Monday, November 30, 2009

Belum Ada Tindak Lanjut Rekomendasi Kongres Kebudayaan

JAKARTA, KOMPAS.com- Dari beberapa kali penyelenggaraan Kongres Kebudayaan, rumusan dan rekomendasi yang dihasilkan belum dapat berfungsi efektif. Belum ada kebijakan-kebijakan nyata yang dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi hasil Kongres Kebudayaan, dan terkesan hanya berhenti sampai dengan keputusan saja.

Demikian dikatakan Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Separman, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Kesenian, Sulistyo Tirtokusumo, pada peluncuran Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI), Senin (30/11) di Jakarta.

"Untuk mengawal perjalanan keputusan kongres, Kongres Kebudayaan di Bukittinggi, tahun 2003, merekomendasikan agar dibentuk institusi independen," katanya.

Tjetjep menjelaskan, sebagai tindak lanjut dari rekomendasi tersebut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata membentuk dan memfasilitasi lembaga khusus yang independen, dengan anggota dari kalangan budayawan dan cendekiawan, yang disebut dengan Badan Pekerja Antarkongres Kebudayaan, dengan tugas mengawal perjalanan keputusan kongres, mempersiapkan dan turut melaksanakan kongres berikutnya.

Namun, lanjutnya, sampai dengan berlangsungnya Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor, lembaga tersebut belum dapat berjalan efektif. Selanjutnya, hasil Kongres Kebudayaan di Bogor kembali diamanatkan untuk membentuk lembaga yang sama. Oleh karena itu, tanggal 6 Febru ari 2009 melalui Keputusan Menbudpar Nomor KM.02/OT.001/MKP/2009 dibentuklah Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI), setelah lembaga sebelumnya dibubarkan.

"Semenjak dibentuk sampai saat ini BPKKI telah bekerja cukup efektif, namun keberadaannya belum banyak diketahui masyarakat umum, karena lembaga tersebut diakui memang belum tersosialisasikan dengan baik," ungkap Tjetjep.

Peluncuran BPKKI sejalan dengan digelarnya dialoq bertajuk Budaya Berpikir Positif sebagai Modal Integrasi Bangsa.

Pengurus BPKKI diketuai Mukhlis PaEni, Sekretaris Junus Satrio Atmojo, dengan anggota Buntje Harbunangin, Pudentia, H Hardi, Susanto Zuhdi, Nunus Supardi, dan Kenedi Nurhan.

Mukhlis PaEni mengatakan, BPKKI secara khusus memperhatikan tiga hal. Pertama, membahas, merumuskan, dan menyampaikan usul dan/atau saran mengenai masalah-masalah strategi di bidang kebudayaan.

Kedua, mengawal, menyosialisasikan dan mengadvokasikan rumusan dan saran mengenai masalah-masalah strategi kebudayaan bersama lembaga-lembaga pendidikan, media massa, pemerintah, swadaya masyarakat, swasta perorangan dan masyarakat umum. Sehingga terjadi gerakan bers ama dalam memecahkan masalah-masalah strategi dan meningkatkan kualitas hidup berbudaya. Dan, ketiga, menghimpun berbagai aktivitas kongres yang bermuatan budaya.

BPKKI sebagai sebuah institusi nirlaba digerakkan oleh sebuak mekanisme pengabdian dari pada anggotanya yang dengan penuh keikhlasan memberi dedikasi/pengabdiannya kepada upaya pembangunan budaya bangsa, jelasnya.

NAL

Sumber: Oase, kompas.com, Senin, 30 November 2009

Restu Redaksi Untuk Sastrawan

-- Hendri R.H.

SEPERTINYA ini sebuah guratan takdir bahwasannya kami harus menyembah redaksi kebudayaan untuk dikatakan sebagai seorang sastrawan. Lalu apakah menjadi sebuah kemutlakan bahwa sastrawan harus melewati penggonjlogan redaksi sastra?

Gelar sastrawan bagi seorang penyair, penulis, esais, dan dramawan bukanlah proses formal sebuah pendidikan akademik. Ada semacam dikotomi bahwa sebenarnya pendidikan formal bagi sastrawan adalah media massa. Pemerolehan gelar sarjana sastra dalam formalitas akademik, tentu tidak menjamin menjadi sastrawan, diperlukan suatu jalan panjang bahwa proses kreatif dan pengakuan dari sastrawan lain itu hal yang cukup penting.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan tidaklah mudah. Ada semacam gengsi tersendiri bahwa seorang sastrawan harus identik dengan media massa, atau bahkan karyanya harus sering nongol di media massa.

Sastrawan yang baru naik daun akan senang ketika karyanya dihargai oleh orang sekelas Nirwan Dewanto, atau bahkan sekalipun dicaci maki oleh seorang H.B Jassin. Karya sastra yang dihasilkan tentu bukan hanya untuk konsumsi pribadi namun juga dipublikasikan ke khalayak umum. Dengan kata lain sastrawan sendiri membutuhkan eksistensi agar karya-karyanya dapat dikenal.

Menariknya dalam ruang lingkup sejarah sastra Indonesia, kemunculan media massa membawa angin perubahan yang cukup berarti, lihat saja W.S Rendra yang karyanya pertama kali dimuat dalam majalah-makalah terkemuka di Jakarta dan lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya. Belum lagi Seno Gumira Adjidarma, Acep Zamzam Noor, Sutardji Calzoum Bachri dan Joni Aria Dinata yang hidup dan menemukan gelar sastrawannya lewat media massa.

Penghargaan dan pengakuan tersebut sebenarnya membuat sebuah pembenaran bahwa seorang penulis ketika berhasil melewati testing redaksi, telah dianggap sebagai seorang sastrawan. Asumsi semacam ini memang benar adanya, karena saking hidupnya dunia sastra, bermunculan penyair-penyair muda dalam khazanah sastra Indonesia. Di satu sisi hal ini menjadi modal awal bagi sastrawan muda untuk menggali dan mengembangkan potensinya. Terlebih ketika karyanya dimuat, mau tidak mau akan mempengaruhi kepercayaan dirinya.

Dalam ruang batas seperti inilah, penggolongan antara penulis akademik dan non-akademik, berbaur menjadi satu. Dihadapan seorang redaktur sastra, tidak ada semacam dikotomi berlabel akademisi sastra, justru karya yang menjadi label tersendiri. Sehingga siapa saja bisa menemukan gelar sastrawannya ketika memasuki dunia koran dan majalah.

Pengkaderan sastrawan oleh redaktur sastra sebenarnya berawal dari abad ke-20 ketika di Bandung terbit sebuah surat kabar Medan Prijaji dengan redaktur R.M.D Tirto Adhi Soerjo yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Berlanjut sampai zaman balai Pustaka dan angkatan 66, sudah banyak media massa yang ikut melestarikan sastra diantaranya Jong Sumatra, Sastra, Indonesia dan Horizon dan Kalam yang dikelola oleh kelompok Teater Utan Kayu. Sampai sekarang ini, mungkin hanya surat kabar yang masih setia menyajikan rubrik sastra tiap minggu.

Pemerolehan gelar untuk menjadi seorang sastrawan tentu saja tidak harus melalui koran atau majalah. Taufik Ismail misalnya, justru eksis ketika karyanya dibacakan dalam sebuah demonstrasi mahasiswa dan pelajar dalam menyampaikan TRITURA. Pengarang yang hidup dalam dunia “perlawanan” juga tak kalah eksistensinya, misalnya Wiji Tukul yang menyuarakan kaum buruh.

Tetapi hal demikian akan sulit diterapkan pada masa sekarang, dulu ketika orang membaca dan menulis dianggap sebagai sebuah barang langka, kini setiap orang bisa melakukannya. Sehingga mau tidak mau sastrawan butuh media untuk eksisistensi dan penggonjlogan dari redaksi sastra, terutama bagi media yang sudah malang melintang di media massa, seperti Horizon, Kompas, Republika, dan Tempo. Persaingan tentu menjadi hal menarik untuk mengukuhkan gelar sastrawannya.

Bahkan saking ketatnya persaingan untuk karya pada koran dan majalah. Seorang sastrawan muda harus mampu bersaing dengan sastrawan senior dalam hal eksistensi. Sastrawan sekelas Hamsad Rangkuti, Taufik Ismail, Putu Wijaya dan Sides Sudyarto, masih tetap aktif menulis untuk Koran dan majalah. Padahal sebenarnya mereka sudah mempunyai pamor jika seandainya mau menerbitkan buku sekalipun.

Seno Gumira Adjidarma yang malang melintang dalam dunia Koran, membuat sendiri kumpulan cerpennya, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, Saksi Mata, Penembak Misterius, Kematian Donny Osmond, Dunia Sukab, Iblis Tidak Pernah Mati, Di Larang Menyanyi di Kamar Mandi, adalah kumpulan cerpen dia ketika ditulis di media massa. Padahal jika berpijak pada ketenaran namanya, dia toh bisa saja membuat antologi independen yang terlepas dari media massa. Namun testing media massa justru membuat para cerpenis membukukan kembali karyanya, seakan cerpen-cerpen tersebut sudah lulus dan berlabel sertifikasi media massa.

Lain hal dengan para penyair yang rame-rame membukukan kembali karyanya ketika di media massa. Kompas saban tahun juga menerbitkan buku kumpulan cerpen, yang lebih dikenal dengan cerpen pilihan kompas. Pembukuan kembali cerpen seperti ini seperti mengundang kembali kanonisasi karya sastra yang digembar-gemborkan oleh Saut Situmorang.

Sebenarnya kanonisasi yang heboh terlebih dahulu, ketika seorang kritikus sastra Marcel Reich-Ranicki jerman membuat kumpulan karya terbaik. Menurut dia, karya tersebut layak dipandang sebagai karya abadi. Bagaimana dengan Indonesia, tentu saja menimbulkan polemik tersendiri. Akan timbul asumsi publik bahwa karya sastra di luar kumpulan karya sastra tersebut merupakan karya yang tidak bermutu, terutama kumpulan karya media massa ternama yang sudah lulus testing redaksi sastra.

Saut situmorang bahkan menyebut bahwa betapa susahnya menjadi seorang sastrawan Indonesia. Seperti yang ia ungkapkan ketika mengutip pernyataan Nirwan Dewanto dalam “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003.Redaktur Tempo ini mengatakan.

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
***
Memandang sekilas tentang peranan media masa dalam mendidik seorang penyair. Akan selalu berbenturan bahwa dengan otoriterisme seorang redaksi sastra atau setidaknya harus melewati meja redaksi. Akibatnya banyak orang yang hendak menjadi seorang sastrawan harus menelan pil pahit karena karyanya dimuat sama sekali. Sebagai perlawanan muncul berbagai media lainnya sebagai tandingan media massa, yaitu Internet.

Kemunculan situs dan komunitas sastra Internet mulai merebak ketika Internet masuk ke Indonesia. Hakikatnya setiap orang bisa menulis karya sastra, tanpa ada interfereni semacam redaksi sastra, bahkan saking mudahnya, orang bisa memajang karya-karya dalam ruang pribadi di internet.

Antologipuisi, puisikita, gedongpuisi, puitika dan cybersastra merupakan antek-antek generasi sastra Internet. Saking merakyatnya dunia sastra orang-orang mulai meramaikan khazanah sastra Internet. Malah tahun 2002 situs cybersastra membuat sebuah antologi puisi bernama cyberpunk. Penerbitan antologi puisi sebagai “jalan pintas” untuk mencapai gelar sastrawan tentu saja mengundang berbagai reaksi keras. Dalam sebuah esai Saut Situmorang, Maman S. Mahayana Pengajar FSUI mengatakan , bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Sebuah tamparan keras juga dilontarkan Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Republika ini menyebut bahwa pemuatan karya sastra di Internet, hanyalah karya yang tidak lolos ke Media. Pernyataan ini seakan-akan ada dikotomi yang begitu jauh antara sastra Koran dan sastra Internet.

Para penulis di dunia internet, mungkin menyadari betul bahwa eksistensi menulis di media masa tentu lebih menantang dan mendapatkan keuntungan finansial tersendiri. Namun sepertinya karena kemudahan dan kemajuan zaman, mereka dengan mudah dapat menciptakan media sendiri, sehingga akan lebih bebas berekspresi tanpa rasa deg-degan kecewa ketika karyanya tidak dimuat.

Label-label media massa yang diisi oleh para sastrawan seperti Nirwan Dewanto, Ahda Imran, Rahim Asik, Ahmadun Yosi Herfanda. Seakan sebuah simbolisme keutuhan pengkaderan gelar sastrawan, di tangan merekalah mungkin gelar tersebut dapat diperoleh.

Pemilihan media massa untuk membuka gerbang seorang sastrawan memang tidak dapat dielakan. Eksistensi dan persaingan tentu menjadi hal yang menarik dan menuntut seorang untuk lebih kreatif. Tetapi untuk menjadi gelar seorang sastrawan tentu tidaklah mudah, tidak hanya mengandalkan peran media massa, pemantapan, daya kreatifitas, atau bahkan gelar akademik sekalipun. Karena menjadi seorang sastrawan adalah panggilan hati, itulah kiranya yang dikatakan oleh Acep Zam-zam Noor.


0707889

* Hendri R.H, lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Esai dan Puisi, puisinya tergabung dalam antologi Para Penyair. Aktif dan bergabung di Komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com


Sumber: Oase, kompas.com, Senin, 30 November 2009

Fosil: Bukti Prasejarah yang Nyaris Jadi Sejarah

-- Ingki Rinaldi

TIDAK mudah menemukan lokasi penemuan fosil Pithecanthropus modjokertensis yang kini masuk wilayah administratif Dusun Klagen, Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tidak semua penduduk setempat tahu lokasi temuan yang ditandai oleh tugu dari beton cor dilapis batu marmer itu. Padahal, lokasinya hanya berjarak 3 kilometer dari perempatan Pasar Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.

Sukarto (58), Selasa (24/11), membersihkan lokasi di sekitar tugu peringatan temuan fosil Pithecanthropus modjokertensis yang ditemukan oleh R Tjokrohandjojo yang sedang bekerja untuk geologis asal Belanda, Johan Duyfjes, pada 1936 di sebuah wilayah yang termasuk Jalan Blandong Jetis, Desa Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kini lokasi temuan yang masuk wilayah Dusun Klagen, Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, dan berbatasan dengan Desa Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, itu nyaris terlupakan. (KOMPAS/INGKI RINALDI)

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I, Zaman Prasejarah di Indonesia tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, terbitan Balai Pustaka tahun 2008, disebutkan bahwa temuan yang berasal dari formasi Pucangan di Kepuhklagen itu berada di sisi utara Desa Perning, Kecamatan Jetis, Mojokerto.

Fosil Pithecanthropus modjokertensis ditemukan tahun 1936 oleh R Tjokrohandjojo yang bekerja untuk geologis asal Belanda, Johan Duyfjes. Wujudnya tengkorak anak usia enam tahun. Umur fosil itu diperkirakan mendekati dua juta tahun. Bisa dikatakan, fosil itu adalah Pithecantropus tertua sekaligus fosil tertua di wilayah geografis kelautan masa silam (maritime paleogeographic).

Fosil itu sama pentingnya dengan fosil Situs Sangiran, Jawa Tengah, baik bagi kalangan paleoantropologis maupun kalangan geologis, untuk kepentingan survei kandungan minyak bumi.

Sukarto (58), seorang petani penggarap, menuturkan, sejak ia kecil, lokasi itu setiap tahun didatangi orang asing. ”Saya membantu orang-orang itu menggali di lahan di sebelah utara monumen. Banyak temuannya, tulang manusia maupun gigi,” katanya.

Menurut Sekretaris Desa Kepuhklagen Sidik Utomo, para peneliti Indonesia kebanyakan hanya menemani peneliti dari luar negeri.

Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur (BP3) Prapto Saptono, monumen penanda lokasi temuan Pithecantropus diresmikan oleh perwakilan dari 11 negara pada tahun 1996. Hal itu sekaligus mengenang 100 tahun penemuan fosil.

Kini lapisan marmer di bagian atas tugu sudah ambrol dan menyisakan cor beton meruncing sekitar setengah meter. Di bagian bawah terdapat kotak berlapis marmer yang kusam termakan usia dan tak terawat. Di marmer tertulis nama R Tjokrohandjojo dan J Duyfjes, penemu Pithecanthropus modjokertensis.

Menurut Prapto, lahan itu kini di bawah penguasaan TNI Angkatan Laut. Hal itu menyulitkan BP3 Jatim untuk mengembangkan kawasan tersebut.

Sidik Utomo membenarkan bahwa lokasi itu kini menjadi milik TNI AL. ”Mereka (TNI AL) membeli tanah seluas 203 hektar itu tahun 1998-2004 dengan harga Rp 3.500-Rp 60.000 per meter. Sekarang dipakai sebagai tempat latihan,” katanya.

Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Timur Letnan Kolonel (KH) Toni Syaiful menyatakan, lahan itu rencananya digunakan sebagai lokasi perumahan TNI AL. Namun, belum bisa dipastikan kapan pembangunannya dimulai. ”Secara prinsip, kami memberikan keleluasaan (untuk melakukan penelitian),” kata Toni. Menurut dia, pihak yang hendak meneliti benda-benda prasejarah bisa menghubungi TNI AL.

Namun, saat ini kawasan penemuan itu terancam. Sisa aktivitas penambangan galian C ada di mana-mana. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil kekayaan bukti prasejarah akan musnah.

Sumber: Kompas, Senin, 30 November 2009

Stop Ujian Nasional, Perbaiki Sekolah Rusak

-- St Kartono

MAHKAMAH Agung menolak kasasi yang diajukan pemerintah terkait penghentian ujian nasional.

Masyarakat sudah memenangkan tiga kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung (Kompas.com, 25/11). Akankah Departemen Pendidikan Nasional bersikeras melaksanakan ujian nasional (UN)?

Standardisasi

UN seolah menjadi wajah utama Depdiknas. UN yang dilaksanakan demi memetakan mutu pendidikan dan standardisasi pendidikan di negeri ini dalam praktiknya sebatas dipahami sebagai alat penentu kelulusan. Semua energi aparat Depdiknas, guru, dan siswa hanya bermuara pada UN sehingga berbagai upaya perbaikan kualitas pendidikan nyaris tak terdengar.

Jika sekolah tanpa UN, apakah berarti kualitas pendidikan tidak terkendali? Masyarakatlah yang akhirnya menilai mutu lulusan sekolah kita. Dengan konteks persekolahan yang beragam, kiranya ada prioritas yang lebih mendesak dilakukan Depdiknas, yakni membangun proses dan sarana pendidikan yang merata di seluruh negeri. Di mata para guru, masalahnya menjadi sederhana, silakan UN dilaksanakan, tetapi jangan dijadikan sebagai alat penentu kelulusan siswa. Dalih, UN hanya salah satu penentu kelulusan, dalam praktik persentase terbesar ketidaklulusan disebabkan oleh nilai UN yang tidak memenuhi persyaratan.

Yang menjadi semangat penolakan terhadap UN adalah rasa keadilan. Anak-anak telah terlalu lama diperlakukan sebagai pihak yang tidak penting karena mereka tidak dapat berhasil di dunia akademis. Anak-anak—yang tidak lulus UN—dianggap tidak mampu memasuki percakapan intelektual yang didefinisikan orang-orang yang memiliki posisi dalam kendali akademis. Para guru pun merasa pahit saat melihat standar didefinisikan seluruhnya dari segi kerangka keunggulan akademis, padahal guru mengetahui, ada banyak aspek yang dibutuhkan untuk membentuk pribadi seorang anak.

Kiranya Mendiknas perlu menghentikan UN dan memfokuskan pada upaya-upaya perbaikan sarana pendidikan. Selama gedung-gedung sekolah yang rusak di seluruh Tanah Air belum mengalami perbaikan dan memadai, tidak bisa diharapkan sebuah hasil evaluasi yang standar. Standar nasional pendidikan di negeri ini mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, dan pembiayaan, sebelum akhirnya berbicara tentang standar penilaian (evaluasi) pendidikan. Artinya, standardisasi evaluasi harus didahului standardisasi tujuh aspek lain di semua sekolah di negeri ini tanpa kecuali, baik untuk sekolah negeri maupun swasta.

Gedung rusak

”Soal gedung sekolah yang rusak sudah saatnya diselesaikan. Kita tutup buku pada 2010 dan beralih kepada persoalan lain,” kata Mendiknas Mohammad Nuh (Kompas, 28/10).

Data dari Rembuknas Pendidikan, Juni 2007, menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kerusakan terbesar dialami gedung-gedung SD, terutama di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).

Meski Mendiknas terdahulu hingga akhir masa jabatan tak kunjung bisa mewujudkan janjinya untuk perbaikan gedung sekolah rusak, Mendiknas M Nuh telah menunjukkan pilihan prioritas persoalan pendidikan yang harus diselesaikan. Kerusakan gedung dan ruang kelas SD di berbagai pelosok negeri ini, selain mengancam program wajib belajar 9 tahun yang harus segera tuntas, rapuhnya gedung-gedung itu mengancam keselamatan siswa dan guru yang melakukan pembelajaran dalam keseharian.

Tidak jarang atap sekolah ambruk saat proses pembelajaran sedang berlangsung pun patut disyukuri karena roboh saat tidak ada aktivitas di bawahnya.

Hanya dengan ketenangan sajalah proses pembelajaran dapat berlangsung dengan nyaman. Jika demikian, masih relevankah membincangkan ujian nasional dan membincangkan mutu pendidikan, standar pendidikan, atau angka-angka kelulusan, sementara kian hari gedung-gedung sekolah roboh berantakan?

Becermin pada pengalaman Jepang, patut ditegaskan, pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas sama. Kondisi Indonesia saat ini sama dengan kondisi Jepang pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Saat itu angka partisipasi SD dan SMP di Jepang mencapai 95-97 persen, sementara angka partisipasi SMA 50 persen. Yang dilakukan Pemerintah Jepang bukan mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah dengan fasilitas sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan.

Memang, masalah pemerataan pendidikan yang mendesak diselesaikan Mendiknas adalah membereskan sarana fisik atau menyediakan gedung sekolah yang layak, sekaligus menghentikan ujian nasional.

* St Kartono, Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 30 November 2009

"Mitos-mitos" Ujian Nasional?

-- Elin Driana*

GUGATAN 58 warga negara terkait kebijakan ujian nasional kembali mendapat dukungan dengan ditolaknya kasasi pemerintah oleh Mahkamah Agung.

Tidak berlebihan untuk memandang putusan itu sebagai tonggak penting dalam mendorong evaluasi berbagai kebijakan pendidikan selama ini. Sayang, pemerintah tampaknya berkeras menggunakan hasil ujian nasional (UN) sebagai salah satu penentu kelulusan melalui rencana peninjauan kembali. Beberapa argumen yang dilontarkan untuk mendukung UN sebenarnya masih terbantahkan.

Penilaian guru tidak konsisten?

Bagaimana menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan bila tidak ada UN? Bukankah penilaian guru amat bervariasi dari satu sekolah ke sekolah lain, bahkan dari satu kelas ke kelas lain? Berbagai pertanyaan semacam itu muncul karena kekhawatiran yang bersumber dari ketidakpercayaan terhadap penilaian yang diberikan guru.

Sebenarnya, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk menilai, dan pada saat yang sama, mengembangkan kemampuan siswa melalui beragam model penilaian dan aktivitas, seperti pekerjaan rumah, ulangan, proyek kelas, penulisan laporan, dan presentasi.

Berbeda dengan UN yang dilakukan pada akhir masa belajar, berbagai penilaian yang dilakukan guru berdampak pada perbaikan proses belajar siswa karena ada umpan balik yang bisa segera dilakukan.

Dengan meningkatkan kualitas pembelajaran maupun penilaian yang dilakukan oleh guru, yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari serta berbagai tantangan pada masa depan, diharapkan siswa akan terlibat proses belajar yang menumbuhkan motivasi intrinsik dari dalam diri siswa. Motivasi belajar yang bersifat intrinsik ini akan lebih kokoh tertanam ketimbang belajar karena dipicu oleh kekhawatiran tidak lulus UN, yang bersifat ekstrinsik. Jadi, argumentasi bahwa ketiadaan UN membuat siswa malas belajar pun terbantahkan.

Berbagai penelitian seputar seleksi penerimaan mahasiswa baru yang pernah dilakukan di AS menunjukkan, indeks prestasi kumulatif di SMA, yang merupakan akumulasi dari aneka penilaian yang diberikan oleh guru, memiliki kemampuan lebih besar dalam memprediksi prestasi akademis di perguruan tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil tes standar yang didasarkan pada penguasaan materi di SMA, seperti Standardized Achievement Test II dan American College Testing, maupun yang didasarkan pada kemampuan umum dalam matematika dan bahasa, seperti Standardized Aptitude Test.

Di Indonesia pun demikian. Meski masih membutuhkan studi lanjut, beberapa perguruan tinggi melaporkan, prestasi akademis mahasiswa yang dijaring melalui penilaian terhadap prestasi selama mengikuti pembelajaran di sekolah menengah atas—sebagaimana tecermin pada nilai rapor—ternyata lebih stabil ketimbang prestasi mahasiswa yang diterima melalui jalur-jalur lain (Kompas, 18/11/2009).

UN dan kualitas pendidikan

Asumsi bahwa ujian kelulusan dapat meningkatkan kualitas pendidikan perlu diuji karena kesimpulan hasil-hasil penelitian kerap bertolak belakang. Phelps (2001), misalnya, menyimpulkan, ujian kelulusan dapat meningkatkan prestasi akademis siswa untuk mata pelajaran yang diujikan, tetapi Amrein dan Berliner (2003) menunjukkan tidak ada kontribusi positif yang signifikan. Sementara itu, Dee dan Jacob (2006) dan Zwick (2004) malah menunjukkan, ujian kelulusan hanya meningkatkan prestasi akademis bagi siswa yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi.

Perlu diingat, siswa-siswi di Finlandia mampu mencatat prestasi gemilang dalam The Programme for International Student Assessment meski tak ada ujian kelulusan. Satu-satunya ujian berskala nasional yang dilaksanakan adalah ujian matrikulasi sebagai syarat untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Tes-tes standar yang berdampak besar terhadap masa depan siswa dan berbagai indikator prestasi siswa lainnya, termasuk tes-tes untuk tujuan pemetaan maupun indeks prestasi siswa di sekolah, terkait erat dengan status sosial ekonomi siswa dan kondisi sekolah (Zwick, 2004). Lani Guinier, profesor di Harvard University, bahkan menyatakan, SAT lebih tepat dipandang sebagai tes untuk mengukur tingkat kesejahteraan daripada prestasi siswa (Zwick, 2004).

Keterkaitan antara status sosial ekonomi orangtua dan kondisi sekolah dan prestasi akademik siswa telah mendapatkan dukungan empiris yang kokoh, bahkan melalui penelitian yang menggunakan data dari berbagai negara (Willms, 2006; Fuchs, 2007). Keberpihakan sistem pendidikan pada kaum kaya juga tecermin pada tingginya angka putus sekolah di kalangan masyarakat tidak mampu, antara lain karena besarnya porsi biaya pendidikan yang masih mereka tanggung (Kompas, 25/11/2009).

UN pascaputusan MA

UN masih dapat digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan di Tanah Air, tetapi bukan sebagai syarat kelulusan, sepanjang terdapat kejelasan dan konsistensi bantuan atau intervensi bagi sekolah-sekolah yang dianggap belum memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Pemetaan mutu pendidikan tanpa kejelasan umpan balik seperti teramati saat ini hanya merupakan pemborosan anggaran negara dan menjadi beban masyarakat.

Karena itu, ketimbang mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung, akan lebih strategis bila pemerintah mengerahkan segala daya untuk menyelesaikan akar masalah kualitas pendidikan. Caranya, dengan membenahi standar-standar nasional pendidikan lainnya, termasuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, dan akses informasi yang memadai, sebagaimana tercantum pada putusan pengadilan yang telah mendapatkan pengukuhan Mahkamah Agung.

* Elin Driana, Mendalami Bidang Riset dan Evaluasi Pendidikan; Salah Seorang Koordinator Education Forum

Sumber: Kompas, Senin, 30 November 2009

Kepastian UN Ditunggu, Guru dan Siswa Masih Kebingungan

Jakarta, Kompas - Belum adanya kepastian soal jadi atau tidaknya penyelenggaraan Ujian Nasional 2010 menyebabkan sejumlah kepala sekolah, guru, dan siswa kebingungan. Penjelasan pemerintah saat ini baru secara lisan dan belum ada edaran tertulis yang diterima mereka.

Penjelasan tertulis tersebut dirasakan mereka sangat perlu, terutama menyangkut percepatan penyelenggaraan ujian nasional (UN) dan dicampurnya peserta UN SMA/MA/SMK.

”Waktunya sudah sangat mepet. Kalau jadi, sekitar tiga bulan lagi,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Ade Karyana, Minggu (29/11) di Palembang.

Sambil menunggu keputusan pemerintah, Ade Karyana mengatakan bahwa pihaknya tetap menginstruksikan para kepala dinas pendidikan kabupaten/kota agar terus melakukan persiapan menghadapi UN. Para kepala sekolah dan guru juga diminta tetap mempersiapkan siswanya untuk menghadapi UN dengan memberikan pelajaran tambahan.

Di Yogyakarta, sejumlah sekolah tetap melanjutkan persiapan UN hingga ada pemberitahuan resmi dari pemerintah. Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kota Yogyakarta, misalnya, akan tetap menyelenggarakan uji coba UN sebanyak empat kali. ”Anak-anak kami imbau tetap tenang dan terus belajar untuk menempuh UN karena belum ada pengumuman UN dibatalkan,” kata Ketua MKKS SMA Kota Yogyakarta Timbul Mulyono.

Kepala SMK Negeri 6 Yogyakarta Sugeng Sumiyoto mengatakan, mengingat waktu menjelang UN semakin mepet, pihaknya akan menggunakan waktu liburan semester untuk pelajaran tambahan.

Jawaban tertukar

Sejumlah guru dan orangtua siswa secara terpisah mengkhawatirkan lembar jawaban siswa tertukar jika peserta UN jadi dicampur. Dikhawatirkan pula terjadi ”perjokian” karena siswa tidak saling kenal dalam satu ruangan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly secara terpisah menyatakan bahwa rencana peserta ujian dicampur akan dievaluasi kembali.

”Nanti akan dilihat dulu, lebih banyak manfaat atau mudaratnya. Memang akan sulit dalam pelaksanaannya dan bisa menimbulkan efek beban psikologis juga buat siswa,” kata Mansyur Ramly.

Erli Driana, Koordinator Education Forum, mengatakan, terjadi salah kaprah dalam penyelenggaraan UN.

”Pembelajaran di sekolah saat ini terjebak menyiapkan siswa untuk lulus UN, bukan menyiapkan siswa berkualitas dan menjadi pribadi yang kreatif serta inovatif,” kata Erli Driana, yang mendalami bidang evaluasi di Universitas Ohio, Amerika Serikat. (WAD/IRE/MDN/ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 30 November 2009

Sunday, November 29, 2009

Sastra Kampus, Sastra 'Underground'

-- Saut Situmorang*

DALAM perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil, dan sastra wangi.

Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun "pengamat sastra" tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai "sastra kampus" dalam esei saya ini.

Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku "leksikon/pintar" tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius memublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair "Angkatan 66" berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963)--yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)--di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980-an.

Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah "mahasiswa" telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan "sastra eksil" misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai "sastra eksil" Indonesia itu.

Sebuah buku bunga rampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak lima belas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, ketua dewan redaksi buku, sebagai "sastra eksil Indonesia". Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai "sastra eksil" sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya.

Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan "sastra eksil Indonesia" itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham, misalnya, belum apa-apa sudah menulis bahwa, "Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia.

Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri." Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu "sastra eksil Indonesia" bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang dewan redaksinya sebut sebagai "sastra eksil Indonesia" itu! "Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah," demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikit pun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.

Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan dewan redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai "sastra eksil Indonesia" itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair "sastra eksil Indonesia" tanpa penjelasan apa pun. Kalau definisi istilah "sastra eksil", misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai "eksil" itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekadar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hubungan antara status sebagai "mahasiswa" dan sebagai "sastrawan" yang menjadi ciri-khas para penulis "sastra kampus" sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai "mahasiswa" perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh "mahasiswa" apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis "mahasiswa-sastrawan" memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan?

Bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?

Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para "penulis Sumatera" yang kebanyakan berasal dari Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli, misalnya, menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut.

Novel Atheis Achdiat K. Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-a-vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.

Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.

Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung antitradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk Soneta dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai Free Verse dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan Balada yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris, di mana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, di samping bentuk orasi politik yang diberinya nama Pamflet Penyair.

Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti Meninggalkan laut yang tenang dari S. Takdir Alisjahbana, Aku ini Binatang Jalang Chairil, Si Anak Hilang Sitor Situmorang, sampai Abad yang berlari dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para "sastrawan kampus" yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rezim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?

Kalau "mahasiswa-sastrawan" seperti S. Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para "mahasiswa-sastrawan" kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau "mahasiswa-sastrawan" kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?

Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya "sastra(wan) kampus" agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya "sastra(wan) kampus" diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai "sastra underground" alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.

* Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 November 2009

150 Tahun "On the Origin Of Species": Teori Evolusi Semakin Meyakinkan

-- Tommy Awuy*

TEORI evolusi, sejak terbitnya buku Charles Darwin, On the Origin of Species, 24 November 1859, hingga sekarang menunjukkan perkembangan yang demikian meyakinkan, bukan saja bagi ilmu Biologi itu sendiri, tetapi juga merambah ke berbagai disiplin lain, terutama sejak terbitnya buku Richard Dawkins, The Selfish Gene, 1976, yang melengkapi kekurangan penjelasan Darwin tentang seleksi alamiah, yakni konsep meme (baca mem). Pesona teori evolusi masa kini terletak pada akurasinya menjelaskan fenomena global dari berbagai disiplin, seperti periklanan, seni rupa kontemporer, terorisme, teknologi komputer, dan media massa. Kecenderungan para ahli Biologi masa kini memang gemar berbicara tentang kebudayaan.

Demikian pemikiran yang mencuat dari diskusi ”Menyambut 150 Tahun Teori Evolusi”, 24 November di Philo Art Space, Kemang, berdasarkan makalah berjudul Evolusi Teori Evolusi yang disampaikan Eko Wijayanto, dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok.

Munculnya teori evolusi memang sangat kontroversial sekalipun sebenarnya Darwin belum begitu meyakinkan menjelaskan maksud dari seleksi alamiah berdasarkan kerja gen. Konsep evolusi itu sendiri muncul berdasarkan kerja gen (replikasi) menuju kondisi kesempurnaan, tetapi tidak menjawab bagaimana replikasi itu memproses otak manusia yang menjadikannya spesies tertinggi atau sebagai makhluk yang berbudaya. Adapun kebudayaan tak semata merupakan hasil kreasi pikiran demi progresivitas, tetapi juga sebuah daya untuk mempertahankan apa yang dianggap terbaik di masa lalu (repetitif). Apakah kreasi budaya zaman dahulu kala, seperti arsitektur, lukisan di goa-goa, patung, dan mitologi, adalah rendah dibandingkan kreasi budaya zaman sekarang dan akan datang?

Richard Dawkins kemudian menjawab kekurangan teori evolusi tentang replikasi gen ini dengan penemuannya bahwa sesungguhnya evolusi terjadi bukan disebabkan hanya satu replikator gen, tetapi ada replikator lain, yakni meme. Replikator gen bekerja secara imanen, sekalipun memperbanyak diri tetapi tetap mempertahankan identitasnya sebagai rangkaian DNA, sementara mem adalah replikator memproses kerja otak yang bergerak secara sangat fleksibel, bisa melompat lepas, ke masa lalu, ke masa depan, atau bertahan pada masa kini.

Manusia sebagai pencapaian akhir dari evolusi tampak menjadi unik karena memiliki mem, kemampuan atau daya otak untuk meniru (mimesis). Peniruan ini tentu saja dilakukan mem atas mem yang dianggap tertinggi atau terkuat tanpa batasan waktu dan tempat demi survive lalu pada gilirannya mem ini melompat ke otak-otak lainnya sebagai virus pikiran. Maka, mem membutuhkan wadah kolektif (institusi) sebagai efek dari daya tularannya agar bisa menyangga atau menopang caranya bertahan dan mungkin saja hal itu pada saat-saat tertentu terjadi bersamaan dengan proses replikatif gen. Demikianlah sebuah kebudayaan terbentuk tanpa harus terhalang oleh semata-mata keinginan gen pada kesempurnaan progresif.

Menariknya, hubungan gen dan mem bersifat kompleks. Di satu pihak mereka sama-sama replikator yang memungkinkan terjadinya evolusi, tetapi di lain pihak keduanya bisa berseberangan, bahkan bisa mengatasi satu atas lainnya. Pilihan seseorang untuk hidup selibat, tanpa bereplikasi sama sekali, adalah dorongan kuat dari mem mengalahkan keinginan gen untuk bisa dan terus bereplikasi. Mengapa demikian? Jika memang pilihan selibat adalah pilihan wajib atau perintah tak bersyarat dari sebuah norma yang dianggap tertinggi, replikasi gen harus dikorbankan. Penemuan mem oleh Dawkins menjadikan teori evolusi Darwin pun berevolusi, lebih terbuka luas dan mampu menjelaskan bagaimana evolusi itu terjadi tak semata-mata menganggap masa lalu lebih sederhana atau rendah daripada masa depan. Kerja mem bisa memperalat pencapaian yang baik di masa lalu untuk meneruskan replikasinya ke masa depan. Evolusi kebudayaan tak lain adalah penularan replikasi mem, virus pikiran. Bagaimana virus ini bekerja?

Replikasi mem bersifat ekstrem, dikotomistik, radikal, dan provokatif: baik-buruk, benar-salah, mengancam-merayu, surga dan neraka. Dan memang sifat seperti inilah yang mampu menarik perhatian sehingga akan mudah mem bereplikasi di otak-otak lainnya.

Replikasi mem sekarang ini terlihat mencolok pada dunia periklanan dan media massa, yang bahkan sampai agama pun memanfaatkan kedua unsur tersebut untuk bisa bertahan.

* Tommy Awuy, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 29 November 2009

[Buku] Di Balik Buku

-- A. Qorib Hidayatullah*

BERKAT Microsoft, John Wood bergelimang harta dan materi. Namun, dia kemudian memilih banting setir, menjadi seorang filantropi untuk masyarakat negara-negara miskin. Dia sedang membangun 7.000 per­p­us­takaan di pelosok dunia.

***

Ada benarnya petuah buku-buku how to (bu­­ku serial motivasi) bahwa hidup mapan tak menjamin kebahagiaan seseorang. Se­per­ti yang dijalani John Wood, mantan bos Mi­crosoft. Profesi, gaji, dan saham menjadi per­taruhan John Wood yang kemudian memi­lih tenggelam dalam arus kemanusiaan.

Sejak kecil, John Wood memang gemar mem­baca. Menurut pengakuannya, saat ma­sih SMP, dia kerap menambah stok pinjaman bu­kunya di perpustakaan sekolah. Dia sering me­rayu pihak manajemen perpustakaan seko­lah agar bisa meminjam buku lebih banyak. Dia pun akhirnya diperbolehkan meminjam buku lebih banyak daripada siswa-siswa lain.

Keranjingan baca John Wood berjalan hing­ga dia dewasa. Dia lalu menggagas ber­di­rinya lembaga nirlaba Room to Read pa­da 1999. Lembaga itu bergerak di bidang pembangunan sekolah-sekolah serta penyediaan buku-buku untuk anak-anak di negara miskin.

Keteguhan cintanya pada dunia literasi (ba­ca-tulis) dibuktikan John Wood dengan se­penuh hati. Dia amat rajin mengisi jurnal ha­riannya. Misalnya, catatan perjalanan saat dia berekspedisi menaklukkan keangkuhan pun­cak Himalaya. Dalam perjalanannya itu, John Wood menyaksikan langsung kemela­ra­tan dunia ketiga (Nepal) yang kesulitan men­dapatkan akses pendidikan. Mayoritas ma­s­yarakatnya mengalami buta huruf. Ba­nyak sekolah yang dikelola apa adanya. Se­kolah-sekolah di wilayah Kathmandu, ibu kota Nepal, yang dikunjungi John Wood, tak memiliki banyak buku di perpus­takaannya. Pihak sekolah pun tidak tahu ke­pada siapa mereka harus miminta bantuan. Akhirnya, pengelola sekolah berinisia­tif mengetuk hati para pendaki pegunungan Hi­malaya, termasuk John Wood, agar mau mem­bantu mereka.

Potret kelam itulah yang memantik sema­ngat John Wood menjadi filantropi untuk pro­gram pemberantasan buta huruf, mem­bangun gedung sekolah, dan mengasah gai­rah membaca warga dunia ketiga (Nepal, India, Vietnam, Kamboja, dan lain-lain). Sepulang dari pendakian di pegunu­ngan Himalaya, John Wood langsung me­la­yangkan surat elektronik (e-mail) kepada te­man, kerabat, dan para donasi di seluruh du­nia. Dia mengabarkan kesaksiannya di Ne­pal. Pengalaman menjadi direktur bidang pemasaran Microsoft di wilayah Asia Pa­sifik menjadikan John Wood tak kesulitan untuk menarik simpati dunia dalam aksi voluntirnya itu.

Personifikasi John Wood memang sangat me­narik. Dia tak tergilas oleh mesin hitam-pu­tih bisnis kapitalisme Microsoft. Kenda­ti bekerja cukup lama di Microsoft, dia te­tap meluangkan waktu untuk kegemarannya membaca dan menulis buku. John Wood bercita-cita mewarisi semangat man­tan Presiden AS Jimmy Carter yang dia a­le­­gorikan sebagai ''Si Pengasih Manusia''. Dalam buku The Unfinished Presiden­cy (1998), dia menceritakan kisah perjalanan Jimmy Carter di luar Gedung Putih. Car­ter menahbiskan dirinya sebagai peker­ja sosial yang membangun tempat tinggal bersama Habitat for Humanity dan memantau pemilihan umum di seluruh dunia untuk mem­berikan aspirasinya.

Pada awal 1990, Carter memimpin gerakan sosial memberantas penyakit cacing guinea. Parasit mikroskopis itu telah menyengsarakan jutaan orang di Afrika dan Asia. Carter bersama William Foege, mantan kepala Centers for Disease Control (Pusat Pengendalian Penyakit di AS), perlu meyakinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memilih penyakit cacing guinea sebagai penyakit kedua yang harus diberantas dari muka bumi, setelah cacar.

Berkat kegigihannya melayani kemaslahatan manusia, John Wood bersama Room to Read berhasil menyita simpati masyarakat internasional. Dia pun layak mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya anugerah Time Asia's Heroes Award 2004.

Dalam setiap aksi amalnya tersebut, John Wood tak pernah menampilkan sisi kelam ma­nusia, malapetaka, dan kesuraman. Se­ba­­liknya, dia selalu menunjukkan optimis­me penuh harapan di daerah garapannya. Dalam lembar-lembar proposal yang dikirim­kan ke para donatur, dia tak pernah me­lampirkan foto-foto anak yang dikerubu­ngi lalat atau potret keluarga kurang gizi yang berbaring dalam debu. Dia tak me­nga­mal­kan idiom ''Tangisan Panjang Sally Struthers''.

Ada lima prinsip yang dipegang John Wood untuk meyakinkan para donatur. Sa­lah satunya dengan mengatakan, ''Orang-orang sedang mencari lebih banyak makna da­lam hidup mereka. Mendanai pendidikan akan memberikan suatu perasaan yang he­bat bahwa Anda telah membantu mengubah dunia menuju lebih baik.''

Kini, Room to Read berkembang pesat di ba­nyak negara. John Wood tak lagi sendiri. Dia didukung para pahlawan yang berlomba-lomba membantu mengembangkan Ro­om to Read.

Di Tumpang, Kabupaten Malang, ada Per­pustakaan Anak Bangsa ampuan Eko Cah­yono yang gerakannya mirip seperti di­lakukan John Wood dengan Room to Re­ad-nya. Namun, untuk mengembangkannya, dia butuh support dari berbagai kala­ngan, termasuk pemerintah. Hal itu dilakukan agar perpustakaan yang kini memiliki pu­luhan ribu koleksi buku dan beranggota lebih dari dua ribu orang itu mati setelah pengelolanya tak kuat lagi membayar uang sewa bangunan.

* A. Qorib Hidayatullah, pencinta buku, tinggal di Malang

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 29 November 2009

[Buku] Potret Lain Dunia Muslim

Judul Buku: Santri Eropa
Penulis: Rohman Budjianto
Penerbit: Jaring Pena, Surabaya
Cetakan: Pertama 2009
Tebal: IV+216 halaman

TURKI adalah negeri muslim de­ngan paham sekuler, paham yang sudah dianut negeri itu sejak ma­sa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk. Meskipun 90 persen dari 70 juta jiwa penduduknya ada­lah musulman (muslim), Turki ter­lihat sangat berbeda dengan ka­um muslim di negeri-negeri se­kitarnya. Terutama dalam hal bu­sa­na. Mereka sangat kental de­ngan kesan ''kosmopolitan''. Ke­­ba­nyakan berpenampilan se­per­­ti orang Eropa. Kalau dilihat dari segi fisik, memang orang-orang Turki mirip orang Eropa.

Berbeda dengan negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas mu­slim, saat bulan puasa di Turki, ke­dai dan kafe -bahkan hiburan ma­lam- tetap buka seperti biasa. War­ganya diberikan kebebasan un­tuk mengekspresikan diri. Namun, meski sekuler, Turki tetap me­nunjukkan ciri Islam yang bisa k­i­ta lihat pada fasilitas umum se­perti tersedianya musala (mescit, ba­ha­sa Turki). Presiden Turki Ab­dul­lah Gul dan Perdana Menteri Re­cep Tayyip Erdogan dikenal se­ba­gai muslim yang sangat ''santri''.

Hal unik yang juga bisa kita temukan di Turki adalah adanya atu­­ran yang melarang wanita meng­­gunakan jilbab di kantor-kantor pemerintahan dan perguru­an tinggi. Partai ''santri'' yang merupakan partai milik presiden ter­pilih ingin mengamandemen un­dang-undang tersebut, tetapi mengh­adapi tantangan dari penja­ga sekuralisme, yaitu militer. Mi­li­ter Turki memiliki semacam hak veto dalam menjaga garis na­si­onalisme sekuler dan stabilitas.

Sekolah tidak istirahat pada wak­tu salat Jumat, tak terkecuali se­kolah madrasah. Dengan begitu, mu­rid-murid yang taat bergama ha­rus membolos dari sekolah agar da­pat menjalankan ibadah salat Jumat. Warga yang taat sedikit ter­obati dengan acara-acara TV pa­­da bulan Ramadan. Sebab, se­ba­­gian besar TV menayangkan acara-acara Ramazan (Ramadan) seperti ceramah agama dan acara keagamaan lain. Televisi-televisi itu juga menayangkan jadwal buka dan sahur.

Dalam buku ini, penulis juga meng­gambarkan bagaimana warga Turki sangat menghormati dan me­ngagungkan sosok Mustafa Ke­mal Ataturk yang dianggap se­bagai ''Bapak Bangsa''. Hal itu bi­sa dilihat dengan dibangunnya se­buah mausoleum yang sangat me­gah, tempat jenazah Ataturk di­baringkan. Setiap 10 November sekitar pukul 09.05, setiap warga Tur­ki diinstruksikan untuk meng­he­ningkan cipta karena pada wak­tu itulah Mustafa Kemal Ataturk me­ninggal. Sama seperti kita di In­donesia, setiap 10 November juga diperingati sebagai hari pah­lawan bagi bangsa Turki.

Kalau di Baghdad, Irak, kita me­ngenal kisah jenaka Abunawas yang hidup pada zaman Khalifah H­a­run Al Rasyid, di Turki juga hi­dup seorang sufi kocak bernama Na­sruddin Hoja. Banyak kutipan ki­sah-kisah lucu tentang Nasruddin Hoja disajikan penulis buku ini. Nasruddin Hoja memang men­jadi salah satu ikon bangsa Tur­ki. Namanya tersohor hingga Af­ghanistan, Iran, dan Uzbekistan. Pengaruhnya bahkan sampai ke dunia Arab.

Pada satu bab dalam buku ini, pe­nulis juga menceritakan kunju­ngannya ke tempat-tempat ber­seja­r­ah seperti gua legendaris As­ha­bul Kahfi, Aya Sofia (katedral yang kini jadi museum), ser­ta Istana Topkapi.

Pelukisan yang juga tidak kalah me­nariknya adalah berkaitan de­ngan negara Siprus. Negara itu ter­bagi menjadi dua bagian, yaitu Si­prus Turki dan Siprus Yunani. Di Siprus Turki terdapat sebuah masjid yang terkenal dan banyak dikunjungi turis asing. Bangunan masjid ini dahulu merupakan ka­tedral yang sudah beralih fungsi men­jadi masjid. Keaslian bentuk bangunannya tetap dipertahankan, hanya hiasan-hiasan dindingnya yang berubah.

Sama halnya di Turki, gaya dan pe­nampilan masyarakat Siprus Tur­ki sudah sangat Eropa. Namun, banyak juga wanita yang me­ngenakan jilbab walaupun ti­dak sebanyak di Turki. Peradaban Ero­pa lain yang sudah menjadi ba­gian hidup di Siprus adalah ka­sino dan judi. Bisa dibilang, me­ne­­mukan kasino sama mudahnya dengan menemukan masjid. War­ga Siprus Turki tak bangga de­ngan keislamannya.

Pemandangan yang terlihat di Si­prus Turki berbeda dengan Si­prus Yunani (Republik Siprus). Di Si­prus Yunani, pengunjung tidak bi­sa menemukan bangunan-ba­ngu­nan masjid yang banyak seper­ti di Siprus Turki. Sebagai alat pem­bayaran, Siprus Turki mema­kai lira, sedangkan di Siprus Yu­na­ni menggunakan euro. Nama-na­ma toko menggunakan bahasa Yu­nani. Tetapi, karena bahasa Yu­nani dianggap terlalu sulit, digunakan juga bahasa Inggris.

Cerita tentang dua bagian Siprus ter­sebut disajikan dengan sangat menarik sehingga membuat pembaca penasaran dengan fenomena yang terjadi di negara itu.

Dalam kisah Tongkat Musa Ter­nyata Hanya Sebatang Ranting, di­ceritakan kemegahan istana sul­tan yang berisi penuh dengan ben­da-benda peninggalan sejarah. Ter­dapat logam kuning kemilau yang berbentuk tangan, mulai siku sam­pai jemari. Di katalog tertulis: ini adalah tangan Prophet John (Ra­sul Johannes) alias Nabi Yah­ya. Selain itu, ada juga benda yang terkait dengan tiga agama, yaitu Ya­hudi, Kristen, dan Islam. Ko­leksi tersebut berupa Tongkat Nabi Musa.

Membaca buku ini, kita mungkin bisa membandingkan perbeda­an gaya hidup masyarakat muslim di Turki dengan Indonesia. Inikah ga­mbaran wajah Islam yang diharapkan oleh dunia Barat?

Buku ini sangat penting, teruta­ma untuk menambah wawasan ki­ta tentang negara-negara Islam. Se­lain menyuguhkan cerita perja­lanannya yang mengesankan, pe­nulis juga memanjakan indra peng­lihatan pembaca dengan foto-fo­to yang bercerita tentang lokasi-lokasi eksotis di Turki dan Siprus yang dikunjunginya. (*)

Taufik Suadiyatno
, Mahasiswa Unesa, dosen IKIP Mataram, NTB


Sumber: Jawa Pos, Minggu, 29 November 2009

[Buku] Kota Suci Penerang Peradaban

Judul Buku: Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Tekanan Ibrahim
Penulis: Zuhairi Misrawi
Penerbit: Kompas
Cetakan: 1, 2009
Tebal : xviii+374 halaman

ADA dua kota suci yang dirindukan umat Islam untuk selalu disinggahi. Yakni, Makkah dan Madinah. Nabi Muhammad dilahirkan di Makkah, dan di kota inilah Nabi Muhammad mulai menyebarkan risalah agamanya. Sedangkan Madinah menjadi persinggahan kedua Nabi, sehingga Islam semakin maju dalam menciptakan peradaban zaman. Nabi pun akhirnya dikuburkan di Madinah.

Karena keagungannya, kedua kota suci ini dikatakan sebagai al-haramain; dua kota suci yang diharamkan berbuat kejahatan dan kenistaan. Mustahil kiranya mau mengkaji jejak Nabi dan jejak Islam tanpa memahami secara mendalam atas seluk-beluk Makkah dan Madinah.

Buku bertajuk Mekkah; Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim karya Zuhairi Misrawi ini merupakan bentuk penjelajahan dalam memotret Makkah secara biografis. Penelusuran biografis atas Makkah dilakukan penulis dengan mengetengahkan unsur lokal dan pengalaman hidup dan belajarnya selama menuntut ilmu di Timur Tengah. Kesan-kesan hidup sentimental yang disuguhkan dalam memotret Makkah secara biografis inilah yang memberikan nuansa tersendiri bagi pembaca dalam menguak jejak sosio-historis dan geopolitik yang melingkupi Makkah sepanjang hayatnya.

Penulis melihat jejak historis Makkah memberikan indikasi kuat bahwa Makkah sebagai kota suci. Selain secara teologis Makkah memang mendapatkan legitimasi kuat dari kitab suci, secara sosio-historis, Makkah juga menunjukkan letak geografis yang penuh tanda kesucian. Di Makkah inilah, bagi Zuhairi, banyak Nabi yang singgah, sejak Nabi Adam. Pertemuan Adam dengan Hawa setelah berpisah lama dari surga, juga ada di sudut gunung di Makkah. Kegigihan Nuh, Hud, dan Syu'aib dalam menegakkan agama Allah juga berada di Makkah

Terlebih lagi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar, yang banyak meletakkan batu teologis agama monotes dalam jejak geografis di Makkah. Bahkan, hampir semua prosesi dalam ibadah haji adalah napak tilas yang dilakukan Ibrahim. Mulai ihram, tawaf, sai, melempar jumrah, sampai wukuf di Arafah, merupakan jejak Nabi Ibrahim dalam membuktikan keimanannya kepada Yangkuasa. Karena Ibrahim mampu menjalankan ujian keimanannya, tak salah kemudian lelaku Nabi Ibrahim menjadi tonggak kekal yang diabadikan oleh nabi sesudahnya. Dan, Muhammad juga memberikan isyarat umatnya untuk menapaktilasi Ibrahim yang dikenal pemberani dan dermawan itu.

Besarnya jejak para nabi yang singgah di Makkah adalah indikasi lahirnya para tokoh dan pembesar suatu kaum yang berdiam di Makkah. Pembesar kaum Quraisy pastilah berdiam di Makkah, karena mereka menjadi panutan yang menggerakkan arah tradisi masyarakat yang berkembang di sana.

Di masa pra-Islam, Makkah sudah menjadi kota metropolis yang maju, perdagangan yang berkembang, dan tradisi keilmuan yang sudah mengenal baca tulis. Tetapi, karena tidak adanya pemimpin suku yang definitif, akhirnya sering terjadi konflik antarsuku. Kesepakatan ihwal hukum, aturan, norma, dan etika sangatlah absurd, sehingga masyarakat berjalan sesuai dengan ambisi suku dan pemimpin sukunya.

Baru setelah Muhammad terpilih untuk menegakkan risalah islamiyah, beliau akhirnya terpilih sebagai al-amin (yang tepercaya). Nabi bisa berdiri di tengah-tengah lintas suku, sehingga memungkinkan beliau menyebarkan ajaran agama dengan jalan persuasif. Walaupun demikian, bukanlah semulus yang diperkirakan, karena banyak pembesar Quraisy yang menolak ajaran agama baru yang disebarkan Muhammad. Hijrah Nabi ke Madinah bukanlah strategi langkah mundur, tetapi sebagai upaya mendakwahkan risalahnya dengan jalan damai, dan itu dimulai dari Madinah.

Walaupun terkesan telah diusir dari Makkah saat melakukan hijrah, bukanlah langkah mundur yang dijalankan Nabi. Justru ka­rena jalan perdamaian dan persaudaraan yang ingin ditempuh Nabi, hijrah ke Madinah menjadi bagian niscaya dalam sejarah hidup Nabi.

Terbukti, ketika fathu makkah (pembebasan Makkah), Nabi tidak memaksakan ajaran aga­ma kepada masyarakat Makkah. Beliau justru menawarkan jalan damai bagi semua warga. Bahkan, pembesar Quraisy pun mendapatkan pemaafan dari Nabi.

Ketika Makkah sudah di tangan umat Islam, Makkah semakin ramai. Tak lain karena di Makkah ada Kakbah dan Masjidilharam yang mendapatkan keistimewaan luar biasa dari umat Islam. Nabi juga memerintahkan umat Islam untuk berhaji, bertahannuts, dan bermunajat di Kakbah dan Masjidilharam. Perintah Nabi ini tak lain adalah wujud apresiasinya atas jejak Nabi Ibrahim yang sangat istimewa untuk diteladani umat Islam.

Para jamaah haji tidak akan melewatkan waktu istimewanya dalam menjelajah pesona di balik Makkah. Setahun sekali, umat Islam berduyun-duyun untuk menjalankan rukun Islam kelima itu. Bulan Zulhijah menjadi pertemuan agung umat Islam dalam memenuhi panggilan Allah sebagai tamu istimewa. Bukan saja bulan haji, tetapi ketika Ramadan tiba, umat Islam juga sangat antusias untuk bermunajat di Makkah. Hampir semua yang berkunjung tak bisa melukiskan kebesaran Makkah, karena memang pengalaman ruhaninya begitu mendalam.

Di sinilah penulis telah memperlihatkan Makkah sebagai kota suci yang menerangi peradaban dunia Islam. Pengalaman haji, umrah, serta iktikaf di Kakbah dan Masjidilharam telah menciptakan ruang teologis dan sosial yang melekat dalam diri seorang muslim. Peradaban dunia Islam akan semakin bercahaya dengan semakin bercahayanya mereka yang meresapi substansi ibadahnya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. (*)

Muhammadun A.S, Pengelola perpustakaan Al-Hikma Pati, Jawa Tengah

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 29 November 2009

Tubuh Spiritual Karangkamulyan

-- Jakob Sumardjo*

DI situs kabuyutan Karangkamulyan, Bojong, Ciamis, terdapat sekitar delapan situs berupa tatanan batu-batu bujur sangkar atau segi empat dengan batu berdiri dan batu pipih terhampar. Pada dasarnya ada dua jenis bentuk, yakni segi empat dan lingkaran, batu berdiri dan batu pipih terhampar di tanah. Itulah simbol-simbol arketipe masyarakat Sunda lama.

Batu berdiri dan segi empat adalah simbol "lelaki kosmis", sedang batu pipih terhampar dan lingkaran simbol "kosmik perempuan". Lelaki bisa berarti bumi, gunung, muara, jasmaniah, segala yang terbatas, segala yang imanen, badan. Sementara simbol perempuan mengacu pada oposisi pasangannya lelaki, yakni langit, laut, hulu, rohani, yang tak terbatas, segala yang transenden, sukma. Dalam hubungan dengan laku rohani, simbol lelaki adalah badan, tubuh ini, sedangkan simbol perempuan adalah sukma atau badan halus atau spiritualitas. Ingat sebutan Sunan Ambu di mitos-mitos rakyat.

Bila Anda memasuki kompleks kabuyutan Karangkamulyan, setelah pintu masuk (bayar karcis), Anda akan menemukan situs yang pertama berupa pagar batu segi empat memanjang yang terbagi dalam tiga kotak ruang. Pada kotak ruang yang paling ujung (paling dalam) yang mengarah ke utara, terdapat batu-batu pipih terhampar yang arahnya juga ke utara. Dari susunan hamparan batu yang juga segi empat panjang tersebut, terdapat batu yoni. Yoni itu tidak berlubang, datar saja mirip meja.

Yoni jelas sekali simbol perempuan kosmis. Di masyarakat Jawa Hindu, yoni tidak pernah sendirian, tetapi dikawinkan dengan lingganya, sehingga disebut lingga-yoni. Di Sunda, simbol lingga (batu berdiri) dan yoni ternyata dipisahkan, tidak pernah dikawinkan atau disatukan dalam satu wujud struktural. Kesan seksualitas dihindarkan. Meskipun harus dikawinkan atau disatukan, lingga hanya berdampingan rapat dengan yoninya, seperti terlihat di Karangkamulyan dan di situs Kawali. Perkawinan kosmik digambarkan lebih halus, lebih tersamar, dan lebih bersih.

Pagar segi empat adalah simbol linearitas, garis lurus yang jelas awal dan jelas akhirnya. Inilah simbol keterbatasan dari segala sesuatu yang imanen ini. Kalau itu simbol tubuh manusia, jelas awal adanya tubuh dan akhir adanya tubuh pada seorang manusia. Segi empat adalah kefanaan manusia dan dunia ini.

Sementara itu, simbol batu perempuan juga masih dalam struktur segi empat. Akan tetapi, simbol perempuan itu lingkaran yang nonlinear, tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Kalau Anda menunjuk satu titik dalam lingkaran itu sebagai awal, maka itu juga berarti sebagai akhir. Awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Itulah kebakaan, keabadian, kesekarangan yang terus menerus, nonlinear, suatu dinamika yang diam dan kediaman yang dinamik. Itulah alam transenden yang paradoksal, yang berarti kesatuan waktu lalu, sekarang, dan akan datang. Juga kesatuan ruang yang di sini dan di sana sekaligus. Di tempat tertentu dan di semua tempat empat penjuru mata angin.

Ada ungkapan Sunda yang berbunyi: kuring di jero kurung, kurung di jero kuring, aku dalam kurungan, kurungan dalam aku. Situs pertama ini mengacu pada ungkapan kuring di jero kurung. Kurungnya adalah bentuk segi empat panjang yang terbagi dalam tiga kotak. Itulah manusia pada umumnya, yakni sukmanya berada dalam tubuhnya. Manusia bertingkah laku secara duniawi, mementingkan tubuh. Hidup demi tubuh, demi keperluan duniawi, sedangkan sukma atau roh halusnya, yang perempuan, berada dalam kurungan tubuhnya. Gambarannya adalah "perempuan dikurung lelaki", atau "yang abadi transenden dikurung oleh yang imanen terbatas".

Situs empat persegi panjang ini merupakan situs terbesar di Karangkamulyan, tetapi yang berisi artefak hanya bagian kotak persegi yang paling dalam, paling utara. Mungkinkah ini simbol ratu? Dalam hal ini adalah tubuh atau badan jasmani raja Galuh-Kawali zaman itu? Karena terdapat beberapa situs lain yang rupanya disusun secara melingkar atau setengah lingkaran, yang mengarah ke kanan, maka konsep ini sesuai dengan pengertian mandala, ruang sakral tempat hadirnya yang transenden di alam imanen ini. Arah mengkanankan pusat (mandala) berarti gerak "naik" dari yang material ke rohaniah, dari materi ke energi gaib, dari badan ke roh atau sukma.

Dan tafsir ini mengarah kepada kenyataan itu. Kalau dari situs pertama ini Anda berkeliling mengunjungi situs-situs yang lain, maka terdapat pagar-pagar kotak batu yang sama mengarah pada bentuk bujur sangkar, dan di dalamnya terdapat artefak-artefak batu berdiri dalam susunan batu datar yang empat persegi panjang. Mirip bentuk kuburan zaman sekarang, sehingga tak heran kalau situs-situs demikian sering disebut sebagai kuburan.

Yang menarik dari deretan rangkaian situs-situs artefak ini adalah yang terakhir, yakni berbentuk lingkaran dari batu-batu yang cukup besar, dan di tengahnya terdapat kotak batu. Jadi kotak dalam lingkaran, kurung di jero kuring. Situs terakhir ini letaknya paling dekat dengan pertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy yang mengapit situs Karangkamulyan. Jadi mendekati dua sungai yang menyatu, yang mengesa. Sungai Cimuntur yang "perempuan", bersih, dan Sungai Citanduy yang "lelaki", keruh. Inilah konsep dualisme antagonistik yang diharmonikan menjadi kesatuan paradoksal, keperempuanan, dan kelaki-lakian.

Perjalanan ziarah Karangkamulyan adalah perjalanan tubuh ke sukma atau roh. Dari kuring di jero kurung menjadi kurung di jero kuring. Dari sukma dibungkus badan menjadi badan dibungkus sukma. Inilah yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai meraga sukma. Sukma menjadi badan, dan badan dibungkus oleh sukma. Itulah tubuh spiritual. Itulah tujuan semua laku mistisisme, berbadan roh selama hidup di dunia ini. Itulah yang oleh kaum tasawuf disebut sebagai "mayat yang berjalan". Tubuh ini ditenggelamkan dalam laku atau perbuatan yang semata-mata rohaniah.

Dalam banyak cerita pantun, mungkin inilah "manusia sempurna", "manusia sejati", "dewa kamanusiaan". Inilah sebabnya para pangeran Pajajaran yang menjadi raja-raja (ratu) di daerah-daerah Pasundan mampu menghilang, beralih wujud, terbang, dan menghidupkan orang mati. Raja-raja semacam ini adalah raja yang bertubuh spiritual. Sebagai bertubuh sukma, ia mampu menguasai ruang dan waktu, lepas dari keterbatasan, lepas dari kotak-kotak tubuh ini, lepas dari ikatan kurung. Raja semacam ini menyatukan diri dengan kosmos dan mencapai metakosmos. Yang tidak ada menjadi hadir dalam ada dirinya. Yang transenden mengimanen, yang spiritual menubuh. Itu semua dengan metode mati-raga. Melenyapkan hasrat-hasrat ketubuhan-keduniawian. Menghadirkan "tubuh" yang lain, yakni tubuh sukma, tubuh roh, tubuh yang metafisik. Yang duniawi digantikan yang rohani. Ini juga berarti bahwa the life of sense menjadi the life of spirit.

Ajaran demikian ini mirip dengan tari Panji dalam Topeng Cirebon. Panji yang berkedok adalah kurung di jero kuring. Aku adalah kedok Panji, dan kurung atau badan penari dibungkus oleh kuring. Itulah sebabnya tarian Panji itu paradoks, sesuatu yang out world stillness (tampak) sedang di dalamnya in world work (di dalam yang sibuk). Gambarannya adalah penari berkedok yang diam tak bergerak sedangkan bunyi gamelan riuh rendah dalam irama sangat cepat. Itulah tujuan akhir dari tubuh spiritual, tenang di luar tetapi sibuk kerja di dalam. Kediaman yang dinamik, dinamika dalam kediaman. Konsep paradoks yang sulit diterima oleh mereka yang berpola pikir Aristotelian, yang menolak adanya kemungkinan ketiga dalam dunia kontradiksi. Tidak mungkin yang energi itu juga yang materi, dan yang materi itu juga energi. Paham Sunda lama ini justru menemukan kemungkinan ketiga yang ditolak logika Aristoteles, yakni sukma yang menubuh, energi yang memateri. Seorang yang mencapai tubuh spiritual adalah yang penuh energi gaib tak tampak, penuh kesakralan.

Situs Karangkamulyan mengandung ajaran metafisika tingkat tinggi. Bagaimana gambaran manusia (raja) menjadi bertubuh api ritual agar mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya (Rama). Ajaran atau metode ini di kuasai oleh mereka yang sudah Resi. Resi, Ratu, Rama adalah kesatuan. Ini digambarkan dalam wujud situs Kawali (Resi), situs Susuru (Rama), dan situs Karangkamulyan (Ratu). Ketiga situs itu berada di sebelah kanan aliran Sungai Cimuntur yang mengalir ke selatan.***

* Jakob Sumardjo, budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009

Kepergian Sang Pionir

-- Doddy Ahmad Fauji*

SUATU malam di tahun 1994, saya, Deden A. Aziz, dan Wan Anwar menghadapi suatu resital; Kami akan membacakan puisi-puisi kami yang dihimpun dalam antologi stensilan berjuluk "Rumah Kita", di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, yang ditaja Forum Sastra Bandung (FSB) atas kemurahan ketuanya, Juniarso Ridwan.

Kami meminjam bus milik kampus, dan mengumumkan siapa yang mau ikut menonton akan dapat tumpangan gratis. Maklum, pembacaan puisi sering kali suwung apresiator, terasa sepi ing pamrih, nun jauh dari pikuk fiesta yang dinikmati para penghelat pop art. Hanya segelintir penyair besar yang bisa mendatangkan berjubel penonton. Adapun kami, kala itu, masih dalam kategori "penyair calon" yang puisinya baru bisa menghiasi koran lokal, dan kami merasa belum memiliki penggemar.

Akan tetapi, resital kepenyairan malam itu harus ditonton untuk memperkukuh keyakinan kami. Kami pun merayu beberapa dosen yang akomodatif supaya "mewajibkan" para mahasiswa untuk menonton. Maka terjadilah "bedol kelas" dari IKIP Bandung (sekarang UPI) ke Rumentang Siang, dengan menggunakan bus kampus. Penonton cukup banyak. Juniarso ikut puas.

Sejak itu, Juniarso Ridwan sering mengontak kami untuk mengerahkan mahasiswa IKIP sebagai penonton acara-acara FSB. Pembacaan puisi oleh Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, dan lain-lain, yang diselenggarakan FSB, sering ditempatkan di IKIP Bandung karena penontonnya selalu meruyak. Sejak itu pula, dari IKIP Bandung berlahiran para penulis sastra, hingga saat ini. Tentu sebelumnya sudah banyak bermunculan senior kami sebagai penulis kreatif, tetapi tidak sesubur setelah generasi kami. Kami menyombongkan diri bahwa kami telah membangun rumah kreatif baru untuk melahirkan para penulis baru.

Peletak dasar fondasi Rumah Kami, tak bisa disangkal, adalah Wan Anwar. Saat semester dua, puisi Wan Anwar dimuat di Pikiran Rakyat untuk pertama kalinya. Peristiwa penting ini langsung membakar banyak orang. Saya ikut mendidih, membuat saya jadi giat belajar menulis puisi, sampai ikut pelatihan pers kampus. Namun puisi yang saya cipta, belum juga bisa dimuat di koran-koran.

Suatu malam saya berkunjung ke indekost Wan Anwar, dan memintanya menganalisis puisi-puisi yang saya tulis. Dia menguraikan kekurangan dan kelebihan puisi saya, menjelas-tegaskan hakikat dan metode puisi dengan kata-kata yang meluncur lancar, mudah dipahami. Saya terpesona, dan turunlah testimoni yang tidak pernah saya sampaikan kepadanya; ia berbakat dalam membabakbeluri suatu masalah.

Ia sangat serius ingin menjadi penyair, ingin jadi penulis. Semangatnya menyala-nyala. Pada mesin ketiknya, ia sematkan plakat kecil bertuliskan "Sang Penulis!"

Ia sering memadamkan lampu neon menjelang dini hari, dan menggantinya dengan lilin. Ia menghisap kretek ditemani kopi pahit, lalu menarikan jemarinya pada tuts mesin ketik di keheningan dini hari. Suara mesin ketik setiap malam selalu terdengar berdetak syahdu. Dibasuh udara kawasan Ledeng yang dingin, berlahiranlah puisi-puisi liris dari mesin ketik Wan Anwar yang kami gunakan bergiliran.

Di angkatan kami, Wan Anwar adalah pelopor penulis dari kalangan mahasiswa tingkat kemarin sore. Itulah yang mendorong saya mendukungnya untuk jadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Jurdiksatrasia) IKIP Bandung. Wan Anwar menang. Ia pun membuka sekretariat Hima Diksatrasia siang dan malam sebagai "Rumah Kita", yaitu tempat menggelandang tetapi harus kreatif. Kami sering begadang sebagai bagian dari proses kreatif. Malam-malam, kami bergiliran membacakan puisi karya penyair besar dan mendiskusikannya. Bergiliran pula membacakan karya sendiri, dan saling mengkritik. Dalam soal mengkritik karya, Wan Anwar tak terkalahkan.

Malam-malam, kami sering ngawawaas suasana. Kami tidur di bawah pohon beringin beralaskan tikar di depan Gedung Partere, atau pergi ke Gunung Batu di Lembang. Semua itu dilakukan dengan keluguan dalam rangka menangkap ilham, sebagaimana para kawon di zaman empu-empu melakukan incognito di mayapada senyap guna "mengalami" yang sesungguhnya marwah esthetic mengalir deras ke dalam sukma, lalu lahirlah kakawin.

Semangat kreatif yang dipelopori Wan Anwar itu berimbas positif. Puisi Deden A. Aziz dimuat di "PR", puisi saya menyusul di Bandung Pos, menyusul Nenden Lilis A., Tateng Gunadi, Herwan F.R., hingga generasi berikutnya. Sewaktu Wan Anwar menjadi Ketua Hima, kami mendirikan unit kegiatan setingkat kampus, yakni Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), dengan Deden A. Aziz terpilih sebagai ketua.

ASAS mendapat pengakuan bukan saja di Bandung dan Jawa Barat. Kami dikontak oleh Ahmadun Yossi Herfanda untuk mengumpulkan puisi-puisi anak ASAS, dan ia memuatkannya di Harian Republika. Rendra menyampaikan pujian. Setelah ada ASAS, daya jelajah puisi-puisi kami makin jauh, memasuki koran-koran yang terbit di Jakarta, seperti Mutiara, Suara Karya, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Pelita, Republika, dan lain-lain, bahkan Herwan F.R. rajin menulis resensi buku di Republika, sesekali di Kompas. Juga sampai-sampai kritikus Korrie Layun Rampan memasukkan karya beberapa alumni ASAS ke dalam antologi "Angkatan 2000 dalam Karya Sastra".

ASAS pernah nyaris mati karena politik kekuasaan mahasiswa berubah. Sekretariat Hima dikuasai oleh kelompok fundamentalis "kanan", membuat kami dan ASAS terusir dari sekretariat Hima Diksatrasia. Wan Anwar menyelamatkannya. Ia memindahkan sekretariat ASAS ke kamar indekostnya. Tetapi kemudian Wan Anwar sakit dan harus cuti. Ginjalnya kacau. Deden dan saya lebih berkonsentrasi di unit teater. ASAS pun vakum.

Setelah cuti setahun, ternyata Wan Anwar sembuh dan balik ke kampus. Pada 1996, ASAS dihidupkan lagi atas prakarsanya. Pada 1997, kami meninggalkan kampus dengan memenuhi doktrin gelandangan kampus; kuliah tepat waktu tujuh tahun. Saya dan Wan Anwar melamar ikut jadi dosen di IKIP, tetapi sama-sama tidak lolos. Ada rasa sedih, mengapa alumnus sekualitas Wan Anwar tidak diterima jadi dosen di almamaternya? Saya bermigrasi ke Jakarta dengan bekerja di harian Media Indonesia, dan Wan Anwar ke Serang dengan menjadi dosen di PTS Untirta.

Untirta berubah status jadi Perguruan Tinggi Negeri. Memasuki periode ini, Wan Anwar bekerja lebih keras. Ia bersedia diminta Taufik Ismail bekerja di Majalah Sastra Horison, dan mengembara bersama para sastrawan dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) ke beberapa kota. Ia juga meneruskan kuliah di Universitas Indonesia Depok, hingga meraih gelar master humaniora. Ia menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Untirta pada usia yang relatif muda. Dan seperti dulu di IKIP, ia pun sering melakukan "bedol kelas" dengan menggiring mahasiswanya ke acara-acara sastra, hingga ke Jakarta atau Bandung.

Ia merelakan salah satu rumahnya untuk ditempati mahasiswanya yang mau kreatif. Di rumah itu, didirikanlah organisasi Kubah Budaya. Ada saya dengar satu dua anggotanya menjadi penulis yang mulai diperhitungkan. Merelakan rumah resminya menjadi sekretariat gelandangan kreatif, mengingatkan saya saat ia membuka sekretariat Hima Diksatrasia di IKIP Bandung bagi para gelandangan dengan syarat harus kreatif.

Dalam soal ini, ia seorang pelopor, dan alam unconsciousness-nya berujar; // Semua akan luput, semua telah cukup/ tuhan, ya tuhanku, aku menangis ketika sadar/ begitu banyak yang harus kurelakan.// ("Di Sebuah Pesta")

Wan Anwar sudah merelakan banyak hal, termasuk jiwa dan raganya. Akan tetapi ada satu obsesinya yang tidak kesampaian. Ia menginginkan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tempatnya mengajar, menjadi Fakultas Ilmu Budaya seperti yang terdapat di UI, Unpad, dan perguruan tinggi-perguruan tinggi bergengsi lainnya. Untuk mengubah FKIP jadi FIB, pada fakultas itu minimal harus ada tiga dosen bergelar doktor. Wan Anwar pun melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia Depok guna meraih gelar Doktor.

Di Depok ia menulis lirik "Depok Suatu Sore" yang berbunyi: aku kenang lagi air mata berjatuhan… /maut menggeliar dari sukmaku.

Mimpi itu mungkin terlalu jauh untuk direngkuh, terlampau keras untuk ditaklukkan oleh ginjalnya yang kembali tidak normal. Sampai akhirnya, saya harus membacakan doa untuk penyair dan sang pionir ini. Alfatihah.***

* Doddy Ahmad Fauji, penyair.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009

Mimpi Buruk Sastra di Sekolah

ADA hal yang menarik diutarakan penyair Sunda, Nita Widiati Efsa, dalam diskusi kecil-kecilan dengan penulis mengenai pelajaran sastra Sunda/Indonesia di tingkat SLTP dan SMA. Menurut dia, belajar sastra adalah belajar tentang kehidupan. Berkaitan dengan itu, dalam mengemban tugas sebagai guru bahasa dan sastra Sunda/Indonesia, seyogianya guru tersebut dituntut untuk memiliki pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang kehidupan itu sendiri.

Selain itu, katanya lebih lanjut, menjadi guru bahasa dan sastra Sunda/Indonesia adalah profesi yang hebat. Apa sebab? Karena mata pelajaran tersebut menjamah wilayah lain, seperti psikologi, misalnya. Namun demikian, ada kalanya guru bahasa dan sastra tersebut juga sering tidak mengenal, dan bahkan tidak peduli dengan jangkauan kerjanya. "Salah satu alasannya adalah tidak adanya buku rujukan dan buku pendukung lainnya, yang mereka sulit dapat!" ujar Nita menjelaskan.

Apa yang dikatakan Nita memang tidak salah. Pernyataan yang demikian itu, berkali-kali saya dapatkan di berbagai kota, baik ketika menjadi nara sumber dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan majalah sastra Horison bekerja sama dengan Ford Foundation, maupun dalam acara lainnya.

Jika memang kendalanya bermuara pada buku-buku teks sastra sebagai rujukan dan buku-buku pendukung lainnya, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana sesungguhnya dengan pengadaan buku-buku sastra yang selama ini diselenggarakan pemerintah lewat dinas terkait?

Lepas dari persoalan tersebut, bukan rahasia umum, kalau penerbitan buku-buku sastra itu sendiri sering dianggap sebagai penerbitan yang merugi. Untuk itu, sangat jarang di Indonesia ada penerbit yang mati-matian mau menerbitkan kumpulan puisi, atau naskah drama dan cerita pendek. Kalau penerbitan novel boleh dibilang cukup marak.

Akan tetapi, persoalannya pengajaran karya sastra, sebagaimana yang saya lihat di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk anak SLTP dan SMA, bukan hanya novel yang disajikan lewat petikan novel, tetapi juga cerita pendek, puisi, dan naskah drama. Ada kalanya teks sastra yang dipetik dalam buku-buku pelajaran tersebut, tidak dipetik dari buku karya sastra yang bisa dipertanggungjawabkan mutu dan kualitasnya. Adakah hal ini pun terbentur pada sumber-sumber naskah yang dipunyai oleh penulis buku-buku teks tersebut?

Sungguh, pertanyaan demi pertanyaan yang muncul berkait dengan buku pelajaran bahasa dan sastra itu sendiri, pada satu sisi membuat kita bertanya-tanya. Antara lain pertanyaan itu bermuara pada satu soal, misalnya, seberapa sungguh-sungguhkah pengajaran bahasa dan sastra Sunda/Indonesia diajarkan di sekolah?

Belum lagi soal lain, dengan munculnya berbagai kenyataan yang cukup mengejutkan di lapangan, ada kalanya yang menjadi pengajar pelajaran bahasa dan sastra Sunda/Indonesia, bukan dari jurusannya, tetapi dari jurusan yang lain. Kalau si guru tersebut suka karya sastra, pastilah pelajaran tersebut akan menyenangkan. Kalau tidak, bukan rahasia umum, jika pada akhirnya pelajaran sastra dilewat begitu saja. Itulah data-data yang saya dapat saat mengikuti acara SBSB atas ajakan penyair Taufiq Ismail.

Sehubungan itu, saya sependapat dengan apa yang dikatakan Taufiq Ismail, dengan diajarkannya karya sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh pada satu sisi, tidak dimaksudkan agar siswa tersebut menjadi sastrawan. Akan tetapi agar mereka mengenal kehidupan secara luas, sebab di dalam karya sastra ada banyak ilmu pengetahuan, yang tidak hanya berkait dengan nilai-nilai kultural dan moral, tetapi juga dengan nilai-nilai religius, sosial, dan lainnya.

Selain itu, belajar menulis menjadi penting dalam konteks tersebut, antara lain agar siswa bisa mengekspresikan daya nalar dan daya pikirnya dalam bentuk tulisan. Munculnya kendala dalam dunia tulis-menulis itu terjadi karena siswa kurang perbendaharaan kata yang disebabkan malas membaca. "Jadi belajar karya sastra antara lain juga merupakan sebuah rekreasi bahasa. Apalagi bila kita menuliskannya," ujar Taufiq Ismail pada suatu kesempatan di Palembang.

**

KEMBALI ke soal terbenturnya buku-buku teks sastra dan buku-buku pendukung lainnya, dalam kaitan ini kiranya seorang guru dituntut harus kreatif. Ia harus jeli dalam membaca keadaan, yakni dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, semisal karya sastra di koran, atau mencarinya sendiri di situs-situs tertentu lewat dunia maya.

Tentang hal ini pun, kata seorang guru di Kuningan, menjadi suatu kendala, yakni tidak ada biaya untuk itu. Kalau hal ini menjadi masalah, lantas apa sesungguhnya yang dilakukan oleh sekolah dalam memperkaya buku-buku teks untuk perpustakaan sekolah? Betapa benang kusut pengajaran sastra di tingkat sekolah, ternyata cukup pelik juga. Padahal jika mereka ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ada jurusan sastra.

Saya jadi ingat Rendra dengan kaitan tersebut. Dirinya menyambut baik gagasan majalah sastra Horison yang menyelenggarakan acara sastrawan masuk sekolah. "Hanya sayangnya tidak semua sekolah bisa didatangi oleh sastrawan, karena terbatasnya dana. Jika pemerintah bersungguh-sungguh dengan pendidikan yang satu ini, sesungguhnya acara yang diselenggarakan majalah sastra Horison itu bisa diselengarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah!" ucap Rendra pada suatu kesempatan di Bandung.

Sehubungan dengan itu pula, Rendra memberikan saran yang lain, untuk mengatasi langkanya buku-buku sastra di daerah, yakni dengan cara media massa cetak membuka rubrik sastra, yang tidak hanya melulu memuat karya sastra, tetapi juga memuat persoalan-persoalan di sekitar sastra. Antara lain dengan menampilkan tokoh-tokoh sastrawan yang ditulis tidak hanya dari sisi biografinya, tetapi juga membahas karya sastra yang ditulisnya.

Menarik apa yang dikatakan Rendra tadi. Akan tetapi persoalannya, cita-cita semacam itu sangat sulit diwujudkan, mengingat media massa cetak sendiri punya agenda yang lain. Sekali lagi, tampak sangat rumit memang mencari jalan keluarnya. Mungkin ada gagasan lain yang bisa direalisasikan, yakni masing-masing alumni yang sudah punya penghasilan tetap dari masing-masing sekolah, diwajibkan untuk menyumbangkan satu atau dua buku karya sastra. Dengan demikian, guru-guru yang terbentur oleh buku-buku teks sastra dan buku-buku pendukung lainnya bisa diatasi.

Lantas caranya bagaimana? Masing-masing sekolah mengumumkan agar para alumninya menyumbangkan buku-buku karya sastra untuk mengisi perpustakaan sekolah. Tentu saja pada tingkat lebih lanjut, tentu bukan hanya buku-buku sastra yang harus diadakan oleh sekolah, tetapi juga buku-buku lainnya, yakni buku-buku yang bisa mengasah dan menambah pengetahuan si anak didik tentang hidup dan kehidupan itu sendiri dalam pengertian seluas-luasnya.

"Pendidikan humaniora, termasuk pendidikan karya sastra di dalamnya tidak bisa dimistik menjadi nol. Pendidikan budi pekerti itu, antara lain bisa juga di dapat di dalam karya sastra. Jadi belajar sastra itu bukan sekadar belajar apa dan bagaimana metafora, tetapi belajar apa dan bagaimana karya sastra berkait erat dengan kehidupan itu sendiri," ucap Rendra, dalam sebuah acara yang diselenggarakan majalah sastra Horison, di hadapan sejumlah guru di Bandung.

Bagi guru-guru yang hidup di kota besar, mungkin tidak jadi masalah dalam mendapatkan buku-buku teks sastra yang dimaksud. Akan tetapi, tidak demikian dengan guru-guru yang ada di daerah. Kenyataan pahit inilah yang harus segara diatasi, agar pelajaran sastra bukan sekadar pelajaran sisipan dari mata pelajaran bahasa Sunda/Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Mudah-mudahan ini bukan mimpi buruk yang terus-menerus berkelanjutan dari tahun ke tahunnya. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009

Semangat Hibrid "Elle Eleanor"

MENGUATNYA era teknologi informasi mendorong bertumbuhnya sastra di dunia maya. Berbagai situs dan blog pun bermunculan. Dari situs yang sangat ilmiah, populer, sampai ke situs yang sangat pribadi. Dari pembahasan ilmiah sastra, isu-isu, atau sekadar saling lempar tanggapan, semuanya menjadi "napas" baru gerak sastra di luar penerbitan buku, koran, ataupun stensilan.

Pada situasi ini, pengarang, kritikus sastra, maupun penikmat sastra bergumul dalam satu dunia yang sama: karya sastra. Bila pada era penerbitan buku, koran, ataupun stensilan, ketiga manusia yang terlibat ini masih sangat berjarak, berbanding terbalik dengan sastra di dunia maya. Tak ada lagi batas pemisah antara pengarang, kritikus, maupun penikmat sastra.

Siapa pun bisa menjadi apa pun.

Seorang penikmat mungkin tiba-tiba menjadi seorang kritikus yang melemparkan ribuan kata untuk pendapat yang dikemukakannya. Sebaliknya, bukan tidak mungkin, seorang kritikus hebat sekalipun akhirnya membaca tulisan-tulisan sekadar "buang ingus" yang masuk dalam situs sastra.

Ibarat pisau bermata ganda, kemajuan teknologi informasi ini berimbas pula pada penciptaan dua ruang karya dalam sastra dunia maya. Hal ini dapat diamati dari bermunculannya ruang omong-omong sastra dan ruang penciptaan satra. Yang kualitas keduanya ditentukan oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Mau menjadi karya "sastra beneran" atau sekadar "nyampah kata" di dunia maya.

Sapardi Djoko Damono menyebut semua fenomena tersebut sebagai hibrid satra dunia maya. Sebuah keadaan di mana telah lahir karya sastra dan ruang penciptaan sastra yang merupakan perpaduan ragam pemikiran manusia dari berbagai manusia.

Uniknya, walaupun ruang pemikiran itu (mungkin) sangat diskursif, tetapi belum tentu orang-orang yang terlibat dalam wacana diskusi itu mengenal secara benar siapa yang terlibat pembicaraan satu sama lain. Hal sama bisa berlaku dalam ruang penciptaan karya, satu puisi, satu cerpen bisa saja dibuat oleh dua sampai sepuluh orang yang terlibat tetapi satu sama lain tidak saling mengenal.

Proses ini pada akhirnya melahirkan karya sastra yang anonim. Siapa menulis apa menjadi tidak penting lagi tetapi puisi atau cerpen sebagai karya sastra (baru) itulah yang lebih penting untuk dilahirkan.

Secara sosiologi sastra, kenyataan ini notabene identik dengan sastra lisan yang tak berpemilik atau anonim (tidak diketahui siapa lagi pengarangnya) dan menjadi milik bersama. Sebuah keadaan yang justru tidak berbeda dengan situasi pada saat berkembangnya karya sastra lisan sebelum hadirnya karya sastra tulis (cetak).

Namun, hal mendasar yang membedakannya, karya sastra bersama dari dunia maya ini, ternyata dituliskan (lagi) dalam bentuk buku. Bahkan fenomena ini sepertinya menjadi semacam upaya "pengakuan" atas karya yang sebetulnya sudah banyak pembacanya di ruang maya.

Sapardi Djoko Damono menilainya sebagai kemunduran kembali sastra ruang maya. Akan tetapi persoalannya menjadi sangat beralasan ketika payung hukum Undang-Undang Teknologi Informasi masih belum melindungi karya-karya yang sudah lahir di dunia ruang maya.

**

ADALAH Elle Eleanor novel karya Zen Zanzad yang sangat mewakili dari semua kenyataan sastra hibrid ruang maya tersebut. Novel yang ditulis dua pengarang yang sangat berbeda latar belakang sosial dan pemikirannya ini, telah hadir menjadi "penyuara" sastra hibrid ruang maya.

Sebagai novel, Elle Eleanor merupakan karya sastra yang penuh kecamuk. Bukan saja dari cerita, pesan-pesan yang ingin disampaikan, tetapi juga dari proses penciptaannya.

Dua pengarang Ferry Herlambang Zanzad (Zad) yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur, dan Zeventina Octaviani Bouwmeester (Zev) yang tinggal di Jerman, harus "menyatukan" pemikiran dan kegelisahannya dalam Elle Eleanor.

Tak terperikan apa saja yang terjadi sejak novel ini ada dalam ruang benak mereka, berproses, sampai akhirnya menjadi sebuah katarsis sebuah fenomena manusia di era ruang maya.

"Saya sering bertengkar hebat dengan Zev, kalau ternyata tiba-tiba ia ingin mengubah semua yang sudah kita tuliskan," ujar Zad tentang perjalanan penciptaan novel ini. Saat novel ini diluncurkan di Kafe Kongkow, belum lama ini di Bandung.

Betapa tidak, Zad tinggal di Surabaya dengan segala kecamuk unggah ungguh tradisi yang mulai tergerus kemodernan, sementara Zev tinggal di Jerman dengan segala bentuk potret kehidupan barat yang sudah sangat bebas. "Akan tetapi justru di `Elle Eleanor` inilah aku dapat berbicara dengan Zad yang awalnya hanya pertemanan di ruang maya," ujar Zev menimpali.

Dua kegelisahan manusia di tengah arus zamannya ini, dibenarkan Tandi Skober. Menurut dia, saat membincangkan novel ini, Elle Eleanor memang bertutur tentang kegilaan perempuan yang sangat paradoks antara pola pikir barat Jawa. "Dua pemikiran dalam satu diri, satu sisi gelap Jawa dan sisi agak terang di sisi barat," ujarnya.

Sebuah teror psikomania seperti manis padahal tidak. Membaca Elle Eleanor menurut dia, seperti sedang membaca film lama dalam bahasa kekinian.

"Kita akan kaget, sebuah album lama yang buram tentang seks psikomatis antara tradisi yang rigid penuh ritual dan pengabdian dengan gaya hidup barat yang bebas disampaikan dengan bahasa berdebu, kovensional, dan ruang waktu yang sangat abu-abu," ujarnya.

Kendati begitu, Tandi tetap membebaskan bahwa ruang penafsiran karya sastra sangat diserahkan kepada para penafsirnya. "Yang penting kita belajar arif dan moral dari novel ini, bukan dari sinetron," imbuhnya.

Elle Eleanor disebut-sebut juga sebagai nover thriller Indonesia yang berhasil. Hal itu disampaikan penulis novel Zara Zettira dalam komentarnya di halaman depan buku ini. "Detail suasana dan cara bertutur novel ini membuat saya yang tidak pernah menyukai cerita thriller menjadi ingin membacanya hingga selesai," ujarnya.

Hampir bersepakat dengan Tandi, penulis masalah-masalah psikologi dan seks, Mariska Lubis menilai, Elle Eleanor bukan semata-mata novel thriller yang menegangkan, tetapi juga novel yang bertutur tentang seks yang jujur dan menantang tetapi tidak telanjang (vulgar). "Intinya, segala kecamuk manusia masa kini ada dalam Elle Eleanor. Ada persoalan-persoalan seks, psikologis, schizofrenia, tradisi, thriller, dan banyak lagi," ujarnya.

**

ELLE Eleanor dikemas dalam tiga bagian, adegan penembakan yang tercantum dalam prolog, bagian kedua flashback mengapa terjadi bab sebelumnya, dan bagian ketiganya ending. Novel setebal 400 halaman ini, desain sampulnya berkesan kuno (klasik) dengan dominasi warna coklat, memajang potret perempuan bergaya Eropa.

Tampilan fisik ini, menurut penulis juga pengamat sastra Hermawan Aksan, cukup merebut perhatian. Sebab masih banyak orang yang menyukai hal-hal berkesan klasik.

Namun, kata Hermawan, ada beberapa kelemahan dari novel ini. Final editing masih belum "bersih" dari ejaan penulisan bahasa yang baik dan benar. Ini dapat dilihat dari pemakaian kata "di dan ke" yang masih disatukan. Penggunaan tanda baca juga demikian.

Yang lebih esensial lagi, usia para tokoh tidak diketahui. Kalaupun disebutkan ada usia yang tumpang tindih. "Mungkin karena pengarang tidak membantu pembaca dalam menginformasikan pertumbuhan usia para tokohnya," demikian kata Hermawan.

Hal sama terjadi dalam penggambaran waktu dan tempat. Ada kalanya dituturkan sedang dalam keadaan malam yang gulita, tetapi kemudian masih dalam tempo yang sama digambarkan dalam keadaan siang. Atau sedang di balkon tiba-tiba ada di pantai, dan seterusnya. "Ini mengaburkan situasi yang sesungguhnya," ujar Hermawan.

Kendati begitu, Hermawan menilai, lokasi cerita memberi gambaran misterius, deskriptif lengkap, pembaca akan menyangka semua benar-benar ada, dengan latar belakang sejarah Belanda era 1930- an yang jarang ditulis. "Ceritanya sangat filmis walau tetap tidak kehilangan ritme. Ending-nya khas banget cerita Hollywood," ujarnya.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan itu, Hermawan menyimpulan, Elle Eleanor sangat menarik karena ditulis dua penulis, yang di dalamnya sama sekali tidak terasa lagi siapa menulis bagian mana.

Sebuah karya yang notabene menjadi semacam semangat baru penciptaan karya sastra bersama (baca: sastra hibrid) yang lahir dari ruang maya. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009