Sunday, February 15, 2009

Oase Budaya: Sastra di Antara Komoditas Ilmu

-- Theresia Purbandini

LEMBAGA pendidikan formal yang seharusnya memayungi kegiatan pembelajaran sastra di Indonesia nampaknya mengalami stagnansi. Sunu Wasono, Kepala Lektor Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia menguraikan sastra di tingkat sekolah menengah dihimpit oleh sejumlah mata pelajaran yang tidak dapat dikatakan sedikit.

“Lihat anak-anak sekolah sekarang, mereka tiap hari menggendong tas yang berisi buku ke sekolah sampai kelelahan. Mereka harus mengikuti mata pelajaran yang bermacam-macam hingga beban mereka berat. Akibatnya, mereka tidak dapat melahap karya sastra secara maksimal. Mereka harus berbagai waktu dengan mata pelajaran lain yang jumlahnya banyak,” ujarnya saat diwawancarai oleh Jurnal Nasional.

Menurut kritikus sastra Kris Budiman, kondisi pengajaran sastra sejauh ini sangatlah mengecewakan banyak kalangan seperti para sastrawan, pemerhati sastra, masyarakat, siswa dan bahkan juga kalangan guru sastra itu sendiri. Pendidikan sastra seakan terpinggirkan nasibnya menjadi komoditas yang kurang laku diperjualbelikan dalam pasar ilmu pengetahuan.

“Saya kira karena sastra, juga kesenian pada umumnya, dianggap tidak punya kontribusi apa-apa bagi pembangunan nasional yang berorientasi pada pembangunan fisik dan ekonomi. Asumsi ini masih berlanjut hingga hari ini. Sistem pendidikan di negeri kita semakin berorientasi pada industri atau sebagai bisnis pendidikan,” papar pria yang mengenyam latar belakang akademis di bidang Linguistik, Ilmu Sastra, dan Antropologi di UGM ini.

Bahkan dinilai oleh Sunu, pendidikan sendiri pun tak mendapat cukup tempat bagi pemerintah. “Sekarang (masa reformasi) pun sama. Ekonomi kita rontok dan orang lebih suka menyibukkan diri pada bidang politik. Di mana-mana orang berebut kursi dengan berbagai cara. Ijazah dibeli dan dipalsukan agar mendapat kedudukan. Ini semua merupakan tanda bahwa pendidikan diabaikan,” ungkap pria lulusan Sastra Indonesia UI ini.

Kurikulum Ideal

Kurikulum yang ideal menurut Sunu harus tetap terkait dengan porsi cukup untuk membaca dan mengapresiasi sastra. Membebani isi kepala siswa dengan teori bukan jawabannya. Menggiring siswa untuk terjun melakukan kegiatan bersastra dalam konteks yang lebih luas, akan membuat mereka lebih mudah akrab dengan dunia sastra.

“Jangan hanya aspek kebahasaan yang diberi porsi banyak, sedang sastranya tidak dijamah. Kalau dilihat dari kurikulum, pengajaran sastra di sekolah tidak lagi dijejali dengan teori dan hapalan ataupun pengetahuan tentang nama-nama pengarang dan judul buku. Di perguruan tinggi pengajaran sastra ditekankan pada pengkajian dan keilmuan, terutama di universitas yang nonkependidikan. Karya-karya yang dipelajari mencakup berbagai jenis, bukan hanya karya yang kanonik,” kata dosen sastra yang masih giat mengajar ini.

Sementara sejauh yang diamati oleh Kris Budiman, kurikulum pendidikan bahasa dan sastra hanya berubah pada tataran konseptual. “Konsep-konsepnya semakin canggih mengikuti perubahan sistem kurikulum general. Tetapi, implikasinya pada tataran operasional di dalam kelas tetap tidak ada perubahan sejak zaman baheula. Guru-guru bahasa dan sastra, juga guru menggambar, terkesan ndableg,” ujar pengarang buku Feminografi ini.

Sunu memandang adanya indikasi sastra agak dikesampingkan karena faktor kesulitan. Di sekolah, ada guru yang enggan atau kurang percaya diri kalau mengajarkan sastra. Mereka lebih "sreg" mengajarkan bahasa. Mungkin kondisi ini terkait dengan keadaan semasa guru itu menempuh pendidikan di universitas. ”Boleh jadi waktu kuliah mereka kurang mendapat materi yang memadai,” imbuhnya.

Suka Membaca

Menurut data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional 2004, guru SD Negeri yang tak kompeten mengajar sesuai bidang keilmuannya sebesar 45,2 %, sedangkan tingkat SMP sebanyak 35, 9%. Sama halnya dengan tingkat SMA yang mencapai 32, 8% dan SMK yang berada di prosentase 43, 3 %. Dari data yang ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa tingkat kompetensi guru di Indonesia memang cukup memprihatinkan.

Seperti juga dikemukakan dua pengajar sastra di perguruan tinggi di atas, kelayakan guru yang kurang valid cukup berkaitan dengan iklim sastra yang tercipta. Pencapaian yang mendekati ideal menurut Kris, peserta didik suka membaca buku dan mencintai bahasa apa pun, baik itu sastra atau bukan.

Sementara menurut Sunu, seorang guru dituntut tak pernah berhenti mengecap buku. “Banyak guru yang saya jumpai pengetahuan sastranya mengagumkan. Tidak semua guru tidak menguasai materi sastra. Guru bahasa Indonesia yang menjadi penulis, baik cerpen, puisi, novel, maupun esai banyak. Tapi saya yakin mereka tidak mengandalkan dari apa yang didapat semasa kuliah di IKIP atau universitas,” katanya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

No comments: