Jakarta, Kompas - Kritikus Mangasa Sotarduga Hutagalung yang dikenal sebagai pentolan Aliran Rawamangun dalam jagat kritik sastra Indonesia meninggal dunia hari Senin (23/11) dalam usia 71 tahun setelah beberapa bulan menderita penyakit ginjal.
Lama menghilang dari percakapan puisi mutakhir Indonesia, pensiunan dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu dikenal sebagai kritikus andal yang pertama dari kalangan akademisi. Namanya mencuat sejak pertengahan 1960-an hingga awal 1970-an oleh ulasan-ulasan sastranya yang diterbitkan dalam bentuk buku serta artikel di majalah dan koran. Sebelum kepada MS Hutagalung yang memperkenalkan metode struktural dalam teori kritik sastra, predikat kritikus sastra ditujukan kepada HB Jassin.
Jenazah disemayamkan di kediaman keluarga di Jalan Pemuda Asli, Rawamangun, Jakarta Timur. Menurut keterangan kerabatnya, Henry Sinaga, pemakaman akan diselenggarakan Rabu sore ini. Sebelumnya, pada pagi hari akan diadakan acara adat saur matua di rumah duka, dan siang hari jenazah akan dibawa ke Gereja GKPI, Jalan Belanak, Rawamangun, untuk kebaktian pemberangkatan ke tempat peristirahatan sementara.
MS Hutagalung pernah bikin heboh kalangan sastrawan setelah ceramahnya di Fakultas Sastra UI (waktu itu berlokasi di bilangan Rawamangun) pada 24 November 1973. Waktu itu ia mengumumkan bahwa penyair Indonesia terkemuka waktu itu adalah Subagio Sastrowardoyo, baru menyusul kemudian Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan WS Rendra. Pengumuman ini bikin naik pitam penyanjung WS Rendra di satu pihak dan pemuja Sutardji Calzoum Bachri di pihak lain. Digelarlah acara ”Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” di Bandung, 8 September 1974, yang antara lain diprakarsai Slamet Kirnanto.
Sebagaimana tabiatnya yang tenang adem ayem, MS Hutagalung saat itu menanggapi kepanasan hati sastrawan di seberangnya dengan, ”Saya sendiri merasa gembira bila banyak pengarang yang kurang senang pada kritik saya, sebab hal ini menunjukkan bahwa kritik-kritik yang saya buat sebenarnya masih cukup kritis sebagai persyaratan yang harus dalam kritik” (Pengadilan Puisi, suntingan Pamusuk Eneste, 1986).
Sesungguhnya MS Hutagalung tidak pernah bercerai dengan sastra. Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini dia giat mendorong fragmen teater, pembacaan puisi, dan penulisan artikel di gerejanya, GKPI Rawamangun, tempat ia menjadi penatua dan dua periode sebagai guru jemaat. Bahkan, dalam satu tahun terakhir ini ia rutin menerbitkan puisi-puisi barunya yang lebih transendental di Buletin GKPI Rawamangun, media mingguan di jemaatnya.
MS Hutagalung kelahiran Tarutung, 8 Desember 1937, itu meninggalkan seorang istri, Aksamery br Lumbantobing, tiga anak, empat menantu, dan dua cucu. Putra keduanya, Gumilang Hutagalung, meninggal pada 26 Desember 2004. Karyanya antara lain Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963), Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967), Hari Penentuan (1967), Memahami dan Menikmati Puisi (1971), Telaah Puisi (1973), dan Kritik Atas Kritik Atas Kritik (1975).(SAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 25 November 2009
1 comment:
turut berduka cita, pak hutagalung. semoga diterima di sisi-Nya. dan semoga makin banyak orang yang bersedia membaca "telaah puisi indonesia baru", agar mereka tidak asal buka mulkut ketika membicarakan puisi.
Post a Comment