MENGUATNYA era teknologi informasi mendorong bertumbuhnya sastra di dunia maya. Berbagai situs dan blog pun bermunculan. Dari situs yang sangat ilmiah, populer, sampai ke situs yang sangat pribadi. Dari pembahasan ilmiah sastra, isu-isu, atau sekadar saling lempar tanggapan, semuanya menjadi "napas" baru gerak sastra di luar penerbitan buku, koran, ataupun stensilan.
Pada situasi ini, pengarang, kritikus sastra, maupun penikmat sastra bergumul dalam satu dunia yang sama: karya sastra. Bila pada era penerbitan buku, koran, ataupun stensilan, ketiga manusia yang terlibat ini masih sangat berjarak, berbanding terbalik dengan sastra di dunia maya. Tak ada lagi batas pemisah antara pengarang, kritikus, maupun penikmat sastra.
Siapa pun bisa menjadi apa pun.
Seorang penikmat mungkin tiba-tiba menjadi seorang kritikus yang melemparkan ribuan kata untuk pendapat yang dikemukakannya. Sebaliknya, bukan tidak mungkin, seorang kritikus hebat sekalipun akhirnya membaca tulisan-tulisan sekadar "buang ingus" yang masuk dalam situs sastra.
Ibarat pisau bermata ganda, kemajuan teknologi informasi ini berimbas pula pada penciptaan dua ruang karya dalam sastra dunia maya. Hal ini dapat diamati dari bermunculannya ruang omong-omong sastra dan ruang penciptaan satra. Yang kualitas keduanya ditentukan oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Mau menjadi karya "sastra beneran" atau sekadar "nyampah kata" di dunia maya.
Sapardi Djoko Damono menyebut semua fenomena tersebut sebagai hibrid satra dunia maya. Sebuah keadaan di mana telah lahir karya sastra dan ruang penciptaan sastra yang merupakan perpaduan ragam pemikiran manusia dari berbagai manusia.
Uniknya, walaupun ruang pemikiran itu (mungkin) sangat diskursif, tetapi belum tentu orang-orang yang terlibat dalam wacana diskusi itu mengenal secara benar siapa yang terlibat pembicaraan satu sama lain. Hal sama bisa berlaku dalam ruang penciptaan karya, satu puisi, satu cerpen bisa saja dibuat oleh dua sampai sepuluh orang yang terlibat tetapi satu sama lain tidak saling mengenal.
Proses ini pada akhirnya melahirkan karya sastra yang anonim. Siapa menulis apa menjadi tidak penting lagi tetapi puisi atau cerpen sebagai karya sastra (baru) itulah yang lebih penting untuk dilahirkan.
Secara sosiologi sastra, kenyataan ini notabene identik dengan sastra lisan yang tak berpemilik atau anonim (tidak diketahui siapa lagi pengarangnya) dan menjadi milik bersama. Sebuah keadaan yang justru tidak berbeda dengan situasi pada saat berkembangnya karya sastra lisan sebelum hadirnya karya sastra tulis (cetak).
Namun, hal mendasar yang membedakannya, karya sastra bersama dari dunia maya ini, ternyata dituliskan (lagi) dalam bentuk buku. Bahkan fenomena ini sepertinya menjadi semacam upaya "pengakuan" atas karya yang sebetulnya sudah banyak pembacanya di ruang maya.
Sapardi Djoko Damono menilainya sebagai kemunduran kembali sastra ruang maya. Akan tetapi persoalannya menjadi sangat beralasan ketika payung hukum Undang-Undang Teknologi Informasi masih belum melindungi karya-karya yang sudah lahir di dunia ruang maya.
**
ADALAH Elle Eleanor novel karya Zen Zanzad yang sangat mewakili dari semua kenyataan sastra hibrid ruang maya tersebut. Novel yang ditulis dua pengarang yang sangat berbeda latar belakang sosial dan pemikirannya ini, telah hadir menjadi "penyuara" sastra hibrid ruang maya.
Sebagai novel, Elle Eleanor merupakan karya sastra yang penuh kecamuk. Bukan saja dari cerita, pesan-pesan yang ingin disampaikan, tetapi juga dari proses penciptaannya.
Dua pengarang Ferry Herlambang Zanzad (Zad) yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur, dan Zeventina Octaviani Bouwmeester (Zev) yang tinggal di Jerman, harus "menyatukan" pemikiran dan kegelisahannya dalam Elle Eleanor.
Tak terperikan apa saja yang terjadi sejak novel ini ada dalam ruang benak mereka, berproses, sampai akhirnya menjadi sebuah katarsis sebuah fenomena manusia di era ruang maya.
"Saya sering bertengkar hebat dengan Zev, kalau ternyata tiba-tiba ia ingin mengubah semua yang sudah kita tuliskan," ujar Zad tentang perjalanan penciptaan novel ini. Saat novel ini diluncurkan di Kafe Kongkow, belum lama ini di Bandung.
Betapa tidak, Zad tinggal di Surabaya dengan segala kecamuk unggah ungguh tradisi yang mulai tergerus kemodernan, sementara Zev tinggal di Jerman dengan segala bentuk potret kehidupan barat yang sudah sangat bebas. "Akan tetapi justru di `Elle Eleanor` inilah aku dapat berbicara dengan Zad yang awalnya hanya pertemanan di ruang maya," ujar Zev menimpali.
Dua kegelisahan manusia di tengah arus zamannya ini, dibenarkan Tandi Skober. Menurut dia, saat membincangkan novel ini, Elle Eleanor memang bertutur tentang kegilaan perempuan yang sangat paradoks antara pola pikir barat Jawa. "Dua pemikiran dalam satu diri, satu sisi gelap Jawa dan sisi agak terang di sisi barat," ujarnya.
Sebuah teror psikomania seperti manis padahal tidak. Membaca Elle Eleanor menurut dia, seperti sedang membaca film lama dalam bahasa kekinian.
"Kita akan kaget, sebuah album lama yang buram tentang seks psikomatis antara tradisi yang rigid penuh ritual dan pengabdian dengan gaya hidup barat yang bebas disampaikan dengan bahasa berdebu, kovensional, dan ruang waktu yang sangat abu-abu," ujarnya.
Kendati begitu, Tandi tetap membebaskan bahwa ruang penafsiran karya sastra sangat diserahkan kepada para penafsirnya. "Yang penting kita belajar arif dan moral dari novel ini, bukan dari sinetron," imbuhnya.
Elle Eleanor disebut-sebut juga sebagai nover thriller Indonesia yang berhasil. Hal itu disampaikan penulis novel Zara Zettira dalam komentarnya di halaman depan buku ini. "Detail suasana dan cara bertutur novel ini membuat saya yang tidak pernah menyukai cerita thriller menjadi ingin membacanya hingga selesai," ujarnya.
Hampir bersepakat dengan Tandi, penulis masalah-masalah psikologi dan seks, Mariska Lubis menilai, Elle Eleanor bukan semata-mata novel thriller yang menegangkan, tetapi juga novel yang bertutur tentang seks yang jujur dan menantang tetapi tidak telanjang (vulgar). "Intinya, segala kecamuk manusia masa kini ada dalam Elle Eleanor. Ada persoalan-persoalan seks, psikologis, schizofrenia, tradisi, thriller, dan banyak lagi," ujarnya.
**
ELLE Eleanor dikemas dalam tiga bagian, adegan penembakan yang tercantum dalam prolog, bagian kedua flashback mengapa terjadi bab sebelumnya, dan bagian ketiganya ending. Novel setebal 400 halaman ini, desain sampulnya berkesan kuno (klasik) dengan dominasi warna coklat, memajang potret perempuan bergaya Eropa.
Tampilan fisik ini, menurut penulis juga pengamat sastra Hermawan Aksan, cukup merebut perhatian. Sebab masih banyak orang yang menyukai hal-hal berkesan klasik.
Namun, kata Hermawan, ada beberapa kelemahan dari novel ini. Final editing masih belum "bersih" dari ejaan penulisan bahasa yang baik dan benar. Ini dapat dilihat dari pemakaian kata "di dan ke" yang masih disatukan. Penggunaan tanda baca juga demikian.
Yang lebih esensial lagi, usia para tokoh tidak diketahui. Kalaupun disebutkan ada usia yang tumpang tindih. "Mungkin karena pengarang tidak membantu pembaca dalam menginformasikan pertumbuhan usia para tokohnya," demikian kata Hermawan.
Hal sama terjadi dalam penggambaran waktu dan tempat. Ada kalanya dituturkan sedang dalam keadaan malam yang gulita, tetapi kemudian masih dalam tempo yang sama digambarkan dalam keadaan siang. Atau sedang di balkon tiba-tiba ada di pantai, dan seterusnya. "Ini mengaburkan situasi yang sesungguhnya," ujar Hermawan.
Kendati begitu, Hermawan menilai, lokasi cerita memberi gambaran misterius, deskriptif lengkap, pembaca akan menyangka semua benar-benar ada, dengan latar belakang sejarah Belanda era 1930- an yang jarang ditulis. "Ceritanya sangat filmis walau tetap tidak kehilangan ritme. Ending-nya khas banget cerita Hollywood," ujarnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan itu, Hermawan menyimpulan, Elle Eleanor sangat menarik karena ditulis dua penulis, yang di dalamnya sama sekali tidak terasa lagi siapa menulis bagian mana.
Sebuah karya yang notabene menjadi semacam semangat baru penciptaan karya sastra bersama (baca: sastra hibrid) yang lahir dari ruang maya. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009
No comments:
Post a Comment