Sunday, November 22, 2009

Negeri Fiksi dan Imajinasi Publik

-- Bandung Mawardi*

NEGERI ini sedang mengalami senja kala hukum dan kepelikan politik. Sekian hari orang jadi kebingungan dan penasaran untuk menikmati suguhan seribu satu cerita mengenai sosok, institusi, dan sistem.

Negeri ini rimbun dengan curiga, pengakuan, tuduhan, bantahan, dan kesaksian. Kasus mengenai KPK, Polri, Kejaksaan Agung,Anggodo,Mahkamah Konstitusi, Tim 8, atau Ari Muladi memberi sihir kata dan permainan tafsir belum usai. Situasi kompleks ini menyelipkan fragmen sastra dalam multiperspektif. Komaruddin Hidayat mengibaratkan lakon negeri saat ini, seperti mengajak orang untuk kembali membaca novel-novel Agatha Christie.

Pengarang kondang dengan genre detektif ini mungkin membuat publik mafhum atau linglung. Apa hubungan antara situasi negeri dengan novel detektif? Ungkapan dari Komaruddin Hidayat itu merupakan representasi dari keruwetan masalah, misteri tokoh, bias solusi, konflik, dan fiksionalitas. Pembaca novel-novel Agatha Christie di negeri ini tentu lekas mengerti dengan analogi bahwa negeri ini memiliki misteri belum terjawab.

Kerja ala detektif perlu diadakan untuk menyibak tirai rahasia dari kasus pelik dan dilematis. Analogi fiksi muncul akibat cara pandang normatif tidak lagi memungkinkan untuk membaca dan menilai tumpukan kasus yang saling berkaitan, tapi mengandung kesakitan dan aib.Pemunculan ibarat dari Komaruddin Hidayat merupakan sisi lain dari keramahan orang mendekati kasus dalam perspektif politik,sosial,dan hukum. Bau sastra pun keluar dari sosok Mahfud MD.

Tokoh fenomenal dari M a h k a m a h Konstitusi ini m e r u p a k a n sosok pembaca n o v e l - n o v e l populer. Kerja di dunia hukum dan politik tak membuat Mahfud MD luluh dalam jagat pikir positivisme. Sosok ini sadar bahwa hukum tak mungkin sekadar terpahami secara normatif. Nilai-nilai estetika dan kemanusiaan menjadi anutan untuk melek hukum secara progresif.

Hukum untuk manusia mesti manusiawi dan bacaan sastra memberi percik-percik perenungan untuk tidak menjadi manusia kaku dan memuja habis secara tekstual terhadap konstitusi atau undangundang dalam politik dan hukum. Pengakuan Mahfud MD itu patut jadi tanda seru pada publik untuk mencari tahu mengenai kesibukan para politisi, aparat, atau pejabat negara.

Apakah mereka masih melek huruf alias suka membaca? Apakah mereka sekadar melek duit dan jabatan, tapi kehilangan sensibilitas untuk membaca lakon negeri dalam perspektif sastra? Pertanyaanpertanyaan ini tidak mutlak harus terkait dengan sastra.Hikmah dari prasangka ini adalah penciptaan demokratisasi dengan lembaran literasi (aksara). Negeri ini mungkin tak memiliki tradisi aksara dalam proyek demokrasi sebab para elite sudah lupa atau malas membaca.

Pengakuan dua orang itu diimbuhi oleh komentar-komentar dari para tokoh bahwa kasus pelik ini melahirkan fiksi tak berbatas. Penilaian bahwa lakon cicak dan buaya ini riuh oleh unsur-unsur fiksi tampak dari pelbagai sangkaan, dakwaan, dan vonis. Opini publik diciptakan untuk menciptakan klaim kebenaran. Fakta-fakta dijungkirbalikkan. Perang bukti dilakukan. Serangan terhadap tokoh dan institusi dilakukan dengan garang.

Fakta jadi lebur oleh kelihaian memproduksi makna dan tendensi sehingga membuat publik repot untuk percaya fakta sebagai fakta. Risiko dari situasi tak menentu ini merupakan kehadiran fakta dan fiksi pada ambang batas. Fakta dan fiksi mengandung perbedaan tipis. Sastra mungkin patut jadi jalan masuk dalam ikhtiar mengurai kasus kontroversial di negeri ini. Unsur-unsur dalam sastra hampir semua sudah termuat dan disuguhkan pada publik.

Ada tokoh, karakterisasi, latar waktu, latar tempat, konflik, alur, dan lain-lain. Siapa saja membuat versi cerita sendiri lalu mengalami pertemuan dan pertempuran untuk menjadi terang atau gelap.Masingmasing institusi memiliki perbedaan posisi untuk membenark a n kisah sendiri dengan setumpuk bukti, produksi imajinasi,dan penciptaan opini publik tanpa sadar ada dalil hukum sebagai mekanisme pembenaran.

Publik sastra tentu tidak begitu terkejut jika fiksi besar ini muncul dan digelar di pelbagai media.Kebingungan mungkin muncul karena orang mesti sabar, telaten, dan untuk memberi rasa percaya atau ragu terhadap serbuan seribu satu kisah. Kasus genit ini membuat sekian tokoh melakukan pelacakan referensi untuk memunculkan imajinasi mengenai nasib dan pembelaan diri. Susno Duadji dalam sidang di Komisi III DPR dengan fasih menuturkan kisah Galileo dalam mempertahankan kebenaran saat menghadapi klaim kebenaran dari kalangan agama mengacu pada kitab suci.

Galileo dikalahkan, tapi merasa sanggup menyelamatkan kebenaran bahwa bumi mengitari matahari. Kisah lawas itu dituturkan untuk diri sendiri dan publik sebagai taktik mendapatkan pengakuan tentang peran dan nasib. Pemunculan tokoh Galileo mungkin tidak jadi perhatian besar dari kalangan media, tapi imajinasi referensial bisa jadi pintu untuk membaca karakterisasi diri oleh Susno Duadji.

Imajinasi dan sejarah telah dijadikan acuan ketika orang-orang sibuk membuka kitab hukum dan membaca pasal-pasal dengan keletihan dan gairah.Kerja darurat dari tokoh-tokoh politik dan hukum diimbuhi oleh antusiasme publik untuk memberi kata dan makna. Demonstrasi digelar, politik maya dijalankan dengan jutaan dukungan.Imajinasi publik tercipta dalam keterpecahan dan kegundahan.

Perayaan imajinasi membuat orang merasa memiliki ketegangan antara optimisme dan pesimisme. Kasus legendaris ini pun terabadikan dalam sastra. Tokohtokoh publik ikut urun puisi untuk memberi satire dan pencerahan. Artis, dosen, pengamat politik, seniman, dan aktivis politik merayakan kasus ini dengan penulisan dan pembacaan puisi di Bundaran Hotel Indonesia (8 November 2009) sebagai tanggapan luar biasa terhadap negeri fiksi.

Puisi jadi suara publik ketika medium resmi dari politik dan hukum tak mengakomodasi. Puisi menjadi dokumen tak resmi, tapi mengisahkan negeri dalam getir dan pengharapan. Publik mungkin masih menanti suguhan puisi liris dan kritis dari si penyair di Tim 8,Todung Mulya Lubis. Tokoh ini memang tidak Cuma pengacara sebab telah mengeluarkan buku puisi berjudul Sudah Masanya Kita Membaca Puisi Kembali (1999).(*)

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Seputar Indonesia, 22 November 2009

No comments: