Sunday, November 15, 2009

Demi Suku Naga

HARI ketiga pertunjukan, (13/11). Sejak siang udara mendung dan hujan tak henti-henti turun. Di Vila Arumba yang disediakan oleh Saung Angklung Udjo (SAU), sejumlah seniman berkumpul di teras. Irwan Guntari, Herry Dim, Yusep Muldiyana, dan sejumlah pendukung "Kisah Perjuangan Suku Naga" lainnya. Ada juga penyair Godi Suwarna yang meski telah mengikuti proses latihan beberapa kali urung bermain karena ritme latihan dan jarak Ciamis-Bandung. Di bagian dalam, seorang pemain terbaring sementara temannya memijati. Di bagian dalam dekat kamar mandi, Adinda Lutvianti dan Irena Arini dan sejumlah aktor muda hangat berbincang tentang pertunjukan di malam kedua.

Lalu kopi hangat dalam gelas-gelas plastik. Ayi Kurnia Iskandar datang, mengeluhkan tubuhnya yang kurang sehat, tetapi tetap siap tampil. Seorang staf produksi memijati pundaknya. Tak lama datang seorang staf Saung Angklung Udjo membawa kertas faks dari salah satu SMA, ajuan untuk bisa menonton pertunjukan. Karena tak bisa memastikan, Herry Dim menelefon panitia yang mengurusi reservasi penonton, dan ternyata masih bisa.

Meski pertunjukan ini tidak dipungut bayaran, tetapi penonton diwajibkan memiliki tiket yang bisa didapat di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Menurut Heliana Sinaga yang mengoordinasi pemesanan tiket, sampai hari terakhir (15/11) seluruh tiket sudah habis. Lepas dari soal gratis atau tidak, sampai malam ketiga penonton "Kisah Perjuangan Suku Naga" mencatat jumlah yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah teater di Bandung, 1.091 orang.

Mungkin benar jumlah itu bisa tercapai karena menonton secara gratis. Akan tetapi, dengan cara pemesanan tiket terlebih dahulu, hal ini bisa dijadikan ukuran antusiasme penonton untuk menyaksikan pertunjukan ini. Lagi pula, bukankah umumnya pertunjukan teater di Bandung ini memang selalu gratis?

Sore selepas magrib, sambil bergurau puluhan pemain bersiap, dan mereka umumnya adalah aktor-aktor muda. Sejak 1 November 2009 mereka total berlatih di Saung Angklung Udjo, yang juga menyediakan Vila Arumba untuk mereka menginap. Setiap sore di teras vila, bersama sejumlah aktor senior mereka berbaur berkumpul sambil membenahi properti. Tak ada jarak di antara mereka, kecuali kehangatan dan kebersamaan. Selalu saja ada bahan untuk memancing gelak tawa, dari mulai mencandai tubuh Uti yang mungil sampai urusan sandal yang entah dipinjam siapa.

"Sejak tanggal 1 saya di sini. Bersama ABG-ABG yang ngomongnya enggak saya mengerti ini. Bahasanya aneh-aneh!" seloroh Adinda Lutvianti, aktor senior yang telah lima belas tahun meninggalkan pentas teater.

Di ruang make-up pun tak kalah serunya. Para pemain masing-masing membantu temannya sambil bergosip dan bergurau riuh, belum lagi celetukan atau senandung nyanyian mereka yang seenaknya. Sementara di bagian lain, Ine Arini mendandani Adinda Lutvianti, dan Sugiyati Anirun sibuk berbedak sambil melayani pertanyaan-pertanyaan Eriyanti Nurmala Dewi. Di kursi yang lain, Irwan jamal asyik makan, dan Bonnie, aktor paling kecil (8) sedang sibuk didandani bapaknya. Sementara Irwan Guntari duduk bersandar tenang merokok dan memandang ke arah hujan. Herry Dim asyik berbincang sambil sesekali mengubah letak topi pet hitamnya yang penuh dengan bros sehingga mirip topi Pramuka.

**

DEMI mengangkat kisah Suku Naga, sembilan puluh seniman Bandung berkumpul dalam produksi ini. Mereka tak hanya aktor dari berbagai generasi dan kelompok teater, juga penari dan para pemusik. Kebersamaan dalam suatu produksi tak hanya membuat mereka saling berinteraksi di pentas pertunjukan, tetapi juga di luar dalam kesehari-harian selama produksi ini disiapkan sejak September 2009. Sebagian di antara mereka mungkin telah saling mengenal karena satu kelompok teater, meskipun tak sedikit juga yang baru pertama kalinya terlibat dalam produksi bersama semacam ini.

Kebersamaan demi "Suku Naga" tak hanya terasa di antara para pemain, juga di antara orang-orang yang sibuk saling mengontak demi pertunjukan ini. Dari mulai Heliana Sinaga yang sibuk menerima telefon dan SMS dari penonton yang memesan tiket, sampai Herry Dim yang harus menelefon sejumlah orang untuk urusan konsumsi pemain, atau Hanif dan Efron yang tak kalah sibuknya mengoordinasi itu dan ini.

Demikian pula dengan pihak SAU sebagai tuan rumah. Bagi tempat yang selama ini lekat dengan pertunjukan-pertunjukan seni tradisi pariwisata, "Kisah Perjuangan Suku Naga" merupakan pertunjukan teater pertama yang digelar di sana.

"Ya, ini baru pertama bagi kami. Ini adalah bentuk partisipasi dan kebersamaam kami untuk mengenang seniman besar seperti Rendra. Selain itu, ini juga merupakan bagian dari amanat Pak Udjo agar tempat ini bisa menjadi wadah apresiani seni dan budaya," ujar Taufik Udjo selaku Direktur SAU.

Rendra dan "Kisah Perjuangan Suku Naga" sebagai suatu produksi memang bukan hanya soal kolosal atau bukan, atau banyaknya jumlah penonton, melainkan juga menghadirkan satu hal yang akhir-akhir ini terasa amat mahal dalam pergaulan kesenian di Bandung, yakni kebersamaan dan kehangatan yang bukan demi "projek" atau popularitas. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 15 November 2009

No comments: