Sunday, February 15, 2009

Tukang Dongeng: Hikayat Sang Penghikayat

Suatu negeri di ujung karang/Yang sering dilanda gempa bumi/Beribu-ribu orang tewas/Beribu-ribu orang digulung-gulung.
Maka, datanglah bala bantuan...
Marilah kita berguru pada alam/Sehingga lebih bisa hindari bencana...

Potongan hikayat yang dituturkan Agus PM TOH dalam suatu iklan itu kerap muncul pada siaran televisi seputar gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, akhir tahun 2004. Saat bencana alam meluluhlantakkan ”negeri di ujung karang” itu, kepiawaian Agus sebagai penghikayat—dalam arti, orang yang pintar menuturkan hikayat—justru naik daun.

Tak hanya iklan, Agus banyak nongol di layar kaca dengan membawakan berbagai dongeng seputar bencana alam. Kegiatan serupa dikembangkan di tengah para korban tsunami di Aceh. Bersama kelompok seniman Banda Aceh, antara lain Udin Pelor, Apa Kaoy, dan Evi, dia menggiatkan pendampingan masyarakat lewat program Televisi Episentrum 18,73 Skala Richter.

”Kami bikin kotak dari kayu mirip layar kaca televisi besar, sekitar 1,5 meter x 1 meter lebih. Televisi itu kami angkut dengan mobil pick-up ke barak-barak pengungsi,” papar Agus.

Di barak pengungsian, kelompok seniman itu membuat drama kecil-kecilan dengan para aktor nongol dalam kotak persegi panjang itu, mirip adegan televisi sungguhan. Setelah dapat contoh, warga didorong tampil dalam televisi kayu tadi. Ada yang main drama mirip sinetron, baca berita, lawakan, atau nongol untuk sekadar menyampaikan unek-unek.

”Kami berusaha menjadikan media hikayat lewat televisi kotak kayu untuk membangkitkan semangat hidup para pengungsi,” ujar Agus, yang sampai kini masih melajang itu.

Pascatsunami Aceh, Agus makin beredar. Dia banyak diundang pentas di sejumlah kota, termasuk ke luar negeri, seperti ke Swiss (2007) dan Jepang (2008). Bagaimana Agus menjadi penghikayat?

Agus lahir di Kota Sabang, Pulau Weh, Agustus 1969. Pada akhir masa kuliah diploma-3 di Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dia ambil tugas akhir pementasan hikayat. Untuk itu, dia kembali ke Aceh dan nyantrik para penghikayat senior asal Siglie, Tengku Adnan PM TOH (almarhum).

Dua tahun belajar, tahun 1991-1992, Agus dapat sebutan PM TOH, julukan yang sebelumnya disandang sang guru lantaran piawai menirukan ”tet-tot” klakson bus PM TOH. Kembali ke Jakarta, Agus mulai menggelar pentas monolog yang memadukan sastra tutur tradisional dan improvisasi teater modern. Dia pernah memainkan beberapa hikayat, antara lain Hikayat Hamzah Fansuri Menjala Ikan, Anak Emak Mencari Telor, Jendral Puyer Bintang Toedjoeh, Polisi dan Bandit, dan Era Tahun 2000, dan Hikayat Pahlawan Mencari Obat.

Keunikan dan ketekunan Agus menekuni seni hikayat selama 12-an tahun itu menarik perhatian. Sejumlah mahasiswa meneliti kreativitas itu untuk menyusun skripsi. ”Tapi, skripsi saya sendiri belum kelar. He-he-he...,” kata Agus seraya nyengir. Kini, lelaki itu memang tengah menuntaskan skripsi untuk menyelesaikan kuliah S-1 di Jurusan Teater IKJ. (iam)

Sumber: Kompas, Minggu, 15 Februari 2009

No comments: