, tampaknya puisi ini dibuat saat terjadi penangkapan-penangkapan terhadap mahasiswa yang aktif berkampanye golput. Salah satu kasus golput yang berujung sampai pengadilan adalah kasus kampanye golput yang diorganisir mahasiswa Semarang (Lukas Luwarso dan Poltak Ike Wibowo). Puisi ini adalah wujud solidaritas Wiji Thukul terhadap keberanian mereka.
Membolak-balik antologi puisi Wiji Thukul ”Aku Ingin Jadi Peluru”, penulis menemukan banyak puisi Wiji Thukul yang bertema pemilu. Bahkan jika puisi tersebut dibaca dalam konteks historis waktu dan tempat puisi tersebut ditulis, akan makin melengkapi historiografi pemilu Indonesia pada masa Orde Baru yang memilukan.
Dalam puisi yang berjudul ”Sajak Bagong” dan ”Kuburan Purwoloyo”, secara berani Thukul mengungkap kaitan antara pemilu, intimidasi, gali dan penembakan misterius. Dalam Pemilu 1982, setidaknya di Solo, Golkar sebagai mesin politik Orde Baru menggunakan ”gali” (istilah saat itu untuk preman atau pelaku kriminal) untuk mengintimidasi warga agar memilih partai penguasa. Namun pada saat gali tersebut menagih balas jasa, yang dilakukan adalah pemberantasan gali melalui ”petrus” (penembakan misterius). Hingga saat ini, tragedi petrus masih dalam proses investigasi Komnas HAM yang menduga bahwa petrus adalah bagian dari pelanggaran HAM masa lalu.
....
Ya, ya bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya,
Bagong ya bagong, tapi bagong sudah mati,
Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api.... (Sajak Bagong)
...
Di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh,
Terhisap dan menanggung hutang
Disini, gali-gali, tukang becak, orang-orang kampung,
Yang berjasa dalam setiap Pemilu
Terbaring
Dan keadilan masih saja hanya janji (Kuburan Purwoloyo)
Tak hanya menyinggung soal brutalisme pemilu masa Orde Baru, secara satiris Thukul juga melihat bahwa pemilu masa itu hanyalah sandiwara dan bukan merupakan instrumen demokrasi. Dalam puisi ”Aku Lebih Suka Dagelan”, Thukul mencatat testimoni orang-orang terdekatnya mengenai intimidasi, konflik antartetangga, suap (money politic), dan perkelahian akibat pemilu yang tidak luber (apalagi jurdil).
... kudengar dari mulut seorang kawanku,
dia diinterograsi dipanggil gurunya, karena ikut kampanye PDI,
dan di kampungku ibu RT tak mau menegur sapa warganya, hanya karena ia GOLKAR,
.....
Ada juga kontestan yang nyogok tukang-tukang becak,
Akibatnya dalam kampanye banyak yang mencak-mencak
....
Di radio aku mendengar berita-berita
Tapi aku jadi muak karena isinya kebohongan yang tak mengatakan kenyataan,
Untunglah warta berita segera bubar,
Acara yang kutunggu-tunggu datang: dagelan! (Aku Lebih Suka Dagelan)
Dalam perkembangannya, Thukul tak hanya menjadi penonton dalam ”dagelan pemilu” seperti dalam puisi-puisinya tentang Pemilu 1987, namun sudah melancarkan perlawanan politik seperti yang tergambar dalam puisi-puisinya yang ditulis dalam kurun waktu menjelang dan setelah Pemilu 1992. Sikap yang lebih politis ini seiring dengan makin meluasnya lingkaran pergaulan Thukul dengan kalangan aktivis prodemokrasi (terutama mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat).
Gugatannya tentang partai politik yang mandul sangat lugas. Ini bisa disimak dalam puisinya ”Aku Menuntut Perubahan” yang ditulis menjelang Pemilu 1992.
...
Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik,
Omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang,
Mengawang jauh dari kami punya persoalan
Bubarkan saja itu komidi gombal,
Kami ingin tidur pulas,
Utang lunas,
Betul-betul merdeka,
Tidak Tertekan,
...
Tegasnya = Aku menuntut perubahan! (Aku Menuntut Perubahan)
Kegusarannya terhadap praktik politik Orde Baru dan partai-partai politik boneka inilah, yang akhirnya membuat Thukul bergabung dalam organisasi politik yang tegas melawan Orde Baru saat itu. Tanggal 22 Juli 1996, Thukul turut serta dalam deklarasi berdirinya Partai Rakyat Demokratik di Jakarta. Dan seminggu kemudian, setelah terjadi penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996, Thukul menjadi buronan politik Orde Baru. Hingga Pemilu 1997 digelar, yang ternyata menjadi pemilu terakhir rezim Orde Baru, Thukul hidup berpindah-pindah tempat dan tetap menulis puisi. Kemuakannya terhadap pemilu sebagai dagelan politik tetap tercermin dalam puisinya menjelang Pemilu 1997. Bagi Thukul, pemilu di bawah Orde Baru masih memilukan.
....
Bila tiba harinya, hari coblosan
Aku tak akan ikut berbondong-bondong
Ke tempat pemungutan suara
Aku tidak akan datang
Aku tidak akan menyerahkan suaraku
Aku tidak akan ikutan masuk ke dalam kotak suara itu
Pemilu
O pilu pilu (Hari Ini Aku Akan Bersiul-Siul)
Hasil Pemilu 1997 yang tetap menyokong Soeharto berkuasa ternyata adalah pemilu terakhir yang menjadi inspirasi puisi-puisi Thukul. Pada Maret 1998, MPR hasil Pemilu 1997 kembali memilih Soeharto sebagai presiden walau mendapat tentangan dari kalangan aktivis prodemokrasi. Penentangan tersebut dijawab dengan tindakan represi, penembakan mahasiswa dan penculikan. Thukul termasuk aktivis yang hilang dalam kebrutalan politik pada saat itu. Meski kemudian Soeharto bisa dijatuhkan, dan sistem politik berganti dari otoritarian menuju transisi demokrasi, korban-korban penculikan (termasuk Thukul) belum kembali. Hingga kini, dia belum kembali.
* Wahyu Susilo, Aktivis LSM, Kepala Divisi Advokasi Infid
Sumber: Kompas, Minggu, 15 Februari 2009
No comments:
Post a Comment