-- Dwi Fitria
SAATNYA berselancar di medium sosialisasi sastra paling potensial.
Salah satu eksperimentasi sastra pertama yang dilakukan dengan menggunakan internet dilakukan oleh Douglas Anthony Cooper. Pada 1994, novelnya berjudul Delirium diposting secara berseri dengan menggunakan medium internet yang pada saat itu masih terhitung baru.
Menggunakan medium internet, Cooper yang mungkin belum terlalu populer tapi kerap dibandingkan dengan Italo Calvino, Milan Kundera, bahkan Vladimir Nabokov itu, membuat serialnya memiliki empat alternatif plot yang berbeda. Dan pembacanya di dunia maya, bebas “berselancar” di antara empat jalinan plot berbeda ini. Sastra cyber, atau e-literature pun mulai dikenal.
Di Indonesia, Yayasan Multimedia Sastra yang didirikan pada 2001 lalu punya misi yang kurang lebih sama. Memanfaatkan medium intenet sebagai wadah menciptakan bentuk karya sastra yang berbeda dari yang sudah pernah ada sebelumnya.
Cita-cita ini ternyata masih terlalu muluk. Penguasaan teknologi yang masih sangat minim menjadi sandungan. Pada kenyataannya internet di Indonesia, lebih banyak digunakan semata sebagai media publikasi. Tak kurang dan belum lebih.
Menyesuaikan dengan keadaan dan kemampuan, ekspektasi pun diturunkan. Yang tadinya bermaksud mengeksplorasi kecanggihan internet sebagai medium ekspresi, menjadi sekadar media untuk mempublikasikan karya.
“Cyber sastra menurut saya, hanya medianya saja yang ada di internet. Internet sekadar media dalam bentuk yang berbeda. Melengkapi media-media yang sudah lebih konvensional, semisal koran atau buku. Tetapi posisinya sama saja,” ujar Hasan Asphani, sastrawan yang lebih kerap menampilkan karya-karyanya di jagad maya.
Mutu Sastra Cyber
Kemunculan sastra cyber sempat menimbulkan polemik di kalangan sastrawan. Apalagi setelah Yayasan Multimedia Sastra kemudian menerbitkan sebuah buku disertai cd multimedia berjudul Graffiti Gratitude pada 2001 lalu. Mutu menjadi salah satu hal yang paling kerap dipertanyakan.
Saut Sitomorang memetakan perdebatan itu dalam makalahnya Kritik Sastra dan Sastra Cyber Indonesia. Gugatan yang diajukan antara lain, tindakan membukukan sendiri dianggap mengkhianati hakikat sastra cyber yang seharusnya tetap berada di dunia maya. Mutu menjadi hal lain yang disoroti. Karya-karya yang ditampilkan di sana belum dianggap cukup berkualitas untuk disebut sebagai karya dengan nilai cukup tinggi.
Meskipun menurut Saut Situmorang dalam makalah itu, kritik yang dilayangkan itu timpang sifatnya. Sebab puisi-puisi yang dijadikan sasaran kritik bukanlah karya terbaik dalam kumpulan tersebut.
Dalam sebuah diskusi pada peringatan ulang tahun milis Apresiasi Sastra yang diselenggarakan pada Sabtu (31/01) lalu, pertanyaan yang sama masih dilontarkan terhadap kondisi sastra cyber termutakhir.
Johannes Sugianto mengakui memang tidak ada batasan baku pada karya-karya yang dimuat di internet. “Memang tidak ada suatu kriteria bahwa karya hanya pantas masuk ini masuk itu, sebab memang tidak ada. Misalnya saja mailing list yang memberikan kriteria karya ini pantas masuk atau tidak,” ujar Johannes yang mulai menapakkan kaki di dunia sastra lewat jagad virtual.
Menurut laki-laki yang pernah menelurkan antologi puisi Di Lengkung Alis Matamu itu, tanggung jawab berpulang pada penulis sendiri. “Penulis sendirilah yang harus menimbang-nimbang apakah karya itu layak masuk ke blognya atau tidak. Karena yang dipertaruhkan adalah kredibilitasnya sendiri sebagai seorang penulis.
Pendapat senada dilontarkan Hasan Asphani. ”Justru sastra bentuk ini lebih demokratis. Pembacanya seperti masuk ke sebuah supermarket besar, dan semua tergantung dia mau mengambil bahan yang mana.”
Seleksi yang terjadi menurut penulis yang bermukim di Batam itu malah lebih keras. “Berhasil atau tidaknya benar-benar tergantung pada mutunya. Situs yang bagus tentu akan dikunjungi banyak orang. Sementara kalau jelek, mau memposting 1000 puisi, bisa saja sama sekali tak ada yang mengunjungi,”
Meskipun bebas, yang tetap harus diingat bagi Johannes adalah agar masing-masing penulis tetap meningkatkan kualitasnya. “Agar karya-karyanya benar-benar teruji, seorang penulis tak boleh berhenti mengembangkan diri. Dia tetap harus memperkaya wacana dengan berdiskusi, maupun membaca banyak karya.”
Cakrawala Tanpa Batas
Dibandingkan dengan media sastra yang lebih konvensional, media cyber adalah sebuah media yang nyaris tak berbatas. Kecepatan menjadi salah satu kelebihannya. “Saat ini saya memposting sebuah karya misalnya, detik yang sama, karya saya itu sudah bisa diakses orang dari seluruh dunia, “ ujar Johannes.
Hal ini berbeda dengan sastra koran misalnya. Seorang penulis harus menunggu berminggu-minggu bahkan tak jarang berbulan-bulan untuk menunggu diterbitkannya karyanya. “Belum lagi karena ruang yang terbatas, karya yang ditampilkan benar-benar dipilah-pilah. Dari sepuluh puisi misalnya, bisa hanya dua atau tiga saja yang ditampilkan.”
Bukan perkara gampang untuk dimuat di koran. Pernah selama tiga tahun, Hasan mengirimkan nyaris tiap bulan puisi-puisinya ke salah satu harian ibu kota. Tiga tahun kemudian usaha itu baru membuahkan hasil, setelah akhirnya puisinya dimuat juga.
“Kesempatan untuk tampil adalah sesuatu yang amat mahal. Dan inilah kesempatan yang dibukakan luas dengan adanya internet,” ujar Hasan.
Jagad cyber juga memberikan ruang akses informasi tak berbatas bagi para penggiat sastra yang tak tinggal di kota besar. “Tak semua orang beruntung tinggal di sebuah kota di mana geliat sastra begitu terasa. Kalau tak ada internet bagaimana orang di kota-kota yang lebih kecil bisa mengembangkan karya dengan lebih cepat?” ujar Hasan.
Berjalan Beriringan
Sastra cyber membukakan kesempatan besar bagi para penulis baru untuk memunculkan diri mereka. “Lewat berproses di internet, saya bertemu dengan penulis-penulis baru, yang jika hanya mengandalkan media yang lebih konvensional akan lambat sekali ditemukan,” ujar Hasan.
Ia menyebut nama-nama Steven Kurniawan dengan blognya sketsa-puisi.blogspot.com. Steven adalah seorang mahasiswa yang sedang belajar di Singapura. Selama ini ia belum pernah sekalipun mengirimkan karyanya ke koran.
Nama lain yang menurut Hasan patut diperhitungkan adalah Bernard Batubara, seorang mahasiswa Kalimantan Barat yang sedang belajar di Yogyakarta. Bernard memposting karya-karyanya dalam bisikanbusuk.blogspot.com. Sementara Aan Mansyur berkarya lewat pecandubuku.blogspot.com. Karya Aan masuk sepuluh besar pada Khatulistiwa Literary Award 2008 lalu.
Meski tak banyak, ruang-ruang sastra di koran telah menjadi sebuah media yang cukup berpengaruh untuk mempublikasikan karya seorang sastrawan. Sayangnya ruang itu makin lama makin menyempit. Beberapa media massa yang tadinya memberikan porsi untuk sastra semisal Media Indonesia dan Republika akhirnya menutup kolom sastranya.
Keberadaan internet menurut Johannes Sugianto maupun Hasan Asphani berpeluang besar untuk mengatasi hal ini. Sastrawan bisa memanfaatkan ruang penyimpanan virtual untuk mempublikasikan karya mereka.
“Sastra cyber memberikan ruang tak berbatas, sementara dengan dimuat di koran pembaca akan jadi lebih tahu mengenai karya seorang sastrawan,” ujar Hasan. Jika dilihat dari segi ini baik sastra cyber maupun sastra dalam bentuknya yang lebih konvensional dapat berjalan beriringan.
Selain itu tak dapat dipungkiri bahwa generasi muda kini tak bisa dilepaskan dari internet. Internet dapat menjadi medium andal untuk merangkul peminat sastra di kalangan yang lebih muda. “Ke depannya kemungkinan besar generasi muda itu akan lebih familiar dengan para penyair yang mau berinternet,” ujar Johannes.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 8 Februari 2009
No comments:
Post a Comment