-- Wayan Sunarta*
EDE ngaden awak bisa, depang anake ngadanin.” Artinya, jangan mengira diri pintar, biarkan orang lain yang menilai.
Orang-orang Bali yang mengalami masa kanak-kanak di bawah tahun 1980-an pasti pernah mendengar kutipan tembang sekar alit ini. Tembang yang mengandung muatan nilai-nilai rendah hati ini merupakan tembang wajib yang diajarkan di sekolah dasar di Bali. Tembang sederhana ini sekarang hampir hilang dari pendengaran kanak-kanak Bali, digantikan lagu-lagu anak-anak modern.
Kini, di Bali, antara mitos dan realitas telah menjadi suatu yang paradoks, berlawanan, bahkan saling menghancurkan. Nilai-nilai lama digantikan oleh nilai-nilai baru. Kondisi ini sangat potensial memunculkan chaos dalam ruang batin orang-orang Bali: kebingungan menentukan sikap, antara rendah hati menerima kritik atau memunculkan ego kekuasaan untuk menyerang balik si pengkritik.
Bagi sebagian orang Bali, kritik sering kali dianggap sebagai serangan langsung terhadap personal atau sebuah kekuasaan yang mapan. Misalnya, dalam rapat-rapat di balai banjar atau balai desa—sebuah lembaga yang seharusnya bijaksana mengakomodasi kritik—ternyata hampir tidak pernah terjadi perbedaan pendapat atau kritik yang mencolok.
Semua pendapat atau kritik terakumulasi menjadi satu kata ”setuju” ketika tokoh-tokoh penting yang berkuasa dan berpengaruh dalam rapat meneriakkan ”setuju?!”. Apakah ini wujud ketakutan orang Bali terhadap kekuasaan kolektif sebuah komunitas, atau pengejewantahan budaya koh ngomong (malas bicara) yang sering membelenggu pikiran orang Bali?
”Kramak-krimik” Bali
Di Bali, berani berbeda pendapat, apalagi meluncurkan kritik terhadap kekuasaan komunitas, berarti siap menerima pengucilan atau perlakuan tidak adil dari kekuasaan yang dikritik. Kekecewaan dan ketidaksetujuan terhadap keputusan rapat biasanya muncul dalam kasak-kusuk, keluhan-keluhan kecil di warung kopi atau warung tuak. Orang Bali sangat ngeri untuk berbeda pendapat atau melancarkan kritik dalam komunitas yang sangat menjunjung tinggi kolektivitas (walaupun terkadang bersifat semu). Dari sinilah tradisi kritik tidak muncul secara meyakinkan di Bali. Kalaupun ada, kritik akan menjalar dalam bentuk kramak-krimik atau gosip di warung-warung atau di tempat-tempat berkumpul lainnya.
Secara umum orang Bali tumbuh dan besar dalam tradisi yang begitu menakuti kritik. Sebisa mungkin jangan sampai ada kritik demi keharmonisan dan kestabilan komunitas. Dalam tradisi kolot itu, kritik yang muncul harus diberangus, dan pencetus kritik harus di-puikang (dimusuhi). Maka, berkembanglah tradisi basa-basi, asal bapak senang, mulut manis, dan berbagai bentuk budaya hipokrit lainnya.
Memang, Bali selalu penuh dengan paradoks. Seperti, misalnya, budaya koh ngomong yang berkembang di Bali. Budaya ”tutup mulut” ini sering kali menjadi perlawanan orang-orang Bali terhadap kekuasaan yang mapan. Koh ngomong yang sebenarnya diturunkan dari ajaran sekar alit di atas merupakan sikap ”jangan mengira diri pintar”.
Koh ngomong sering kali dipraktikkan dalam rapat banjar atau rapat desa. Penganut budaya ini sadar bahwa apa pun pendapatnya apabila tidak sesuai dengan pendapat kekuasaan jelas akan diberangus, dan tentu saja akan bisa berakibat fatal bagi si penyampai pendapat yang berlawanan dengan arus besar.
Di sisi lain, koh ngomong juga menjadi salah satu bentuk perlawanan diam orang Bali terhadap kritik yang menyerang dirinya. Namun, justru inilah kekuatan yang bisa berbahaya bagi si pengkritik karena bukan tidak mungkin orang yang melakukan gerakan koh ngomong diam-diam akan bereaksi tanpa menghiraukan kritik, atau menyerang (kalau muncul pikiran jahat) si pengkritik dengan kekuatan lain, misalnya dengan teror ilmu hitam dan lain sebagainya.
Untuk menghindari chaos lebih parah, perlu memupuk sikap rendah hati menerima kritik. Tentu saja harus ada keberanian dan kejujuran menyampaikan kritik secara terbuka.
* Wayan Sunarta, Penyair, Menetap di Bali
Sumber: Kompas, Sabtu, 21 November 2009
No comments:
Post a Comment