Wednesday, November 25, 2009

Kehidupan: Membela Orang Kampung Melalui Etnografi

-- Hatib Abdul Kadir*

KOMPAS/ PRIYAMBODO

• Judul: Kampung, Islam and State in Urban Java
• Penulis: Patrick Guinness
• Penerbit: NUS Press
• Cetakan: 2009
• Tebal: xiv + 275 halaman
• ISBN: 978-9971-69-470-8


MENGURAI kehidupan masyarakat kampung tidak dapat dilihat dari satu kacamata yang sempit. Proses perubahan secara keseluruhan, baik dari segi ekonomi keluarga, politik lokal, maupun pola keberagamaan, patut dicermati.

Patrick Guinness, antropolog Australia, telah mencermati kampung di Yogyakarta selama lebih dari 30 tahun. Ia pertama kali datang pada tahun 1970-an. Keteguhannya sebagai antropolog terus berlanjut untuk meneliti sekaligus membela masyarakat Kampung Ledok di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Ia kembali pada akhir tahun 1990-an untuk melihat proses perubahan masyarakat di kampung itu pascaruntuhnya rezim Orde Baru.

Awalnya, kampung di Yogyakarta itu bukanlah sebuah wilayah yang dianggap tidak beradab dan penuh dengan manusia jahat. Ketika pertama kali menyambangi, Kampung Ledok masih dipenuhi oleh kos-kosan. Tidak hanya oleh para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, tetapi juga dari universitas-universitas swasta lainnya.

Meluasnya perkembangan kota ke arah pinggiran utara dan timur menyebabkan generasi kos-kosan mahasiswa berpindah pula ke arah tersebut. Di samping itu, munculnya perumahan dengan berbagai tipe menyebabkan warga Kampung Ledok yang berstatus pegawai negeri memilih untuk meninggalkan kampung. Kampung Ledok pun kosong dari mahasiswa ataupun pegawai negeri.

Pada 1980-1990-an, status Kampung Ledok benar-benar identik dengan dunia gelap. Penduduknya miskin, kasar, buas, berbahaya, tidak berpendidikan, dan tidak beradab. Bahkan, operasi pembersihan penjahat pada masa Orde Baru yang dikenal dengan Penembakan Misterius sering dilakukan di kampung ini.

Perbedaan pandangan

Buku terbaru Guinness ini menarik karena tidak hanya mencerminkan kehidupan kampung di Yogyakarta, tetapi juga mewakili gambaran kehidupan masyarakat kampung di berbagai perkotaan di Indonesia dan dunia. Masyarakat kampung tidak dilihat dari satu kacamata yang sempit, melainkan dicermati melalui proses perubahan secara keseluruhan, baik dari segi ekonomi keluarga, politik lokal, maupun pola keberagamaan. Melalui penulisan sejarah sosial, Guinness tidak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga mengorganisasi isu-isu yang menjadi permasalahan mendasar warga kampung. Dengan harapan, isu tersebut mampu berkontribusi terhadap debat-debat yang lebih luas dalam perkembangan metode ilmu sosial dan juga mengubah kebijakan pemerintah terhadap masyarakat kampung.

Secara keilmuan, buku ini penting mengingat salah satu ”penyakit” ilmu sosial di Indonesia sejak periode Belanda berkutat pada detail riset empiris dan metode penelitian, tetapi menghindari sisi debat teoretis yang lebih luas. Karena itu, di bab pertama ia mencoba mengurai perdebatan teoretis tentang masyarakat kampung.

Di sisi kajian kritik terhadap pemerintah, karya ini mengurai secara gamblang pola kekuasaan negara dalam mengorganisasi, menyederhanakan, dan mengawasi segala aktivitas masyarakat kampung. Guinness menunjukkan bahwa konsep-konsep mengenai kampung, komunitas, dana bantuan, dan pinjaman selalu berbeda pandangan antara pemerintah dan masyarakat. Semisal, program Jaring Pengamanan Sosial (JPS) yang diturunkan pemerintah pada awal tahun 2000-an. JPS justru dianggap menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat dan tidak menciptakan kreativitas baru bagi warga. Sementara dalam sudut pandang negara, sistem bantuan ala Sinterklas ini dianggap mampu memecahkan kemiskinan warga.

Secara substansi, tiap-tiap bab buku ini berdiri sendiri dan cenderung mempunyai tema yang berbeda-beda. Di awal bab, Guinness menjelaskan tentang perdebatan teoretis mengenai kampung. Ia berdiskusi dengan sejumlah pakar kampung dan komunitas, seperti Alisson Murray, Hans Dieter Ever, Clifford Geertz, Lea Jellinek, dan John Sullivan. Sullivan adalah antropolog yang pada saat yang bersamaan juga melakukan penelitian di sebuah kampung di Yogyakarta. Bersama Sullivan, mereka saling kunjung dan berdiskusi tentang hal-hal mendetail dari sebuah kampung.

Durasi penelitian yang sama antara Guinness dan Sullivan menyadarkan pembaca bahwa sebuah fenomena yang sama di dua kampung berbeda dalam kota yang sama bisa dilihat dengan cara yang berbeda. Tidak heran pula jika kritik ia lontarkan. Misalnya, Guinness mengkritik Sullivan yang melihat bahwa sistem komunitas ketetanggaan dalam kampung merupakan hasil dari konstruksi negara. Negara dianggap telah mengorganisasi berbagai aspek kehidupan, khususnya sistem kesejahteraan. Karena itu, sebenarnya penduduk lokal hampir tidak dapat menciptakan kesejahteraan sosial mereka sendiri. Guinness tidak percaya bahwa komunitas kampung dalam kota tersebut, khususnya wilayah yang ia teliti, adalah sebuah komunitas yang menekankan kehidupan dan kesejahteraan dari dalam masyarakatnya sendiri. Negara tidak hadir sepenuhnya untuk mengontrol masyarakat. Bagian ini menunjukkan bahwa ia tidak tengah membuat sebuah kesimpulan teoretis tentang makna kampung. Ia sadar bahwa banyak fenomena yang tidak dilihatnya, tetapi mampu dilihat oleh peneliti lain.

Menghadapi perubahan

Selanjutnya Guinness menjelaskan berbagai fenomena dalam skala kecil dan detail mengenai problem kekinian kampung yang sebenarnya berkaitan dengan isu-isu di tingkat nasional. Misal, strategi pembangunan pemerintah terhadap masyarakat kampung, konsumerisme anak muda di kampung, ekspresi komunitas keagamaan yang berubah, warga kampung menghadapi pemilu, kekerasan dalam komunitas, dan merenggangnya hubungan antarwarga kampung yang semakin individualistis.

Dalam menjalani kehidupan, warga kampung mempunyai gelombang tersendiri. Mereka selalu mengubah dirinya untuk menghadapi tantangan zaman yang arusnya tidak pasti. Juga melakukan perubahan pekerjaan secara terus-menerus, dari menggali pasir, menjadi pedagang kaki lima, menjadi pedagang keliling, menjadi pegawai negeri, dan seterusnya. Terdapat pula perubahan pada pola keluarga dan pada sistem bangunan rumah. Semua aspek kehidupan orang kampung ini mengindikasikan bahwa hidup sesungguhnya sangatlah dinamis dan penuh dengan pola bertahan hidup. Gambaran ini membantah keras bahwa penduduk di kampung kumuh adalah orang yang malas dan tidak terorganisasi.

Di bab lima, Guinness mengungkapkan bahwa kehidupan anak muda kampung berubah sangat cepat dan dramatis dalam kurun waktu tiga dekade. Pada 1980-an gelombang konsumerisme melanda anak muda hingga di perkampungan. Hal ini menyebabkan polarisasi antara mereka yang kaya dan miskin, diukur berdasarkan barang yang mampu dibeli. Pada 1990-an derasnya arus modernisasi menyebabkan anak kampung terjebak dalam ketergantungan terhadap minuman keras sebagai bagian dari pelarian kekalahan dan marjinalisasi hidup. Selanjutnya pada tahun 2000-an terjadi perubahan di mana ekspresi keislaman menguat, yang rata-rata dibawa dari luar Kampung Ledok.

Meski memasukkan isu Islam, tampak bahwa Guinness masih meraba-raba dalam mendefinisikan seperti apa itu Islam. Di bab 6, ”Kendhuren and the Strengthening of Religious Community”, misalnya, ia terkesan hanya mengulang deskripsi mengenai tradisi slametan/kenduri yang sebelumnya telah ditulis oleh beberapa antropolog kawakan, seperti Clifford Geertz dan Mark Woordward. Judul buku Kampung, Islam and State seakan-akan hanya terepresentasi melalui kenduri semata. Demikian juga semenjak bab awal buku ini Guinness tidak menceritakan genealogi dari mana asal-usul orang-orang kampung sehingga mereka lebih memilih untuk tinggal di bawah jembatan. Jika Guinness mampu melacak genealogi masyarakat kampung, tentu pembaca akan disuguhi gagasan yang lebih lengkap tentang lahirnya budaya tinggal menetap di sebuah kampung.

Terlepas dari catatan terhadap buku ini, karya Guinness kali ini sangatlah matang dibandingkan dengan karya-karya etnografi sebelumnya pada tahun 1970-1980-an mengenai kampung. Hal ini karena penulis mampu menguraikan kerumitan-kerumitan hubungan antara warga kampung dan isu globalisasi, merambahnya sistem kapitalisasi di Indonesia, hingga menguraikan melemahnya rezim otoritarian Orde Baru.

* Hatib Abdul Kadir, Mahasiswa Pascasarjana Center for Religious and Cross Cultural Studies-UGM ; Research Fellow National University of Singapore

Sumber: Kompas, Rabu, 25 November 2009

1 comment:

Proyek Seni Kaki Lima said...

salam kenal...
senikakilima.blogspot.com