-- Fahrudin Nasrulloh
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya
(Rumah Kaca: hlm. 38)
Pada sore 6 Februari 2009 yang bergerimis ritmis, sampailah saya di Jl Sumbawa 40, Jetis, Blora. Di sepanjang perjalanan dari Jombang, saya terus terusik, apa yang membuat Pramoedya Ananta Toer tak pernah lekang dikenang dan tiada surut ditelusuri banyak orang, terutama kaum pramis dan kawula pergerakan? Novel-novel Pram, seperti Derap Sepur, berlelayapan di benak saya. Saat tiba, panggung telah ramai dengan sejumlah pergelaran festival musik. Saya melangkah ke depan pagar rumah Pram yang berplakat: Sumbawa 40, perpustakaan Pataba. Di dalamnya memang terdapat dua rumah yang bersambung dengan perpustakaan peninggalan Pram itu. Dengan deklit biru sederhana, di sampingnya dibentangkan spanduk bertulisan: Selamat Datang Kawan-kawan di Acara: 1000 Wajah Pram dalam kata & Sketsa. Peringatan seribu hari meninggalnya Pram itu digelar 1-7 Februari 2009.
Para perupa Jogja Joko Pekik dkk (Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, dan Suatmaji), juga ikut meramaikan acara itu dengan melukis bareng ihwal sosok Pram. Para pengunjung dan pengagum Pram juga dipersilakan menuangkan apresiasinya di kanvas. Di tengah-tengah kerumunan penonton itu, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul ''Abandoned''. Pada puncak acara diluncurkan buku Bersama Mas Pram karya Koesalah dan Seosilo Toer terbitan KPG Jakarta. Lalu dilanjutkan diskusi bertema ''Kisah dan Pemikiran Sastrawan Tierra Humana" dengan pembicara: Koesalah Soebagyo Toer, Ajib Rosyidi, Jusuf Suwadji, dan Sindhunata. Dan, acara dipungkasi dengan pergelaran wayang kulit berjudul Begawan Ciptoning dengan dalang Tristuti Rahmadi.
Bagaimanakah kita sekarang menatap sosok Pram dengan segala kerumuk problematiknya? Mengenang Pram adalah mengenang pahit-getir dan merahnya semangat perjuangan yang tersemat dalam batin dan karya-karyanya. Hidup, bagi Pram, memanglah hanya selangkah dari kematian. Terasa demikian dekat di tenggorokan ketika 14 tahun di penjara Pulau Buru. Pernah suatu hari ia berwasiat: ''Kalau aku mati, jangan bikin apa-apa, jangan didoain, langsung saja bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi kalau bisa, wadahi, dan taruh di perpustakaanku..."
Ini merupakan cuplikan dari Martin Alieda dalam buku bunga rampai berjudul Pramoedya Ananta Toer: 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009). Buku tersebut memuat karya 68 penulis. Mulai esai, puisi, dan catatan kenangan.
Mengenang Pram adalah mengenang sosok yang kontroversial dalam panggung kesusastraan Indonesia. Yang terpanas adalah ketegangan antara aktivis Lekra (termasuk Pram) dengan eksponen Manikebu. Juga perselisihan, secara pribadi antara dia dengan HB Jassin. Antara guru dengan murid. Kita bisa teringat saat-saat awal Pram mengajukan beberapa karyanya ke Jassin namun ia mengacuhkannya. Paham humanisme universal Jassin terasa kian padat dan tidak membumi di mata dan realitas Pram yang humanis sosialis. Dalam surat-menyurat yang penuh genting antar keduanya, Pram pernah menulis begini kepada Jassin (28 Desember 1963), ''Begitulah, ajaranmu tidak cocok dengan perbuatanmu. Aku masih ingat pada suatu tahun waktu kau terbalik dari sebuah becak. Ingat kau apa kataku? Kau menderita bukan karena terbaliknya becak itu, tetapi kerubuhan dagingmu sendiri.''
Sementara, persepsi buruk (mungkin iri) atas karya dari pengarang Idrus, terekam lekat sebagaimana dalam film dokumenter Pram yang diproduksi Yayasan Lontar. Di film itu Pram bercerita bahwa suatu hari ia berkunjung ke Balai Pustaka, sebelum ia menjadi anggota redaksi di sana. Waktu itu Idrus ada di situ, tapi ia belum kenal Pram. Setelah berjabat tangan, Idrus tampak terheran campur sinis dan berucap, ''O, ini Pram? Kau tidak menulis Pram, kau berak!'' Meski begitu, hingga akhir hayatnya, Pram tetap menganggap Idrus sebagai guru besar dan pengarang yang punya stylist yang baik.
Selain dari sekitar 40-an lebih novelnya, Pram juga menulis catatan harian. Riwayat diri menjadi hal berharga untuk terus mengasah daya tahan menulis, ingatan, juga perkara-perkara remeh. Dalam satu kesempatan ia berkata, ''Kau sendiri tahu, bahwa sudah sejak kecil aku mengisi diary, dan pada tahun 1947 disita oleh NICA, dari tangan seorang bekas sersan bawahanku, Sugiarto, di pos penjagaan NICA di Bekasi, dan diary itu juga yang membikin dia meringkuk di penjara Glodok selama beberapa bulan.''
Peristiwa pahit itu tidak mematahkan gelora batin dan api hidupnya. Catatan hariannya pada 9 Februari 1982 menilaskan,''Sejak di SD kubiasakan membikin catatan. Jilid demi jilid buku catatan harian itu binasa karena kejadian-kejadian besar --force majeur. Tak tahu aku besok atau lusa juga binasa atau tidak. Sore ini Bung Jassin menganjurkan bikin catatan. Kucoba kembali.
Baginya, daya revolusi yang ia yakini benar, bahkan untuk hal yang teremeh sekalipun, adalah suatu keniscayaan untuk diperjuangkan sampai mati. Ini membutuhkan tekad baja dan telah teruji di mana di sepanjang hidupnya ia banyak diteror musuh-musuhnya dan dinistakan oleh negara di masa Orla maupun Orba. ''Keberanian itu bukan anugerah, tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Dalam hidup ini, kita menghadapi banyak tantangan. Jangan lari, hadapi semuanya. Itu cara melatih keberanian,'' begitulah prinsip Pram.
Menilai Pram tidak mesti digebyah-uyah sebagai jimat bertuah atau situs purba beserta karya-karyanya. Tapi yang pasti, ia adalah ''api inspirasi'' bagi siapa pun, terutama kaum muda. Seperti bagi Najib Hermani dan Muhidin M. Dahlan yang mendedikasikan peluh mereka sekian tahun pada penerbit Lentera Dipantara; Eko Arifianto dan Ex Mahardana Wijaya di Blora dan Randublatung bersama Komunitas Pasang Surut, Mataba, SuperSamin, Front Blora Selatan, Anak Seribu Pulau, Rapala, Tugu United, Arsumpala, Lidah Tani, Komunitas Rukun Tani, Roedal Revolt, Kolektif Reaksi, Yayasan Mahameru, LPAW, dan Paguyuban Penghayat Kepercayaan; juga komunitas dan grup musik punk Marjinal yang dimotori Mikael Isrofil dari Jakarta.
Mengenang pram, kini dan mendatang, adalah mengenang si pengendara badai yang melayari cakrawala pikiran dan lelangkah generasi mendatang dengan berpijak pada kejujuran, keberanian, dan kecintaan akan ''bumi manusia'' ini. Setelah dimakamkan di Karet Bivak, Pram bukan lagi sebagai cerita, namun sebentang nyanyi ''darah juang'' dalam labirin kisah yang bergerak dari waktu ke waktu, seperti lirik syair ''Riders on The Storm''-nya Jim Morison ini: Riders on the storm/ Into this house we're born/ Into this world we're thrown/ Like a dog without a bone/ An actor out alone/ Riders on the storm...(*)
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Februari 2009
No comments:
Post a Comment