-- Paulus Mujiran*
PERINGATAN Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa Indonesia bukan semata mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hari Pahlawan menjadi momentum berharga bagi generasi penerus bangsa untuk secara arif memaknai kembali nilai-nilai kejuangan pahlawan yang telah mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan, melalui upaya menumbuhkan kembali karakter atau jati diri bangsa.
Hari Pahlawan juga menjadi refleksi ulang sumbangan kita sebagai anak bangsa kepada bangsa dan negara yang kini membutuhkan. Pertanyaan mendasar apakah yang telah kita berikan kepada bangsa ini? Oleh sebab itu, Hari Pahlawan menjadi momentum yang tepat pencarian sosok pahlawan-pahlawan baru yang berjiwa negarawan dan berani berjuang tanpa pamrih dalam situasi kekinian.
Peringatan Hari Pahlawan juga merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran berbangsa, bernegara, bermasyarakat di negara Indonesia ini. Semangat para pejuang yang angkat senjata yang kini terpatri dalam Museum Perjuangan adalah teladan bagi anak-anak bangsa. Mereka dipajang bukan gambar mati yang bisu, melainkan inspirasi yang menumbuhkan kecintaan kepada bangsa dan negara. Semangat pahlawan merupakan ide dan etos berbangsa dan bernegara.
Peringatan Hari Pahlawan tidak lepas dari perjalanan panjang bangsa ini dalam mengusir penjajah. Dan, itu menggambarkan betapa beratnya perjuangan mendirikan NKRI yang kini kita diami. Sejarah itu dimulai dengan lahirnya Budi Utomo (Surabaya, 20 Mei 1908), lahirnya Sarekat Islam (Surabaya, 1912), Indische Partij (Bandung, 1912), Perhimpunan Indonesia (di negeri Belanda, 1922), pemberontakan PKI (Jawa Tengah dan Sumatera Barat, 1926), lahirnya PNI (1927).
Dalam pada itu, lahirnya sejumlah gerakan juga ikut berperan, seperti Jong Java (1918), yang disemarakkan pula oleh lahirnya Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Indonesia (Bandung, 1927), yang kemudian mencapai puncaknya dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928).
Bagian-bagian lainnya yang tidak bisa dilupakan juga adalah kelahiran Parindra, Gerindo, Partindo, Pusat Tenaga Rakyat (1943, yang dipimpin oleh 4 serangkai Sukarno-Hatta-Ki Hadjar Dewantara-Kyai Haji Mas Mansur), kelahiran Pembela Tanah Air (PETA) tahun 1943, dan Barisan Pelopor (1944, yang dipimpin oleh Soekarno).
Makna besar peristiwa 10 November di Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan bukanlah hanya karena begitu banyaknya pahlawan, baik yang dikenal maupun tidak dikenal yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Hari Pahlawan juga bukan berdiri sendiri, melainkan berkait kelindan dengan peristiwa sejarah sebelumnya.
Pertempuran Surabaya menjadi heroik bukan karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Kebesaran makna pertempuran Surabaya jelas terletak pada peran dan pengaruhnya terhadap jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran 10 November di Surabaya telah dapat menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang menyelundupkan NICA (Netherlands Indies Civil Adminsitration) ke wilayah Republik Indonesia. (Wildan Habibi, 2008).
Kini, ketika negara dan bangsa kita memasuki periode baru yang penuh dengan berbagai masalah dan krisis, ada baiknya bila kita mengenang dan merenungi kembali makna hari pahlawan. Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini.
Pada saat ini, negara memanggil putra-putrinya bukan untuk angkat senjata melawan penjajah, melainkan melawan kebodohan, kemiskinan, serta kanker korupsi yang merajalela di mana-mana. Dibutuhkan pahlawan dan negarawan sejati yang mau berjuang bagi bangsa dan negara, bukan sekadar untuk memperkaya diri sendiri. Ketika keteladanan bagi generasi muda diperlukan sosok pahlawan yang berjiwa negarawan dan nasionalis.
Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...(Ahmad Ichwan Susilo, 2008)
Gambaran itu kini menjadi nyata di sebuah republik yang telah berusia 64 tahun. Memaknai hari pahlawan tidak akan pernah terlepas dari peran serta generasi muda sebagai calon penerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa melalui tindakan konkret sesuai dengan tuntutan jaman bagi kesinambungan penyelenggaraan pembangunan bangsa, sebagaimana yang telah dicontohkan dan diperjuangkan melalui pergerakan fisik di masa lalu.
Dalam konteks kekinian, kepahlawanan bukan lagi memanggul senjata atau menenteng bambu runcing bertarung fisik melawan musuh, melainkan individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat, khususnya generasi muda, dari berbagai tingkatan dan disiplin ilmu yang secara ikhlas rela berkorban demi mengangkat harkat dan martabat masyarakat bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Bangsa ini membutuhkan pahlawan baru dan negarawan masa kini yang memiliki sikap tegar dalam membela kebenaran serta berani berkorban untuk menanggalkan keegoisan, sebagaimana pesan historis hari pahlawan bahwa pengorbanan berlaku di mana saja dan kapan saja sepanjang masa. Bangsa ini mencari pahlawan dan negarawan sejati untuk melanjutkan tongkat estafet menjaga kelangsungan bangsa masa depan.
* Paulus Mujiran, Peneliti The Servatius Institute Semarang
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 November 2009
No comments:
Post a Comment