DALAM keterangannya, Ken Zuraida, istri almarhum teaterawan Rendra mengatakan, lakon teater "Bib Bob" yang digelar Bengkel Teater Rendra di Toko You, 8 November 2009, merupakan garapan Rendra versi 2000.
Garapan tersebut secara esensial tidak jauh berbeda dengan garapan versi tahun 1968. Waktu itu, pertunjukan tersebut untuk digelar di Yogyakarta, Jakarta, dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Hasilnya cukup menggemparkan, sampai-sampai penyair Goenawan Mohamad dalam esainya menyebutkan bahwa pertunjukan teater tersebut adalah teater mini kata.
Goenawan Mohamad tidak salah bila ia menyebut pertunjukan teater tersebut adalah teater mini kata. Hampir 99 persen dialog antara tokoh Bib Bob (Daryanto Bended) dan Zzzzzzz (Usman Agus) hanya mengucap kata bib bob dan zzzz yang diucap oleh kedua tokoh itu secara bergantian.
Kadang-kadang tokoh Zzzzzz mengucap juga patahan kata berbunyi bulan, monalisa, panser, kpk, dan beberapa patah kata lainnya, yang disambut dengan jawaban ya yang mulia dari mulut empat tokoh lainnya tanpa nama secara serempak (koor), yang dimainkan oleh Maryam Supraba, Deni Setiawan, Khiva Rayanka, dan Tatang Rusmawan.
Tidak salah bila pada zamannya pertunjukan teater garapan penyair Rendra ini cukup menggemparkan. Ini terjadi bukan hanya disebabkan minimnya kata-kata yang diucapkan para tokohnya, akan tetapi juga disebabkan daya tahan para tokohnya dalam olah tubuh, yang setiap geraknya mengisyaratkan atau mencitrakan dialog-dialog tertentu, baik dalam konteks kelembutan, persaudaraan, hingga kekerasan tanpa batas.
Kuasa bahasa yang diucap oleh tokoh Bib Bob dan Zzzzzz pada satu sisi memang mencerminkan kekuasaan tidak hanya haus kekayaan, tetapi juga darah. Pada sisi semacam ini saya bisa mengerti dan memahami sekaligus akan apa yang dikatakan oleh Fuad Hasan almarhum, bahwa Rendra dengan "Bib Bob"-nya itu, tidak hanya mengungkap terjadinya dehumanisasi dalam masyarakat modern, akan tetapi juga mengungkap soal hilangnya hak asasi manusia (HAM) yang disebabkan oleh tindak represif para penguasa dalam pengertian seluas-luasnya.
Rendra sendiri, ketika masih hidup, dalam percakapannya dengan penulis, baik di Leiden maupun di Bengkel Teater Rendra di Cipayung Depok, berkali-kali mengatakan apa yang dikreasinya itu pada satu sisi diinspirasi oleh seni tradisi, dalam hal ini antara lain Tari Kecak Bali, yang tanpa dialog sanggup mengomunikasikan berbagai makna spiritual.
Dari fakta dan data semacam itu, yang dipadukan dengan pengetahuannya yang luas tentang teater yang didapatnya di Amerika Serikat, Rendra mencoba mengolah atmosfer teater dengan hanya mengandalkan kekuatan olah tubuh. Hasilnya, apa yang dikreasi Rendra itu – tidak hanya menggemparkan jagat teater di Indonesia, tetapi juga di dunia. Rendra dinilai telah menemukan gaya ucap baru dalam teater.
Berkait dengan itu, perhatian Rendra dalam mempertimbangkan tradisi sebagai titik pijak dalam berproses kreatif, sudah jauh hari dilakukannya. Demikian juga dengan kepekaannya terhadap masalah sosial-politik, tidak hanya ditunjukkan lewat pementasan teater "Bib Bob" tetapi juga ditunjukkan lewat kumpulan puisinya yang monumental, yang diberi judul "Blues Untuk Bonnie."
Tampak dari kedua karyanya yang monumental ini, dalam hal ini "Bib Bob" dan "Blues Untuk Bonnie", menunjukkan daya kreatif Rendra memberikan sesuatu yang baru, bagi dunia kesenian kita yang dinilainya mandek pada saat itu.
Konsepnya dalam berkesenian, Rendra sendiri pernah mengatakan kepada saya, pokok soal dalam berkarya seni pada akhirnya bukan melulu memikirkan kebaruan, tetapi juga soal kedalaman yang bahan-bahannya bisa saja diolah dari apa yang sudah tersedia yang dibentuk kembali dengan gaya ucap yang baru. Inti dari semua itu adalah bagaimana memadukan isi hati dan pikiran secara tepat. Bertitik tolak dari buah pikirannya yang semacam itu, tampak jelas bahwa garapan "Bib Bob" mengolah hal yang demikian.
Kritik sosial yang disampaikan Rendra lewat tokoh Bib Bob dan Zzzz menunjukkan pertarungan kekuasaan pada satu sisi dan pada sisi yang lain menunjukkan tentang terjadinya pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan, yang dilakukan dengan cara penyeragaman pikiran dan daya intelektual yang secara represif dijalankan penguasa, siapa pun ia dalam konteks apa pun, dalam pengertian seluas-luasnya.
"Bib Bob" sebagai pertunjukan teater yang dibilang Goenawan Mohamad sebagai teater mini kata itu, menjadi menarik untuk diapresiasi antara lain terletak pada kemampuan para aktornya dalam mengolah tubuh dan ruang permainan, yang tidak hanya dipentaskan dipanggung, bisa dipentaskan di mana saja. Ini artinya teater Rendra yang demikian itu sangat plastis terhadap ruang. Bagian-bagian dari apa yang terdapat dalam "Bib Bob" ini, pernah saya lihat juga dalam pertunjukan lainnya berjudul "Selamatan Anak Cucu Sulaeman".
Rendra dalam menggarap "Bib Bob" memang banyak versi. Apa yang dipentaskan hari ini, adalah karya yang disutradarainya pada 2000 lalu, yang pernah dimainkan sebelumnya di Korea. Lakon ini sangat multitafsir, banyak memberikan berbagai kemungkinan kepada para aktornya untuk mengolah tubuhnya dengan baik. Dalam lakon ini, bahasa tubuh sangat diandalkan sebagai media berkomunikasi, aktor dengan aktor, dan aktor dengan publik.
Bagi orang yang belajar teater atau sejarah teater, dengan dipentaskannya "Bib Bob" oleh Bengkel Teater Rendra di Bandung, merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Apa sebab? Selama ini di bangku-bangku kuliah, lakon "Bib Bob" hanya ramai dibicarakan sebagai wacana, dan kita hanya mengira-ngira bentuk pertunjukan tersebut dari teks-teks yang ditulis orang. Dengan melihat kenyataan semacam itu bisa saya mengerti bila pada zamannya "Bib Bob" dianggap sebagai sesuatu yang baru, di mana pertunjukan teater tidak harus sepenuhnya bertumpu pada teks yang dilisankan dan dimainkan di atas pentas.
Mendiang Suyatna Anirun pernah pula berkata kepada saya, bahwa Rendra dan "Bib Bob" adalah sebuah fenomena baru di dalam teater Indonesia modern, meski dalam pertunjukan teater lainnya bertumpu pula pada teks teater yang dilisankan dan dimainkan di atas pentas. "Fenomena Rendra dalam teater bisa juga kita lihat pada trilogi ’Perjuangan Suku Naga’," ujar Suyatna Anirun.
Jika ditarik benang merah antara "Bib Bob" dan "Perjuangan Suku Naga" itu antara lain terletak pada daya kritisnya terhadap perubahan sosial atas derasnya arus modernisasi yang merusak kehidupan masyarakat di desa-desa.
Dalam konteks ini, kuasa bahasa yang represif kembali bicara tidak hanya dalam tataran politik, tetapi juga dalam tataran ekonomi yang tidak memihak rakyat. Pertunjukan teater dengan demikian di mata Rendra tidak semata-mata difungsikan sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai alat perjuangan. Sebab, Aku mendengar suara/ Jerit hewan terluka/ Ada orang memanah rembulan/ Anak burung jatuh dari sarangnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Kesaksian harus diberikan// dan perjuangan adalah pelaksanan kata-kata// demikian Rendra telah bicara kepada kita dengan bahasa-bahasa sastra, yang penuh metafora.
Berkait dengan itu, lewat "Bib Bob" kita bisa melihat bahwa perkembangan dan pertumbuhan teater modern Indonesia dari generasi ke generasinya senantiasa menampilkan hal yang baru, dengan atau tanpa menggali nilai-nilai tradisi. Sejauh ini, di Indonesia, apa yang disebut nilai-nilai tradisi itu tidak hanya dirujuk oleh Rendra, tetapi juga oleh Arifin C. Noer, Suyatna Anirun, Putu Wijaya, dan sejumlah teaterawan lainnya.
Paling tidak, begitulah teater tumbuh dan berkembang di Indonesia dengan berbagai variasinya yang selalu menggoda untuk diapresiasi. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 15 November 2009
No comments:
Post a Comment