-- Fahrudin Nasrulloh
DALAM riwayat orang Jawa, bahasa dan sastra Jawa biasa dijadikan medium untuk memperkenalkan ajaran Islam, dalam ruang-ruang yang disebut pesantren. Adapun dalam sastra Islam-Kejawen, anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.
Cerita bisa bermula saat imperium Majapahit dikhatamkan dengan masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak, abad ke-14 M. Demak pun berdiri pada abad ke-16 M. Banyak karya sastra Jawa yang ditulis seputar momen itu. Dua naskah di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda: Het Boek Van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (Primbon Jawa Abad ke-16 M).
Menurut Simuh, naskah yang disebut pertama berisi ”pitutur Sheikh Bari”, ihwal bagaimana mempertahankan ajaran sufisme ortodoks dan menentang setiap bentuk pembangkangan terhadap syariah. Di bagian lain, HM Rasyidi melihat dengan kritis serat-serat macam Gatoloco dan Dharmagandul, adalah kronik-kronik sejarah yang menjadi penanda masa peralihan dari Majapahit yang Hindu ke Demak-Islam.
Jawa Kuno > Islam
Het Boek Van Bonang adalah salah satu contoh karya sastra Jawa-pesantren, di samping karya-karya lainnya.
Dalam gairah kesusastraan Jawa-pesantren inilah, kalangan santri ataupun kiai melakukan semacam revitalisasi atau penulisan ulang warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, dengan antara lain memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.
Pada masa bergairah inilah lahir beberapa karya kapujanggan, semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP Adipati Anom Amengkunegara III. Demikian pula karya R Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M), seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari 31 satu syair dalam gaya macapat.
Pudar pada masa kini
Bersama sejumlah karya, misalnya, Jamus Kalimasada (Riwayat Syekh Jambu Karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, dan Kidung Rumeksa ing Wengi, karya-karya sastra Jawa pesantren di atas merupakan ensiklopedia dan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.
Warisan yang sayangnya tidak mendapat kelanjutannya pada masa kini. Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk ”Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 November 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia.
Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekadar memantulkan yang nostalgia atau catatan peristiwa, bukan sebuah pergulatan keagamaan yang keras dan kental.
Sementara itu, sebenarnya begitu melimpah dan penuh ragamnya persoalan di seputar Islam dan kepesantrenan sejak era modern (akhir abad ke-19) dimulai di negeri ini. Namun, seberapa jauh hal itu digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora, seperti mencoba melakukan itu. Namun, tidak berhasil. Ia menyampaikan sekadar ”pesan”, bukan satu ”wacana”, misalnya, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai.
Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur kepada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu lalu. Hal ini memberi fakta lain, pudarnya sastra Jawa-pesantren ternyata juga diakibatkan oleh ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern. Kembali kepada Gus Dur, persoalan itu disebabkan oleh dua kendala: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada ”taraf terminologis” yang tinggi tingkatannya.
Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholish Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastra dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan.
Seberapa jauh alam keterbukaan yang konon demokratis ini bisa membuat masyarakat kita, khususnya para pengarang dan para kiai yang memegang otoritas pesantren, dapat mengatasi kendala-kendala di atas? Kita masih menunggu waktu yang memprosesnya.
* Fahrudin Nasrulloh, Pengarang dan Editor, Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 November 2009
No comments:
Post a Comment