Tuesday, November 10, 2009

Kehilangan Indonesia, Timbul Bencana

-- Yudi Latif

INDONESIA adalah negeri para pejuang, bukannya negeri para begundal. Itulah sebabnya setiap tahun kita memperingati Hari Pahlawan. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Berjuang, ”berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan yang dalam tentang arti keadilan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.

Itulah sebabnya, dalam Pancasila, kata ”keadilan” ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan.

Dengan itu, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita alasan (landasan) dan tujuan perjuangan kebangsaan. Sedemikian terangnya alasan, isi, dan haluan perjuangan keindonesiaan itu sehingga seorang ahli sejarah, Rutger, menyatakan, ”Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam konstitusinya pertama-tama dan paling tegas memberikan latar psikologis yang sesungguhnya dari perjuangan revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, Pancasila, dilukiskannya alasan dan tujuan secara lebih mendalam dari revolusi itu.”

Jika Indonesia ada karena perjuangan dan komitmen luhur menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring dengan pemudaran tekad kejuangan dan komitmen keadilan.

Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak. Kemiskinan memang membuat bangsa ini tidak memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya.

Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat para abdi negara lebih rela menjadi pelayan cukong ketimbang pelayan rakyat.

”Aib terbesar,” kata Juvenalis, ”ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Pintu masuk korupsi

Kehilangan harga diri menjadi pintu masuk bagi keberanian korupsi. Adapun korupsi dari pejabat tinggi merupakan sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan. Dalam peribahasa Latin dikatakan, corruptio optima pessima, pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling buruk.

Pembusukan moral negara terjadi ketika lembaga kepolisian dan kejaksaan yang mestinya menegakkan hukum justru menjadi manipulator hukum; lembaga parlemen yang mestinya mengontrol pemerintah justru menjadi juru stempelnya; birokrasi yang mestinya melayani rakyat justru menjadi sarang para penyamun dan makelar proyek; kepala negara yang mestinya menegakkan ”kebajikan dan keadilan tertinggi” (summon bonum) di atas formalitas hukum justru mengalah pada kerangkeng prosedural dalam kerangka keseimbangan kekuasaan; dan akan lebih gawat lagi jika pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi pun menggunakan institusinya untuk tujuan korupsi.

Pembusukan moral negara ini akan sempurna bilamana para pejabat dan institusi kenegaraan menyalahgunakan fungsinya dalam rangka melayani kepentingan para sindikat partikelir.

Sekitar setengah abad yang lalu, Bung Hatta mewanti-wanti agar negara ini tidak jatuh ke tangan sindikalisme yang akan membuat Republikanisme ini tersungkur di bawah kendali mafioso. Malangnya, drama demi drama yang dipertontonkan para pejabat publik dalam kaitan dengan masalah korupsi akhir-akhir ini mendekati kekhawatiran Bapak Bangsa itu bahwa Republik ini terjerembab oleh ”sindikalisme buaya yahud”.

Situasi kegentingan ini harus menjadi panggilan sejarah baru pada Hari Pahlawan. Bahwa kita semua terancam ”kehilangan Indonesia”. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Perdana Menteri Belanda Hendrik Colijn sekitar tahun 1938.

Ketika menanggapi petisi Soetardjo, anggota parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, ”Indie verloren rampspoed geboren (Kehilangan Indonesia, timbul bencana).”

Dengan tekad kejuangan dan komitmen keadilan, Indonesia pun merdeka, yang menimbulkan kehilangan dan bencana besar bagi Belanda. Namun, dengan redupnya daya juang dan komitmen keadilan yang menjadi roh keindonesiaan, kini giliran bangsa sendiri terancam kehilangan Indonesia.

Kehilangan Indonesia akan merupakan suatu bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Indonesia memanggil, ”Save our nation!” Kepahlawanan tampak ketika dalam dada yang kecil ada keberanian besar. Kepengecutan juga tampak ketika dalam dada yang besar tersembul keberanian kecil. Berani karena benar, takut karena salah. Itulah jiwa kepahlawanan yang harus digelorakan kembali.

* Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Sumber: Kompas, Selasa, 10 November 2009

No comments: