Monday, February 23, 2009

Kota, Sastra, dan Citra Bangsa

Yang Tersisa dari JILFest 2008

-- Tjahjono Widarmanto


KOTA? Mengapa sebuah kota? Mengapa diperlukan sebuah identitas kota dalam sebuah perhelatan?

Kota tak hanya berhenti sebagai sebuah identitas kewilayahan atau alamat. Kota merupakan sebuah symbol dari jejak, sejarah, masa lalu, kenangan dan kebesaran. Melalui nama sebuah kota akan bisa kembali dihikmati sebuah kenangan yang besar bahkan sebuah citra kebesaran sebuah peradaban. Setiap kota membawa makna dan citra tertentu. Jayakarta, misalnya, merupakan sebuah nama yang mengingatkan pada kemenangan pertempuran yang gilang gemilang.

Citra semacam inilah yang hendak dikabarkan. Oleh karena itu tak heran hampir seluruh kota di Indonesia memakai slogan untuk mencitrakan dirinya. Ada kota yang mencitrakan dirinya dengan slogan berjuang, bermahkota, resik, Apik, bersemangat, dsb yang kesemuanya merupakan sebuah upaya untuk mempresentasikan citra yang positif.

Kota merupakan sebuah narasi kecil yang merupakan bagian dari narasi besar yang disebut bangsa. Kota merupakan sebuah ikon yang diperlukan untuk mempublic relation (Mem PR-kan)kan bangsa. Misalnya, Kuala Lumpur mengingatkan kita pada Negeri Jiran, Mekah pada bangsa Arab, Paris adalah cap Perancis, Roterrdam mengasosiasikan pada Belanda, Bali dan Jakarta merujuk pada Indonesia. Sebuah kota bisa mempresentasikan citra bangsa bahkan sekaligus mempresentasikan citra dari pemimpinnya. Sebuah kota memiliki arti yang penting bagi sebuah bangsa sebab merupakan sebuah miniature yang dapat digunakan sebagai alat promosi kepada dunia luar.

Nasionalisme tak hanya bergantung pada batas kewilayahan yang karena globalisasi bisa menjadi sangat rentan. Pengikat nasionalisme tak hanya batas territorial namun juga pada rasa keterikatan pada cita-cita, persamaan ras, keterikatan culture atau rasa senasib. Nasionalisme tak mustahil pupus apabila berbagai rasa keterikatan itu tidak terus menerus ditanamkan.

Sastra bisa mengambil alih tugas tersebut. Melalui sastra bisa dibangkitkan kembali rasa keterikatan tersebut. Sastra bisa menunjukkan kembali kebersamaan cultur, kebersamaan ideologi, kebersamaan pemikiran, dan mengikat kembali cita-cita bersama. Lukacs (1998) menunjukkan bahwa sastra merupakan gejala kebangsaan dan kemasyarakatan. Hasil teks sastra mencerminkan berbagai gejala yang dialami negara. Sastra merupakan cerminan ikatan struktur yang hidup yang terus menerus dinamik. Cita-cita dan arah sebuah bangsa bisa diamati, dituliskan kembali, dan terus menerus dievaluasi melalui karya sastra. Teks sastra tak hanya menjahit kembali rentangan nasionalisme namun lebih jauh ia akan melesatkan dan mengenalkan sebuah bangsa ke dalam kancah `dunia. Melalui sastra masyarakat dunia bisa menengok Indonesia. Sastra menjadi juru bicara!

Sastra tak akan lahir tanpa kehadiran sastrawan. Kalau melihat begitu penting peran sastra bagi sebuah bangsa, maka sastrawan juga memiliki posisi penting bagi sebuah negara dan bangsa. Seorang sastrawan mampu lebih jauh meneropong ke depan dari siapa pun. Lebih dari politikus, wartawan, atau yang lain. Tak sekedar memotret tapi menjalin sebuah realitas menjadi realitas imajiner yang ideal. Sastrawan merefleksikan kembali pergulatan ide, realitas, dan fenomena zaman menjalinnya menjadi realitas yang baru dan menawarkan pada publik.

Melihat pentingnya sastra dan satrawan, semestinya kedudukkan sastra dan sastrawan juga penting. Namun realitasnya di Indonesia sastra dan sastrawan adalah "sesuatu" yang tidak populer, tidak dianggap penting bahkan dipandang sebelah mata. Karena dianggap sebelah mata, mata sedikit orang yang mau membaca sastra.

Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki politik sastra yang baik, bahkan tak memiliki politik kebudayaan yang jelas. Pengajaran sastra di sekolah merupakan cermin yang nyata bahwa politik sastra kita tidak jelas. Pengajaran sastra selama ini (dan berkali-kali digugat!) hanya diajarkan sepotong-potong, hanya hafalan-hafalan dan tidak menyentuh pada hakikat sastra yang menawarkan nilai dan idealisme. Apabila pelajaran sastra sebagai salah satu upaya politik sastra berjalan dengan baik makan akan tumbuh pula apresiator dan pembaca-pembaca sastra yang baik.

Sastra selalu bersentuhan dengan citra dan cita-cita bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sastrawannya! Meletakkan posisi sastrawan pada posisi kunci adalah tugas kita bersama.***

* Tjahjono Widarmanto, penyair tinggal di Ngawi.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 Februari 2009

No comments: