BAGAIMANA masyarakat Indramayu, Jawa Barat, mendefinisikan identitas budayanya sendiri? ”Kami ini tidak Sunda, juga bukan Jawa. Kami juga bukan Cirebon. Sebut saja budaya kami ini sebagai Dermayon,” kata pengamat budaya dan mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI), Supali Kasim.
Wangi Indriya, seorang penari, sedang melatih anak menari topeng di Sanggar Seni Mulya Bhakti di Tambi, Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat. (KOMPAS/ ILHAM KHOIRI)
Apa itu Dermayon? Supali menjelaskan, itu istilah yang lebih pas untuk menggambarkan budaya khas masyarakat pesisir utara Jawa yang diyakini berasal dari laskar Kerajaan Mataram pimpinan Raden Arya Wira Lodra. Indramayu memang bukan Sunda dan jauh dari pusat Jawa. Mereka juga tidak suka disebut sebagai bagian dari budaya Cirebon.
”Kami lebih senang menyebut budaya kami sebagai budaya pesisir khas rakyat jelata yang terbuka, egaliter, dan agak keras,” kata dia.
Ciri khas ini juga mengental dalam beragam ekspresi seni dan bahasa lokal yang jauh dari sentuhan keraton. Tari topeng, misalnya, mencerminkan karakter semacam itu. Energi, gerak, dan bentuk topeng dalam tari Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana juga menggambarkan sifat bebas, tanpa kelas, dan dimanis.
Keunikan inilah yang mendorong tari topeng memperoleh apresiasi nasional dan internasional. Penari Mimi Rasinah dan Wangi Indriya pun kerap diundang pentas di mancanegara. ”Khalayak seni internasional menyukai perubahan karakter dalam lima jenis tari topeng,” kata Wangi.
Keunikan dan ragam seni tradisi itu memberikan warna lain di tengah citra Indramayu yang penuh ironi. Daerah pesisir ini sebenarnya sangat kaya dengan tanah subur dan luas sehingga jadi salah satu lumbung padi di Pulau Jawa. Lautnya menyimpan potensi perikanan. Di dalam tanah, tersimpan kandungan minyak bumi berkualitas tinggi yang menjadi salah satu andalan ekspor migas negara.
Namun, di balik kekayaan itu, rakyat Indramayu yang jumlahnya 1.795.372 jiwa (BPS, 2007) itu didera kemiskinan akut. Tahun 2008 tercatat sedikitnya 169.720 keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu Apas Fahmi memperkirakan hingga 40 persen jumlah penduduk Indramayu saat ini masih masuk kategori miskin (Kompas, 2/11).
Angka buta huruf di sini tercatat paling tinggi di Jabar. Sebanyak 274.941 orang atau sekitar 18 persen penduduk berusia 10 tahun ke atas belum mampu membaca dan menulis. Lebih dari separuh penduduk buta huruf di kabupaten itu perempuan.
Karena kemiskinan dan rendahnya pendidikan, tak sedikit penduduk Indramayu nekat bertaruh nasib dengan menjadi tenaga kerja rendahan di luar negeri, kadang-kadang dengan cara ilegal. Tak jarang, mereka kembali ke kampung halaman dalam kondisi cacat atau bahkan tewas teraniaya di negeri orang. Apa mau dikata, bagi orang kebanyakan, Indramayu lebih dikenal sebagai daerah penghasil preman, penjahat, dan perempuan penghibur. (IAM/DHF)
Sumber: Kompas, Minggu, 29 November 2009
No comments:
Post a Comment