-- Donny Gahral Adian
PERCAYA atau tidak, meski manusia sudah menghuni jagat ini triliunan tahun lamanya, dia baru belajar berpikir lebih kurang 2.500 tahun yang lalu. Sebelumnya, manusia sekadar beradaptasi dengan alam demi keselamatan diri semata. Sehingga lahirlah berbagai kisah mistis yang berkelindan dengan keyakinan religius dan mengisi peradaban.
Sejatinya, 2.500 tahun sejarah pikiran manusia adalah sejarah filsafat. Disiplin tertua di muka bumi ini yang lebih banyak bertanya ketimbang menjawab. Disiplin yang bertolak dari rasa heran.
Seperti disiplin ilmu lainnya, filsafat pun memiliki sejarahnya sendiri. Buku The Story of Philosophy karya Brian Magee mencoba melacak muasal pikiran manusia dengan sederhana sehingga murah hati terhadap keawaman kita semua.
Pada Mulanya Yunani
The Story of Philosophy bermula dari masa Yunani kuno. Para filsuf pada waktu itu terbagi dua: pra-Sokrates dan Sokrates seterusnya. Tali yang mengikat mereka sama: rasa heran terhadap berbagai gejala semesta.
Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyowo pernah berpesan: ”Ojo Gumunan” atau ”Jangan Mudah Takjub”. Heran dan takjub adalah dua hal yang terpisah. Heran adalah muasal pertanyaan, sementara takjub keyakinan. Ketakjuban bahkan bisa dibilang sebangun dengan keyakinan. Seorang yang takjub dengan karisma seorang kiai berarti meyakini begitu saja apa yang dikatakan beliau.
Para filsuf pra-Sokrates heran terhadap semesta ini dan mulai mengajukan berbagai pertanyaan: apa bahan dasar dunia ini, apa yang sejati: perubahan atau permanensi, prinsip utama apa yang mengatur dunia ini.
Berbagai jawaban pun bermuntahan. Namun, tidak ada yang permanen. Sebab, selalu ada saja filsuf yang merasa heran dengan jawaban-jawaban para pendahulunya. Sokrates heran terhadap berbagai jawaban para filsuf pendahulunya. Ia pun melontarkan pertanyaan aneh, namun lebih fundamental: apakah itu kebenaran? Selama ini para filsuf melontarkan klaim-klaim kebenaran, namun tak satu pun yang mengajukan pertanyaan Sokratean tentang kebenaran. Tradisi ini kemudian melahirkan satu cabang filsafat yang bernama epistemologi: filsafat tentang pengetahuan.
Memasuki abad pertengahan, filsafat mendapat pekerjaan tambahan tanpa bayaran. Dominasi gereja yang begitu kuat membuat para filsuf harus menjawab pertanyaan: mampukah iman dan akal didamaikan. Para filsuf Kristiani seperti Thomas Aquinas mengatakan bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan. Akal manusia mampu membuktikan keyakinan atau iman terhadap eksistensi Tuhan. Khazanah filosofis Yunani kuno dan Kristianitas pun bersinergi dengan indah di tangan Aquinas.
Namun, tetap ada yang membandel. Sains modern tumbuh dalam suasana pemberontakan terhadap keyakinan skriptural. Copernicus, misalnya, menolak keyakinan skriptural bahwa bumi adalah pusat semesta. Dia sebaliknya, membuktikan bahwa mataharilah sang pusat itu.
Klaim sains tidak didasarkan pada kitab suci, melainkan realitas empiris melalui pengamatan yang terkontrol. Pertentangan keras antara ayat dan realitas empiris kemudian mengguncang hubungan harmonis antara filsafat dan Kristianitas. Sehingga lahirlah para filsuf garis keras yang senantiasa melontarkan kritik tajam terhadap keyakinan agama. Francis Bacon, Thomas Hobbes, dan Machiavelli adalah sedikit dari sederet filsuf kritis tersebut.
Para filsuf kritis itu pun terbelah menjadi dua kubu: rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme bersandar pada klaim bahwa pengetahuan dunia dapat diperoleh lewat kerja akal semata. Descartes menggariskan bahwa aku yang berpikir (Cogito) adalah kepastian terakhir yang tak dapat digugat lagi.
Para filsuf rasionalis mengidolakan cara kerja matematika yang mencapai kepastian tanpa perlu menoleh pada realitas indrawi. Empirisme memiliki pendapat berbeda. Segala bentuk pengetahuan bermula dari realitas indrawi.
Saat manusia pertama, Adam, melemparkan batu ke kolam, misalnya, dia tidak tahu bahwa berat jenis batu lebih besar dari air. Dia baru tahu bahwa batu akan tenggelam pada lemparan berikutnya. Sebab, dia sudah memiliki pengalaman mengenai tenggelamnya batu. Pengetahuan harus bermula dari pengalaman indrawi kita tentang dunia. Locke, Berkeley, Hume, dan Burke ada dalam kubu ini.
Filsafat Ringan Tangan
Ada satu kala ketika kritisisme filsafat mampu merontokkan monarki yang sudah berumur ratusan tahun. Para filsuf Perancis, seperti Voltaire, Diderot, dan Rousseau adalah biang keladi intelektual hancurnya monarki Perancis. Mereka mampu membuat filsafat menjadi operasional sehingga memiliki daya dobrak untuk menggulingkan dominasi ganda gereja-raja.
Gagasan Rousseau mengenai kehendak umum bisa dibilang sebagai cikal bakal demokrasi modern. Bahwasanya kekuasaan bukan mandat dari langit, melainkan dari kehendak umum rakyat. Filsafat pada masa itu adalah gagasan berkaki yang secara ringan tangan membantu setiap upaya perubahan.
Di Jerman sengkarut filosofis berjalan dengan keras. Bertolak dari Kant yang menyintesakan rasionalisme dan empirisme, para filsuf seperti Fichte, Schelling, dan Hegel mengguratkan filsafat baru: Idealisme.
Idealisme berpandangan bahwa dunia dan ide atau gagasan adalah sama. Ketika seorang pematung membuat patung, dia sedang mematerialisasikan gagasannya. Dia dan patung bukan dua hal yang berbeda. Kerja pabrikan yang kemudian mengasingkan keduanya. Si pematung pabrik tidak dapat lagi mengenali ”dirinya” di patung yang dibuat secara massal.
Marx memahami betul keterasingan ini dan menuangkannya dalam filsafat yang bertolak belakang dengan para pendahulunya: dialektika material. Bahwasanya aktivitas material (ekonomi) yang menghasilkan gagasan (agama, ideologi, hukum, politik). Manusia terkena hukum besi sejarah yang tak dapat dielakkan bahkan oleh inisiatif individu.
Hal inilah yang kemudian ditolak Nietzsche, filsuf Jerman lainnya. Nietzsche meneriakkan individualisme keras yang menggumpal dalam gagasannya mengenai kehendak berkuasa. Kehendak yang tidak dapat didamaikan dengan eksistensi yang Maha Kuasa: Tuhan. Pikiran-pikiran Nietzsche ini kemudian mewujud dalam gerakan filsafat di abad ke-20 yang disebut eksistensialisme.
Filsafat memang tidak berdenyut di ruang hampa. Situasi sosial, ekonomi, dan politik turut memberi warna pada filsafat. Aliran filsafat Utilitarianisme contohnya. Utilitarianisme sangat dipengaruhi oleh industrialisasi dan demokratisasi yang berjalan berbarengan di Eropa dan Amerika. Industrialisasi menuntut agar kebebasan manusia dalam mengejar kebahagiaan dijamin mutlak. Setiap orang boleh mengecat warna pagarnya dengan warna apa saja tanpa rasa takut.
Namun, demokrasi menuntut adanya kesepakatan-kesepakatan sosial demi jalannya politik. Bagaimana kesepakatan sosial dibangun dari keragaman gagasan orang mengenai kebahagiaan? Utilitarianisme mengajukan formula: kesepakatan sosial harus memajukan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Orang-orang yang bahagia tinggal di pinggir kali harus mengalah demi kebahagiaan sebagian besar orang apabila rumahnya tidak kebanjiran.
Filsafat pun semakin operasional. Aliran pragmatisme yang berkembang di Amerika mengguratkan prinsip bahwa gagasan tidak mengandung kebenaran sebelum berinteraksi dengan realitas dan segenap persoalannya. Kita tidak belajar sepeda dengan membaca buku manual, melainkan menaikinya langsung. Belajar dan melakukan adalah sama.
Operasionalisasi ini kemudian mendapat tanggapan dari para filsuf abad ke-20 yang disebut filsuf analitik. Para filsuf analitik menolak filsafat yang dipraktiskan sehingga mirip dengan resep masakan. Para filsuf analitik mengajak kita untuk memeriksa bahasa dan hukum-hukum yang mengaturnya. Analisa bahasa lebih penting ketimbang membebaskan masyarakat lewat filsafat.
Frege dan Wittgenstein adalah tokoh garis keras filsafat analitik.
Di tangan para filsuf analitik, filsafat mengambil jarak dengan sengkarut sosial, ekonomi, dan politik. Operasionalisasi filsafat tidak masuk akal karena filsafat bermula dari rasa heran, bukan keinginan untuk menyelamatkan.
Apa pun, saya berharap pembaca tidak parno terlebih dahulu sebelum membaca buku The Story of Philosophy karya Brian Magee ini. Memang, kita pasti dibuat bingung dengan silang sengketa para filsuf yang terkesan tidak ada habisnya. Namun, itulah watak utama filsafat. Filsafat tidak bekerja dengan mengamini segalanya. Dia bekerja dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Membaca The Story of Philosophy sama dengan mempelajari dua hal: sejarah filsafat dan bagaimana berfilsafat. Bahwasanya sejarah filsafat tidak sama dengan filsafat yang tinggal sejarah. Ditolaknya sebuah gagasan filosofis tidak membuat kita serta-merta meninggalkannya. Rasa heran tidak dikurung oleh zaman atau epos.
Belajar filsafat adalah belajar mengenai keheranan-keheranan kuno dan bertanya: mengapa sekarang kita tidak lagi heran.
* Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Minggu, 8 Februari 2009
No comments:
Post a Comment