Friday, February 27, 2009

Sejarah Melayu: Mengenal Kota Candu dari Museum

BARANG-BARANG sejarah Melayu tersimpan rapi di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Museum itu diresmikan Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan, akhir Januari lalu.

Replika Istana Damnah dengan latar belakang Gunung Daik di Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.(KOMPAS/FERRY SANTOSO)

Koleksi museum itu terdiri dari naskah kuno Melayu, gambar masa lalu, peralatan perang sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga, keramik China, dan peralatan kerajaan Riau-Lingga. Barang-barang itu dibeli atau diperoleh dari masyarakat yang menyimpan secara individu.

Salah satu koleksi di museum itu adalah peralatan mengisap candu. Lima alat pengisap itu tersimpan rapi di dalam etalase kaca dalam museum. Modelnya pun beragam, ada pengisap dengan pipa yang tinggi atau memanjang.

Dalam keterangan koleksi barang disebutkan, di Kota Tanjung Pinang sebagai ibu kota Residen Riau dan pusat pengendalian monopoli perdagangan candu, dibangun kantor pengendali yang dipimpin oleh pengawas perdagangan candu.

Menurut sejarawan Melayu, Aswandi Syahri, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang memang dilegalkan dengan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Candu diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang China di Tanjung Pinang waktu itu.

Akan tetapi, perdagangan candu di Kota Tanjung Pinang sebenarnya sudah lama terjadi. Itu dapat dilihat dari sejarah perang kerajaan Riau yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah (1783-1785). Penyulut perang itu adalah masalah candu.

Aswandi menjelaskan, Februari 1782 di perairan Tanjung Pinang, datang kapal Inggris, yaitu Betsy. Kapal itu membawa barang-barang perdagangan, termasuk 1.154 peti berisi candu. Kapal itu kemudian dibajak oleh pembajak dengan kapal La Sainte Therese yang dinakhodai Mathurin Barbaron, nakhoda asal Perancis.

Kapal Inggris Betsy, lanjut Aswandi, kemudian dibawa oleh Mathurin ke Malaka yang dikuasai VOC. Raja Haji Fisabilillah yang mengetahui kejadian itu meminta pemerintah VOC di Malaka membagi hasil rampasan dari kapal yang dibajak oleh nakhoda asal Perancis itu.

Akan tetapi, pemerintah VOC di Malaka tidak ingin membagi hasil rampasan itu. Situasi memanas sehingga pasukan VOC dari Malaka menyerang Kota Tanjung Pinang yang waktu itu berada di bawah pemerintahan Raja Haji Fisabilillah.

Kapal besar VOC yang bersandar di perairan Tanjung Pinang ditembak oleh pasukan Raja Haji Fisabilillah pada 6 Januari 1784. Ini kemudian dijadikan sebagai tanggal kelahiran Kota Tanjung Pinang.

Dengan demikian, Kota Tanjung Pinang telah berusia 225 tahun. Museum di Kota Tanjung Pinang yang dibuat itu tentu dapat menjadi catatan sejarah bagi generasi mendatang. (FER)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Februari 2009

No comments: