MAK Sarijah hanya duduk tepekur di kamar hotel tempatnya menginap di kawasan Geylang, Singapura. Sesekali matanya melirik ke luar jendela, mengintip keramaian di salah satu sudut kota metropolis paling atraktif di Asia Tenggara tersebut.
Salah satu sudut kawasan wisata terpadu Bintan Resor di Sebong Lagoi, Bintan Utara, Kepri. Di kawasan ini sudah berdiri puluhan resor dan hotel, sebagian besar pengunjungnya datang langsung dari Singapura melalui laut.(KOMPAS/KENEDI NURHAN)
Meski baru pertama kali bertandang ke negara pulau yang berjarak hanya ”sepelemparan batu” dari kampungnya di Keke, Bintan Timur, Kepulauan Riau, nama Singapura sebetulnya tidak asing bagi Mak Sarijah (71). Sebab, almarhum suaminya, Muhamad Atan Rahman, berasal dari Kampung Kurau, Singapura.
Nama besar Singapura sebagai salah satu pusat perniagaan dunia juga bukan tidak diketahui Mak Sarijah. Semasa suaminya masih hidup, ia kerap diceritai tentang gemerlap kehidupan kota pulau yang dulu hanyalah bagian kecil dari wilayah Kesultanan Melayu. Jauh berbeda dengan denyut perekonomian di kampungnya, juga di Pulau Bintan pada umumnya, yang tak beringsut dari waktu ke waktu.
Dan, dulu—terutama sebelum tahun 1970-an—tidak sedikit orang sekampungnya yang ”hilir mudik” menyeberang selat hanya berperahu pancung, berdagang kebutuhan hidup sehari- hari hingga ke Singapura. Bahkan, banyak di antara mereka adalah para inang, sebutan untuk perempuan yang ikut terlibat dalam perniagaan rakyat antarpulau di kawasan Selat Melaka.
Akan tetapi, ketika benar-benar menginjakkan kaki di Singapura, Mak Sarijah tetap saja terperangah menyaksikan bekas ”kampung halaman” suaminya itu. Padahal, lokasi tempat ia menginap dalam rangka ikut pentas Makyong di Singapore Arts Festival tersebut bukanlah kawasan pusat bisnis.
Di seberang hotel memang ada pasar rakyat, Geylang Serai. Pengunjungnya pun sebagian besar orang Melayu yang bercakap juga dalam bahasa Melayu. Namun, atmosfer yang dirasakan Mak Sarijah jauh berbeda dibandingkan saat ia melancong ke pusat kota Tanjung Pinang sebagai ibu kota Kepulauan Riau atau di Batam sekalipun.
Tikungan sejarah
Membanding-bandingkan kemajuan Singapura—juga Johor Bahru di tepi Selat Tebrau yang menghadap langsung ke Singapura—dengan capaian di daerah Kepulauan Riau hanya menyembulkan sedikit rasa iri. Tentu terlalu berlebihan bila ada yang mengibaratkannya bagai langit dan bumi, tetapi kesenjangan itu jelas tampak di pelupuk mata.
Betul bahwa Mak Sarijah tidak paham sejarah. Akan tetapi, sedikit banyak ia kerap mendengar kisah bahwa dulu Singapura bukanlah apa-apa dibandingkan Bintan. Ketika masih bernama Tumasik, Singapura hanyalah pulau kecil yang tak berarti dalam lingkup kekuasaan Kesultanan Melayu, yang pada masa kegemilangannya berpusat di Pulau Bintan dan Lingga.
Namun, sejarah tak mengenal garis linear. Selalu saja ada tikungan dalam sejarah peradaban suatu bangsa, yang—ironisnya—kerap menisbikan kegemilangan masa lampau. Dan, itulah yang terjadi pada alam Melayu di kawasan Riau kepulauan, di mana kemajuan peradaban gagal bersanding dengan gerak laju perekonomian masyarakatnya.
Letak geografis yang sangat strategis, berada di Selat Melaka sebagai ”hatinya lautan” (meminjam ungkapan ahli sejarah maritim AB Lapian) yang mengalirkan semua aktivitas dari Atlantik ke kawasan Pasifik, Riau kepulauan gagal menangkap momentum sejarah. Singapura meluncur bagai meteor sebagai tempat transit dalam perdagangan internasional, sementara Bintan dan Riau kepulauan pada umumnya hanya jadi penonton.
Menurut catatan Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), pada pertengahan abad XIX sebetulnya Singapura dan Riau kepulauan saling berlomba menjadi pusat transit perdagangan dunia. Semangat yang melapikinya jelas, yakni untuk mengambil keuntungan ekonomi dari posisi strategis masing-masing yang berada di bibir ”hatinya lautan”.
Setelah Traktat London 1824 ditandatangani Inggris dan Belanda—yang secara sepihak membagi wilayah Kesultanan Melayu menjadi dua: kawasan Tanah Semenanjung dan Riau kepulauan—keinginan membangun pelabuhan laut sudah mereka gaungkan.
Inggris yang kemudian membeli Singapura dari Sultan Husein dan Tumenggung Abdul Rahman sebagai penguasa Kesultanan Melayu-Johor, dengan imbalan masing-masing ”hanya” 33.200 dan 26.000 ringgit Spanyol, langsung bergerak cepat. Pada 1875, Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa Singapura sudah berhasil mewujudkan pulau di ujung Tanah Semenanjung itu menjadi pelabuhan besar.
Akan halnya wilayah Riau kepulauan, Residen Netscher yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda ternyata kalah hebat dibandingkan Raffles. Padahal, saat itu peluang menjadikan Bintan sebagai pelabuhan besar tempat aktivitas perdagangan dunia terbuka lebar.
Perekonomian dunia sedang membaik. Hasil perkebunan karet, kopra, dan gambir sebagai komoditas utama kala itu—selain timah, juga rempah-rempah dari belahan timur Nusantara—pun terus meningkat.
”Bahkan, pada tahun 1870 harga kopra di pasaran dunia naik sehingga pendapatan melalui cukai diperkirakan dapat membiayai pembangunan fisik pelabuhan,” tutur Sutamat.
Dalam perkembangannya ternyata Bintan kalah bersaing dengan Singapura. Pelabuhan Bintan di Tanjung Pinang saat ini tak ada apa-apanya dibandingkan Singapura. Jangan ditanya pelabuhan di Daik, Lingga, yang dulu juga menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu. Pelabuhan Jagoh di Daik bahkan cuma untuk berlabuh kapal cepat dari Bintan dan Batam.
Namun, selalu ada sisi lain yang pantas dikedepankan dari tikungan sejarah yang suram. Kalah bersaing membangun perekonomian dari Singapura, bukan penghalang bagi masyarakat Riau kepulauan untuk maju di bidang lain. Sebagian penduduk di wilayah Kesultanan Melayu tersebut mengembangkan ”keunggulan” di sektor lain, seperti seni sastra dan budaya.
”Pada masa perekonomian membaik, Singapura mampu membangun pelabuhan dagang, sedangkan Riau kepulauan berhasil mengembangkan identitas dirinya melalui kesusastraan dan bahasa Melayu,” tutur Sutamat.
Atau, dalam bahasa sastrawan Taufik Ikram Jamil, ”... keunggulan Singapura dalam bidang ekonomi sama sekali tidak menjatuhkan Riau dalam kebudayaan Melayu. Pada saat Singapura bangkit dengan materinya, kehidupan spiritual di Riau marak pula sampai awal abad XX.”
Ada rasa bangga dalam pengucapan kata-kata tersebut, namun—diakui atau tidak—di balik itu terselip pengakuan samar- samar betapa kita sebagai bangsa gagal memperbaiki keadaan. Ketika abad berganti dan masing- masing wilayah menjadi negara yang berdaulat, kemajuan di seberang Selat Melaka itu bagai dunia lain yang jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat di negeri ini, tak terkecuali mereka yang tinggal di daerah perbatasan (baca: Riau kepulauan).
Kawasan industri
Bagai ingin mengulang sejarah kejayaan Kesultanan Melayu di masa lampau, awal 1990-an digalang kerja sama antartiga kawasan: Singapura-Johor-Riau alias Sijori! Tujuannya sangat ideal, yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sifatnya saling menguntungkan. Pada saat hampir bersamaan, guna mengejar ketertinggalan dari Singapura (juga Malaysia), Pemerintah Indonesia juga mengembangkan Pulau Batam sebagai kawasan industri dengan penanganan khusus. Sejak itu, Batam pun berkembang pesat sebagai daerah industri dan pergudangan.
Di belahan lain, persisnya di daerah Sebong Lagoi di Bintan Utara, juga telah dibangun kawasan wisata terpadu dengan atmosfer serba Singapura. Bisa dimaklumi, mengingat pengelola kawasan ini umumnya pengusaha dari negara pulau tersebut. Mereka sudah menjalin kontrak sewa pakai selam 30 tahun. Namun, informasi dari sejumlah sumber menyebutkan, sebagian besar kawasan seluas 19.000 hektar itu sudah disewa para pengusaha dari Singapura untuk 80 tahun ke depan.
Dampak dari kerja sama Sijori memang membuat perekonomian Batam dan Bintan ikut berdenyut. Hanya saja, seperti terlihat dari neraca ekspor impor Batam yang selalu negatif, perolehan keuntungan tetap saja lebih banyak mengalir ke seberang Selat Melaka: Singapura!
”Teori balon” yang pernah diyakini BJ Habibie akan terwujud terkait pengembangan industri di Batam dan Bintan, yakni suatu ketika terjadi balon-balon kecil sebagai limpahan dari balon besarnya (baca: Singapura), sudah hampir 20 tahun ternyata masih sekadar impian. Masyarakat yang mendiami daerah Riau kepulauan terus menunggu sekaligus berharap cemas: jangan-jangan justru balon-balon kecil itu suatu saat akan meletus. (ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Februari 2009
No comments:
Post a Comment