-- Garin Nugroho*
SENI memberi keterkejutan spiritual dan memberi gangguan yang melahirkan rasa lapar pada kemanusiaan.
Maka, seni memberi daya kebangkitan untuk kemanusiaan baru di tengah dunia yang kosong, material, dan lemah. Seni menjadi sejarah tentang bagaimana dunia dan religiositas diciptakan dan dihadirkan dalam beragam bentuknya.
Inilah sebagian kesimpulan penulis saat bersama 170 seniman dunia bertemu Paus Benediktus XVI di Kapel Sistina Vatikan, 21 November 2009. Pertemuan langka ini memperingati 10 tahun surat Paus Johanes Paulus II untuk seniman dan 45 tahun pertemuan Paus Paulus VI dengan seniman dunia.
Pertemuan ini menjadi isyarat penting dialog religiositas dengan seni dalam perspektif kondisi masyarakat dewasa ini. Nilai penting ini diisyaratkan dengan hadirnya seniman-seniman di berbagai bidang. Ada penyanyi Andre Bocelli, seniman instalasi John David Mooney, arsitek Irak Zaha Hadid, pianis Kanada Angela Hewitt, pematung India Anish Kapoor, artis video Bill Viola, penyair Irlandia Ciaran O’Coigligh, penulis Perancis Florence Delay, pelukis Meksiko Gustavos Aceves, pelukis figuratif Rusia Alexandr Zvygin, novelis Italia Susana Tamaro, hingga arsitek Inggris David Chipperfield.
Isyarat penting apakah pertemuan langka ini?
Membaca isyarat
”Lukisan Pengadilan Terakhir di belakang kita ini mengingatkan tentang sejarah manusia dan kemanusiaan yang terus bergerak dan mentransformasi diri.” Ucapan Paus ini memberi makna lukisan tubuh-tubuh nyaris telanjang karya Michelangelo di kapela itu tidak bicara tentang pornografi, tetapi tentang diri kita hari ini. Sebuah masyarakat dengan beragam ekspresi tubuh dan wajah serba gamang, cemas, takut, tercampak, dan kehilangan panduan. Sebuah lukisan yang menuntut kepemimpinan yang menyelamatkan.
”Seni bukan kebutuhan kedua atau ketiga, ia juga tidak lari dari kenyataan hidup”. Pesan ini mengisyaratkan, kini kemerosotan kehidupan karena pemimpin sering hanya menghidupi diri dengan kekuasaan politik, ekonomi, dan militer. Sementara itu, spirit keindahan dalam seni sebagai pembebasan sekaligus kebangkitan kerja dan ruang hidup bersama diletakkan jauh dari program utama berbangsa.
Dengan bersahaja Paus meminjam kata Dostoevsky, ”Manusia tidak bisa hidup tanpa pengetahuan dan tanpa makan. Tetapi, tanpa keindahan seni, keindahan hidup tidak akan bertahan panjang”. Kutipan ini menjadi relevan dengan wajah kita hari ini. Ketika krisis politik dan ekonomi muncul, pemecahan masalah tidak lagi dalam spirit komunikasi keindahan hidup serta pembebasan yang menjadi substansi seni, tetapi dipenuhi berbagai bentuk kekerasan, jalan pintas, manipulasi kekuasaan, serta perlindungan ekonomi bagi kelompok kepentingan. Gejala semacam ini bisa dibaca di berbagai bentuk amuk.
Membaca rakyat
”Jika Anda sahabat seni sejati, maka Anda menjadi sahabat kami”. Inilah deklarasi 45 tahun lalu yang amat terkenal dari Paus Paulus VI. Dalam perspektif ini, para politikus harus belajar, sekiranya setiap warga mengalami pengalaman seni sejak dini, maka ia menemukan jalan suara rakyat dengan cara tersendiri.
Sebenarnya mengalami sejak dini beragam ekspresi kesenian tidak harus menjadi seniman. Mengalami sastra sebenarnya mengalami aneka perasaan terkecil manusia dengan peristiwanya lewat bahasa. Demikian juga, mengalami teater, tari, dan musik, warga menjadi terlatih dalam mengalami esensi ruang hidup tubuh kemanusiaan, yakni kemanusiaan yang memerlukan ruang gerak serta hidup dengan beragam perspektif maupun mengalami dunia transenden.
Contoh keagungan dari kepemimpinan yang mengalami seni adalah kelahiran Pancasila. Harus dicatat, para penggagas Pancasila tidak sekadar pemimpin politik, tetapi pemimpin budaya. Mohammad Yamin, misalnya, ia bapak soneta modern Indonesia.
Artinya, warga yang mengalami seni sejak dini, saat menjadi pemimpin, secara sederhana akan memerhatikan ruang hidup rakyat sehari-hari, seperti taman untuk relaksasi, ruang bagi pejalan kaki, lapangan umum, hingga beragam pelayanan publik sebagai pelayanan kehidupan.
Pertemuan Paus dengan seniman dunia mengisyaratkan spirit seni sebagai pembebasan. Tuntutan terhadap kepemimpinan yang menyelamatkan tidak sekadar mampu hidup dalam angka-angka ekonomi makro, prosedur hukum, dan politik formal, tetapi kepemimpinan yang mengalami transendensi seni sehingga mampu membaca suara rakyat dari peristiwa dalam masyarakat, seperti maraknya kasus bunuh diri keluarga hingga anak-anak sekolah. Demikian juga, ruang publik yang kian materialistik, dan penuh kekerasan, maupun kerinduan kepahlawanan bisa memberi panduan mana yang baik atau buruk. ”Seni membaca yang tidak terlihat,” kata Paus Benediktus XVI.
* Garin Nugroho, Budayawan, Penulis Buku Who Is God
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 November 2009
No comments:
Post a Comment