Judul Buku: Lian Nio, A Strue Story
Pengarang: Suwandono
Penerbit: Langit Kresna Hariyadi Production, Malang
Cetakan : I, Oktober 2009
Tebal: 512 halaman
SELAMA berkarir sebagai wartawan, saya kurang tertarik membaca novel. Tetapi, ketika disodori novel Lian Nio, A True Story, saya terdorong merampungkan novel itu dan menuliskan ulasannya. Hal tersebut semata-mata disebabkan pengarangnya, Suwandono, punya latar belakang jauh dari dunia sastra.
Dia adalah sarjana ekonomi yang sehari-hari berkutat di dunia realestat. Meski begitu, dia mampu menampilkan novel itu dengan menarik. Ada beberapa hal yang membuat saya sangat kesengsem dengan buku tersebut.
Pertama, novel itu bercerita tentang kisah nyata yang menurut saya luar biasa. Kisah nyata yang terjadi di sebuah kota di Jawa Timur dengan rentang waktu yang cukup panjang, mulai 1966 hingga 2003. Bertebarannya catatan kaki (footnote) yang menerangkan para tokohnya, nama asli tokoh-tokohnya, hidup atau matinya dia, mengakibatkan novel Lian Nio memiliki pembeda.
Ketika umumnya novel berbahan imajinasi atau angan-angan bawah sadar pengarang, Suwandono justru sibuk berkutat dengan akurasi dan presisi, utamanya tentang siapa anak siapa, tinggal di mana, dimakamkan di mana, kapan, hari apa, pukul berapa, dan tahun berapa. Bisa dibayangkan betapa ribet yang harus dilakukan jika pengarangnya bukan seorang yang benar-benar menghayati kisah novel itu. Ketika pengarang lain bisa seenaknya menempatkan diri menjadi "Tuhan" dengan melakukan apa pun terhadap para tokoh, hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh Suwandono. Tentu penyebabnya adalah si pengarang novel itu berhadapan dengan kisah nyata yang sebagian besar tokohnya masih hidup ketika kisah tersebut ditulis.
Kedua, bahan baku yang kemudian diolah menjadi rangkaian kisah nyata dalam buku itu, menurut saya, sangat bagus. Menulis Lian Nio pada dasarnya menulis ulang sebuah sejarah. Meskipun, wilayahnya hanya mundur 30 tahunan, seusia pengarang novel itu. Penggarapan novel berbahan peristiwa nyata menjadi pilihan ketika idenya memang benar-benar bagus. Akan tetapi, dalam kasus Lian Nio, bukan hanya ide yang baik, tetapi peristiwanya juga menarik.
Inti novel itu mengisahkan banyak hal. Mulai ras, kesenjangan status sosial-ekonomi, perbedaan agama, konsekuensi suatu pilihan hidup, cinta sejati, kesetiaan, pengorbanan, hingga totalitas. Namun, si pengarang mengemasnya sebagai sebuah renungan bagi siapa saja. Dalam bahasa yang encer ketika mengupas masalah rasialisme di buku tersebut, pengarang menyajikannya dengan jeli sehingga tidak harus menjadi pemicu sikap rasialisme pembaca.
Diawali dengan kisah jalinan cinta yang mekar di hati Siswoto dan Lian Nio, dua sosok yang benar-benar jungkir balik. Lian Nio cantik luar biasa. Sebaliknya, Siswoto jelek luar biasa. Lian Nio berumur 20 tahun, sementara Siswoto 37 tahun. Lian Nio berasal dari keluarga Tionghoa mapan, Siswoto adalah seorang pejudi dari keluarga Jawa yang melarat.
Lebih parah lagi, Siswoto sering berjudi dengan Kwee Kiat Bing, ayah kandung Lian Nio. Sebagai lawan tanding dalam berjudi, tentu Kwee Kiat Bing sangat mengerti tabiat Siswoto. Termasuk, dia hafal gaya pemuda itu mengumpat. Bagi orang tua mana pun, apa yang harus dihadapi Kwee Kiat Bing dan Liem Bhe Wha (istrinya) bisa dianggap sebagai bencana paling mengerikan. Seperti itulah umumnya cara pandang orang tua manakala mendapati anak gadisnya menjalin asmara dengan lelaki yang jauh dari kata ideal. Sangat bisa dimengerti jika akhirnya muncul penolakan amat keras dari Kwee Kiat Bing ketika mencium gelagat Siswoto menjalin hubungan khusus dengan Lian Nio.
Penolakan itu berbuah peristiwa yang menggemparkan desa dan tak akan pernah bisa dilupakan penduduknya. Peristiwa seorang ayah mengejar-ngejar anaknya dengan pisau tajam terhunus. Sang ayah, Kwee Kiat Bing, yang marah besar dan merasa harga dirinya tersinggung tidak merasa ragu untuk menghabisi nyawa anak pertamanya itu. Dalam peristiwa yang tercatat pada 5 Juni 1969 tersebut, Tuhan berkehandak lain. Lian Nio berhasil menyelamatkan diri.
Namun, apa pun bentuk cinta itu memang mampu memberikan kekuatan gila-gilaan, sulit membayangkan betapa perihnya hati seorang Lian Nio ketika harus mengalami peristiwa tersebut. Bukan hanya ayahnya yang menyerang dengan sadis, tapi juga ibu dan kerabat yang lain. Berdasar interviu yang saya lakukan dengan si pengarang, dalam pengungkapan penggalan kisah itu, masalah berat yang harus dia hadapi adalah hadangan dari kerabat yang tidak setuju jika peristiwa tersebut dinovelkan.
Menurut pihak yang tidak sependapat, itu sama saja dengan mengumbar aib keluarga. Pada poin tersebut, sungguh salut harus diacungkan kepada pengusaha realestat yang kukuh pendirian itu, yang tetap merasa perlu menyajikan kisah tersebut apa adanya. Untuk beberapa penggalan kisah yang menyangkut pihak lain dan mengingat getirnya konflik yang harus dialami, dengan bijak si pengarang mengganti beberapa nama tokoh dengan nama samaran.
Ketiga, kisah dalam novel itu memiliki sengatan masalah yang tinggi karena benturan konflik yang kontras. Suwandono mengumbar banyak sekali adegan yang menyentuh, tetapi jauh dari cengeng. Saya sependapat dengan Mas Slamet Rahardjo Djarot (sutradara film) yang memberikan sumbangan kata pengantar sangat menarik dalam buku itu. Peristiwa demi peristiwa disuguhkan apa adanya, tak berjarak, seolah pembaca di tengah-tengah permasalahan. Tautan antarkisah dalam novel tersebut menghadirkan rasa penasaran karena masalahnya sangat mendebarkan, menyedihkan, dan membahagiakan. Selain itu, pengungkapan suasana serta percakapan para tokohnya terhindar dari kesan menggurui.
Buku tersebut tidak hanya bercerita tentang jalinan asmara gadis Lian Nio dan pemuda Siswoto, tapi juga bertutur tentang yang akan dialami anak-anak Kwee Kiat Bing lainnya. Pengarang menggiring kejadian-kejadian itu sebagai suatu klimaks. Bahkan, disinggung pula masalah kutukan yang dialami keluarga besar Kwee Kiat Bing. Disebut kutukan karena pada akhirnya tidak seorang pun anak kandung Kwee Kiat Bing yang menikah dengan sesama Tionghoa. Padahal, upaya Kwee Kiat Bing untuk memberikan perlawanan dengan mengatasnamakan menjaga kehormatan keluarga sangat keras. Namun, pada akhirnya perlawanan itu sia-sia.
Keempat, menurut saya, buku tersebut akan mampu memberikan penyegaran kepada pembaca. Pembaca perempuan lajang akan bisa mengambil inspirasi bagaimana seharusnya menentukan pilihan hidup. Seperti apa cinta sejati itu? Bagaimana wujud kesetiaan? Selain itu, pembaca laki-laki lajang juga dapat menarik suatu kesimpulan, tidak ada yang tidak mungkin jika menyangkut masalah cinta. Tidak ada tembok pemisah antarras, tidak ada jurang antara si kaya dan si miskin, si cantik dan si jelek.
Sementara itu, para orang tua yang memiliki anak usia remaja bisa mengambil tambahan pemahaman bahwa manusia mempunyai derajat yang sama. Bagaimana menyikapi perbedaan agama dan bagaimana pula cara menghadapi suatu pilihan yang diambil anak jika tak sejalan dengan keinginan orang tua? Boleh dikata, buku itu menyajikan menu yang lengkap, unsur edukasi, filosofi hidup, roman yang menyentuh, perjuangan hidup, hingga humor segar. Semua itu dirangkai menjadi suatu kisah dalam buku setebal 512 halaman tersebut.
Tak berlebihan kiranya Slamet Rahardjo Djarot menganggap kisah tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk dilayarputihkan karena struktur dan pengadeganan ceritanya disusun mendekati teknik editing dalam asas sinematografi.
Bahkan, menurut saya, buku itu termasuk more than just a novel.
Tentu saja tak ada gading yang tak bisa retak. Misalnya, dalam adat dan hukum Islam, seseorang yang berbeda keyakinan (agama) jika ingin menikah harus mengucapkan dua kalimat syahadat lebih dulu. Dalam buku tersebut, tak dijelaskan apakah Lian Nio sebelum menikah sudah masuk Islam atau belum. Di situ, tiba-tiba diceritakan dua sejoli tersebut langsung menikah di rumah seorang tokoh kampung. Itu berbeda ketika pengarang mengisahkan adik Lian Nio, Eng Wan, yang menikah dengan Umi, orang Jawa muslimat. Sebelum menikah, Eng Wan menyatakan masuk Islam. Bahkan, dia harus menjalani khitan terlebih dahulu sebelum berhubungan suami istri.
Terlepas dari kekurangan itu, sekali lagi, novel Lian Nio mampu mendobrak tradisi nenek moyang sekaligus menginspirasi warga keturunan yang ingin membaur dengan warga pribumi. Apalagi, bahan-bahan penulisannya diambil dari kisah nyata yang dialami pengarang. Selamat membaca. (*)
Shodiq Syarief, wartawan Jawa Pos, tinggal di Jember
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 November 2009
No comments:
Post a Comment