Friday, September 04, 2009

[Pustakaloka] Sebuah Upaya Mengenalkan Tanah Air

Data Buku
• Judul: Tepian Tanah Air • Penulis: Tim Wanadri dan Rumah Nusantara • Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2009 • Tebal: 310 halaman

JAKOB Oetama, Pemimpin Umum Kompas Jakarta, November 2008, Jakob memberikan kata pengantar atas terbitnya buku Tepian Tanah Air - 92 Pulau Terluar Indonesia, Indonesia Bagian Barat. Pertanyaan imperatif Jakob sebagian terjawab dengan terbitnya buku Tepian Tanah Air, sebuah buku dengan mengandalkan narasi singkat dan foto-foto indah hasil penjelajahan anak-anak muda Wanadri dan Rumah Nusantara. Budiman Tanuredjo

Hadirnya buku yang tebalnya 310 halaman dengan kertas luks dan penuh warna ini memberikan gambaran indahnya Tanah Air. Hadirnya buku ini barangkali mendapatkan konteks sehubungan dengan ”konflik” antara Malaysia dan Indonesia berkaitan dengan dicomotnya tari pendet sebagai iklan promosi pariwisata Malaysia dan sebelumnya hilangnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan karena putusan Mahkamah Internasional serta yang masih berlangsung adalah klaim Malaysia atas perairan Ambalat. Terakhir adalah klaim Pulau Jemur oleh Malaysia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut memberikan sambutan, bersama dengan Menteri Perhubungan Jusman Safeii Djamal dan KSAL Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno dalam buku yang didasarkan pada laporan Ekspedisi Wilayah Barat.

Ekspedisi Wilayah Tengah juga telah merampungkan perjalanannya. Menurut salah seorang penanggung jawab ekspedisi, Ipong Witono, Jumat (4/9) ini digelar syukuran sekaligus buka puasa di Gedung Indonesia Menggugat Bandung.

Dalam buku ini digambarkan betapa luasnya tanah air Indonesia. Berdasarkan data Departemen Dalam Negeri, negara kepulauan Indonesia mempunyai 17.504 pulau (9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni). Di Indonesia juga tinggal 1.608 suku bangsa dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Nusantara. Pulau-pulau itu dikelilingi laut yang membentang seluas 5,8 juta km, hampir tiga perempat dari keseluruhan wilayah Tanah Air. Sebanyak 92 pulau terluar, atau ada yang menyebut sebagai pulau terdepan dan berbatasan dengan perairan internasional—yang menjadi sasaran Ekspedisi Garis Depan Nusantara—termasuk yang dikelilingi lautan luas tersebut.

Buku Tepian Tanah Air yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas adalah sebuah reportase anak-anak muda Wanadri yang didukung sejumlah tokoh nasional, antara lain Arifin Panigoro untuk merealisasikan mimpinya mendata 92 pulau terluar. Sebuah obsesi heroik dan amat jauh dari publisitas politisi di parlemen. Sebanyak 540 foto ukuran besar dan kecil dipampangkan dalam buku ini.

Buku ini disusun dengan menggabungkan kemampuan fotografi, teknis menulis yang sederhana, serta kecakapan akademis, khususnya biologi dan antropologi untuk mengenali dan memberikan gambaran mengenai penemuan flora dan fauna yang tinggal di pulau terluar. Dimensi historis juga tak ditinggalkan. Untuk memberikan gambaran lebih mudah kepada pembaca, buku ini juga menggunakan teknik infografis untuk menggambar lokasi.

Terdapat 33 laporan pulau- pulau terluar di wilayah Indonesia bagian barat dengan perincian, pertama, pulau-pulau yang terletak di lautan mistis selatan Jawa, yakni Pulau Barung, Sekel-Panehan, Nusakambangan, Manuk, dan Deli. Kedua, pulau-pulau di tepian barat Pulau Sumatera, dari Pulau Batu Kecil di Lampung hingga Pulau Rondo di Aceh. Ketiga adalah pulau yang terletak di Selat Malaka, yakni Pulau Berhala hingga Pulau Sentut. Keempat, pulau-pulau di ujung Laut China Selatan sebanyak enam pulau.

Buku Tepian Tanah Air boleh jadi adalah sebuah pekerjaan anak-anak muda yang ”gila” yang mempunyai idealisme tinggi, yang tidak mungkin sepenuhnya bisa diikuti orang- orang biasa.

Dengan menggunakan kapal fibreglass berbobot mati 29 ton, berukuran 6 meter x 29 meter, menempuh jarak 5.634 kilometer, mereka menjenguk pulau-pulau terluar. Mereka menembus ombak, berhenti berlindung di sela-sela karang untuk mencapai tujuan pulau- pulau terluar yang amat jauh dari Jakarta.

Di pulau yang kadang tak berpenghuni, tim ekspedisi itu mendata, melakukan penelitian singkat, serta memberikan penanda. Penanda yang berwujud tonggak yang terbuat dari logam tahan karat diinspirasi dari tradisi mendirikan ”lingga”, tiang, dan penghormatan kepada leluhur yang sudah ada sejak masa prasejarah di wilayah Nusantara. Dalam penanda itu terdapat dua bilah: satu bilah berisi lambang negara, nama pulau dengan data pulau, data koordinat, dan wilayah administrasinya serta satu bilah bertuliskan ”Ekspedisi Garis Depan Nusantara”. Sebuah peran masyarakat sipil yang amat sangat patut diapresiasi.

Selain penanda, tim ekspedisi ini juga menegakkan instalasi patung proklamator Soekarno-Hatta. Sebagaimana ditulis Donny Rachmansyah, ”Keberadaan Monumen 92 bukanlah dalam wujud fisiknya di suatu situs, melainkan pada ingatan dan imaji pikiran kita yang diajak membayangkan titik demi titik di suatu tempat, di sebuah pulau, di sisi paling depan pagar batas rumah kita: Indonesia” (halaman 297).

Secara singkat, kita juga diberi gambaran bagaimana kondisi pulau-pulau tersebut. Sebut saja Pulau Rondo yang luasnya 43 hektar dan berbatasan langsung dengan India dan Thailand. Ditulis dalam buku itu, ”Pulau Rondo yang memiliki luas 453 hektar hanya didiami oleh lima penjaga mercusuar dan tujuh prajurit Korps Marinir yang periang, bukan oleh Departemen Pariwisata. Hutan Rondo tidak menyediakan sumber air dan karenanya hanya mereka yang sudah terlatih hidup di alam bebas dapat bertahan di sana...”.

Lalu, di mana air bersih di dapat? Buku itu memberikan informasi. ”Kebutuhan air bersih penjaga pulau didapatkan dengan menampung air hujan dalam tangki-tangki fibreglass. Para pengabdi Tanah Air hanya dapat memanfaatkan curah hujan yang mencapai rata-rata 2.130 mm per tahun” (halaman 155).

Membaca buku ini seakan memanjakan mata kita untuk menikmati keindahan Tanah Air dengan segala flora dan faunanya. Buku ini mengajak kita untuk lebih mengenal Tanah Air, sebagaimana ditulis Jakob Oetama dalam pengantar buku ini. Kalaupun ada yang kurang memenuhi rasa ingin tahu pembaca—mungkin karena sempitnya waktu—buku ini kurang bercerita soal manusia dan kondisi sosial ekonomi penduduk di pulau terluar, termasuk gambaran demografinya.

Namun, apa pun itu, buku ini memberikan gambaran eksotisme Indonesia yang patut diapresiasi.

”Indonesia is truly Asia”!


Sumber: Kompas, Jumat, 4 September 2009

No comments: