-- Novel Ali*
AKHIRNYA Presiden Yudhoyono menyampaikan sikap terhadap rekomendasi Tim 8 dalam proses hukum pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit-Chandra. Intinya, kasus itu tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam benak masyarakat, ini berarti Presiden memberikan sinyal agar Polri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan kejaksaan menerbitkan surat keputusan pemberhentian penuntutan (SKPP). Sikap itu mendapat perlawanan. Di lain pihak, sikap untuk menyelesaikan kasus di luar pengadilan—SP3 dan SKKP—merupakan hal wajar.
Kultur komunikasi
Sikap Presiden yang dinilai sebagian warga sebagai tidak tegas itu justru merefleksikan ketegasan Presiden untuk tidak mengintervensi proses penegakan hukum, terutama dalam kasus Bibit-Chandra. Konsisten dengannya, maka dalam konteks pro-kontra masyarakat atas sikap Presiden, disarankan agar para pihak tidak melihat, membaca, atau mendengar pernyataan Presiden secara sepotong-sepotong.
Mengapa? Jauh hari sebelumnya, juga sebagai introduksi pernyataan resminya, berulang kali Presiden menyatakan, sebenarnya lebih suka menyerahkan penyelesaian kasus itu lewat proses hukum. Tetapi, setelah mempertimbangkan aspek sosial di luar hukum—khususnya opini publik—terbuka akses konflik horizontal di masyarakat, kepatutan, pertimbangan kemanfaatan dibanding kemudaratan, akhirnya Presiden memutuskan memilih penyelesaian di luar pengadilan.
Atas sikap Presiden, sebaiknya kita memahami kultur komunikasi Jawa. Presiden adalah warga negara Indonesia yang berasal dari Jawa. Karena itu, amat wajar, Presiden terpengaruh kultur lingkungan sosial terdepan, terutama dalam berkomunikasi dengan seluruh bangsanya.
Dalam kultur komunikasi Jawa, ada kecenderungan untuk tidak mempertentangkan konsep dan empirisme negara hukum klasik dengan negara hukum modern, terutama dalam aksentuasi peran negara dalam kehidupan bernegara, lebih khusus dalam ranah komunikasi.
Studi negara hukum klasik memberikan gambaran betapa komunikasi publik dipengaruhi secara ketat oleh peran negara, sebagai ”penjaga malam”, agar ”rakyatnya bisa tidur nyenyak, dan bermimpi indah”. Kultur komunikasi Jawa memprioritaskan pemberian rasa aman buat (komunikator), dan penerima (komunikan), secara setara dan berimbang kendati kepentingan negara menjadi prioritas utama.
Kultur komunikasi Jawa cenderung membatasi peran komunikan (publik) jika kepentingan negara dibutuhkan. Karena itu, tidak mengherankan jika sikap resmi Presiden mengundang pro-kontra. Yang jelas, niat baiknya adalah tidak melakukan intervensi dalam penegakan hukum karena dinilai akan merugikan negara dan rakyat.
Kebebasan individu dalam konteks kultur komunikasi Jawa bukan ditiadakan. Kebebasan individu dalam kultur komunikasi Jawa diberikan, sebatas kebebasan itu benar-benar mampu digunakan untuk mengekspresikan sebesar-besarnya kepentingan komunitas.
Ruang publik
Kultur komunikasi Jawa Presiden kentara sekali, terutama ketika menyatakan tidak mau, dan tidak boleh, melakukan intervensi proses hukum yang menjadi kewenangan lembaga negara. Presiden sadar, jika melakukan intervensi, posisi negara (presiden sebagai kepala negara), dan pemerintah (presiden selaku pimpinan pemerintahan), menjadi tidak benar.
Di sisi lain, kultur komunikasi Jawa sering memberi apresiasi tinggi terhadap kecenderungan kesamaan kedudukan dan kesejahteraan antarorang yang berkomunikasi. Namun, pada banyak aras komunikasi Jawa lainnya, pengaruh feodalisme dan paternalisme tinggi sekali, mengakibatkan ketidaksetaraan dan tidak seimbangnya peran penyampai dan penerima informasi.
Dengan kata lain, kultur komunikasi Jawa sering memberi peran negara lebih besar dibanding ruang publik. Hanya, keberadaan negara terlampau suprem sehingga rakyat terkooptasi aturan hukum, selain kekuasaan pemerintah cukup dominan.
Salah satu indikator kultur komunikasi Jawa adalah saat peran sumber/komunikator dinilai ”mewakili” kepentingan negara. Imbasnya, posisi masyarakat (komunikan) terabaikan, terutama di pasar bebas informasi. Berdasar kecenderungan itu, wajar jika dalam kultur komunikasi Jawa, atas nama dan demi kepentingan negara, simbol-simbol kepentingan rakyat cenderung dinomorduakan.
Kultur komunikasi Jawa memberi negara peran mengendalikan pasar informasi. Namun, di balik posisi tidak seimbang itu, negara dituntut bukan hanya berperan sebagai penjaga malam buat rakyatnya, tetapi juga bertugas memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini dilandasi paradigma negara berorientasi kesejahteraan rakyat, melekat dalam berbagai simbol kearifan kultur komunikasi Jawa.
Kultur komunasi Jawa cenderung tidak mengakses ajaran negara hukum modern (negara hukum demokrasi), di mana pemerintah dan masyarakat saling membuka diri untuk mengontrol dan dikontrol. Untung, kecenderungan itu tidak tampak di balik pernyataan sikap resmi Presiden terkait kasus yang menghebohkan itu. Salah satu indikatornya, meledaknya pro-kontra publik atas sikap Presiden.
* Novel Ali, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro
Sumber: Kompas, Kamis, 26 November 2009
No comments:
Post a Comment