Tuesday, November 10, 2009

[Sosok] Eddie, Memperkuat Mata Rantai Persatuan

-- Iwan Santosa dan M Clara Wresti

KENANGAN akan masa kecil yang indah dengan teman-teman pribumi membuat Eddie Lembong resah melihat ketegangan antara warga pribumi dan warga etnis Tionghoa di Jawa. Laki-laki keturunan Tionghoa asal Sulawesi Tengah ini yakin, bangsa Indonesia akan kuat asalkan semua suku bangsa terintegrasi. Kota Bandung membara tanggal 10 Mei 1963 ketika kerusuhan anti-Tionghoa melanda ibu kota Jawa Barat itu. Kampus ITB porak-poranda, motor dan skuter dirusak, bahkan, dibakar, kecuali Jurusan Farmasi yang tetap tenteram dan damai.

EDDIE LEMBONG (KOMPAS/M CLARA WRESTI)


Kerusuhan tidak merambah kampus Farmasi ITB karena seorang mahasiswa peranakan Tionghoa telah memupuk persaudaraan sekaligus memupus prasangka antarkelompok etnis di kampus itu. Mahasiswa tersebut adalah Ong Yue San, yang dikenal sebagai Eddie Lembong.

Dia membantu teman-teman, terutama dalam memperbanyak dan pengadaan diktat kuliah, yang waktu itu relatif sulit didapat. Toko buku dan penerbitan terbatas. Meminjam buku dari para senior juga tidak mudah. Di perpustakaan, buku juga sulit didapat karena telah dipinjam dosen selama bertahun-tahun.

Cara yang ditempuh Eddie sederhana. Ia mengetik ulang buku yang dipinjam, lalu memperbanyak dengan cara stensil. Stensilan itu ia jual murah. Selain itu, dia juga berusaha mendatangkan buku-buku terbaru mengenai farmasi terbitan luar negeri.

Dia melihat peluang mendapatkan buku impor murah, asalkan ada permohonan ke Departemen Pendidikan. Dengan buku impor, pengetahuan mahasiswa Farmasi tidak hanya meracik obat, tetapi juga mengetahui mengapa obat ini cocok untuk penyakit ini, sedangkan obat itu tepat untuk penyakit yang lain.

Kiprah Eddie dalam pengadaan buku-buku kuliah inilah agaknya yang membuat Fakultas Farmasi terbebas dari kerusuhan anti-Tionghoa waktu itu.

Walau tak mengalami kerusuhan, peristiwa tersebut membuat dia resah. Kerusuhan dan diskriminasi di Bandung sangat bertolak belakang dengan keakraban dan persaudaraan Tionghoa-pribumi yang dia rasakan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tempatnya dilahirkan. Dia juga memiliki persaudaraan lintas etnis yang akrab di Gorontalo dan Manado, Sulawesi Utara, tempat dia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja.

”Keluarga kami dengan Pak Achmad Gobel—kelak menjadi pengusaha nasional—akrab, seperti sanak saudara sendiri. Masyarakat Gorontalo sangat Islami dan toleran dalam menerima masyarakat Tionghoa. Setiap kali pesta keluarga Tionghoa, berbondong-bondong warga asli Gorontalo datang. Suasana sungguh akrab waktu itu,” kenang Eddie.

Industri farmasi

Persaudaraan Jurusan Farmasi ITB yang dibangun Eddie ternyata langgeng hingga kini. Saat dia merintis industri obat Pharos awal tahun 1970-an, terjalin sinergi kebijakan dan produksi farmasi secara nasional. Itu karena para industriawan dan birokrat yang sebagian berasal dari ITB memiliki rasa saling percaya.

”Hubungan kami bukan antara cukong dan birokrat yang diwarnai sogok-menyogok. Pada 1970-an industri farmasi menjadi contoh bahwa kebijakan sektor farmasi tidak diintervensi oleh militer dan Istana,” katanya.

Upaya merintis industri farmasi dan jaringan Apotek Century, kini menyerap 10.000 tenaga kerja. Pada saat krisis ekonomi Pharos justru menambah karyawan untuk menyerap mereka yang kehilangan pekerjaan.

Misi kemanusiaan melayani masyarakat juga menjadi acuan dalam bisnis Apotek Century. ”Kalau mau ambil margin keuntungan, harus diminta dari produsen, bukan dari pasien,” kata Eddie menggarisbawahi kebijakan apotek yang dirintisnya.

Keakraban lintas etnik dan agama itu dia aktualkan kembali, misalnya, pada 22 Oktober lalu dengan pemberian penghargaan Nabil Award di Hotel Mulia, Jakarta. Para ahli yang puluhan tahun mendalami bidang studi peranakan Tionghoa mendapat penghargaan atas upaya mereka mendorong persatuan dalam kebinekaan Indonesia.

Bagi Eddie, bangsa Indonesia ibarat sebuah rantai besar dan kokoh yang disatukan mata rantai, yakni suku-suku bangsa. ”Kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh semua mata rantai itu. Integrasi antara kaum Tionghoa dan pribumi bisa menjadi mata rantai yang lemah jika tidak berjalan dengan benar,” katanya.

Pemupukan silang budaya menjadi jawaban untuk memutus budaya kolusi antara cukong dan pejabat yang subur sejak Indonesia merdeka. Dia mengingatkan, korupsi di Indonesia merupakan kolaborasi simultan antara pengusaha ”dadakan” dan petinggi birokrasi yang sama-sama mau hidup enak tanpa bekerja keras.

Untuk lebih memperkokoh lagi silang budaya itu, selepas kerusuhan Mei 1998, Eddie ikut mendirikan Perkumpulan Indonesia Tionghoa (Inti). Tujuannya, membangun keakraban lintas suku dan agama. Waktu itu dia langsung terpilih sebagai ketua umum. Namun, Eddie hanya bersedia dipilih untuk satu periode karena dia ingin memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kalangan muda etnis Tionghoa.

Dia lalu memfokuskan diri menerbitkan buku-buku sejarah dan kebudayaan serta pemberian penghargaan Nabil (Nation Building) yang dirintisnya sejak tiga tahun lalu.

Bahkan, ia pun tak lagi ikut campur dengan urusan bisnis sejak 10 tahun terakhir. Bisnis obat-obatan diserahkan kepada anak-anaknya untuk dikembangkan.

”Kepuasan dari uang ada batasnya, sementara kita tidak boleh puas dengan pengetahuan yang sudah dimiliki,” ujarnya.

Eddie lalu memilih terjun ke dalam berbagai kegiatan untuk integrasi dan persatuan, serta peningkatan pengetahuan masyarakat dengan menerbitkan buku-buku di bawah Yayasan Nabil.

EDDIE LEMBONG

• Lahir: Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936 • Pendidikan: Sarjana Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung, 1965 • Istri: Melly Saliman Lembong • Anak: 1. Andre Arief Lembong (44) 2. Raymond Budi Lembong (39) 3. Roy Rahmat Lembong (38) • Hobi: Membaca • Kegiatan antara lain: - Pendiri dan Ketua Yayasan MEL untuk Nation Building, sejak 2006 - Board of Governors Chinese Heritage Center Singapore - Ketua Kehormatan Cendekia/Pendiri Perhimpunan Inti - Penasihat di berbagai organisasi kemasyarakatan • Organisasi di antaranya: - Pendiri PT Pharos Indonesia, Century Health Care, Novell Pharmaceutical Laboratories, PT Prima Medika Laboratories, PT Daya Sembada Swadarma - Mantan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Pusat - Mantan Ketua GP Farmasi Indonesia, Bidang Industri - Mantan Ketua Departemen Industri Farmasi, Kadin Indonesia - Dosen tamu Jurusan Farmasi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (kini Makassar), 1995-2000 - Pendiri dan Ketua Umum Pertama Perhimpunan Indonesia Tionghoa 1999-2005

Sumber: Kompas, Rabu, 11 November 2009

No comments: