Judul Buku : Hermeneutika Alquran?
Penulis : Hassan Hanafi
Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xiv + 116 halaman
TANDA tanya di ujung judul buku ini menyimbolkan tantangan sekaligus telaah kritis dari seorang pemikir muslim garda depan asal Mesir, Hassan Hanafi, terhadap keberlangsungan dan dialektika tradisi ilmu-ilmu tafsir Alquran sebagai sistem hermeneutika khusus (hermeneutica sacra), yang tidak lain adalah urat nadi pertumbuhan kebudayaan dan peradaban umat Islam. Kritik Hanafi itu ibarat kapak bermata dua. Yang satu dia arahkan pada kejumudan pola diskursus tafsir klasik Islam, sedangkan yang kedua diarahkan pada diskursus orientalisme yang banyak mengarah pada bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat politis dan riskan.
Pandangan mendasar hermeneutika Hanafi melihat bahwa teks Alquran adalah mahateks yang kesakralan revelasi dan otentisitas metahistorisnya terjamin total seratus persen. Barulah dalam aplikasi historisnya, teks Alquran ''membutuhkan'' suatu keterlibatan eksistensial manusiawi, yang hal itu adalah tindakan-tindakan penafsiran yang relevan dengan karakter sosio-kultural masyarakat yang melingkupinya.
Prinsip itulah yang Hanafi pegang dengan konsisten sejak dulu sampai sekarang. Dengan prinsip itu pula, hermeneutika Hanafi menjadi epistemologi yang paling jernih dalam melihat dan memetakan problematika penafsiran Alquran secara global.
Berbeda dengan pakar hermeneutika lain, misalnya Nasr Hamid Abu Zayd, yang memandang bahwa sebagai sebuah teks, Alquran pada dasarnya adalah produk budaya (Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Alquran, 2000). Zayd seolah menghilangkan kemurnian transendental dalam proses pewahyuan Alquran dan melihat bahwa dimensi hermeneutik teks Alquran berlaku secara vertikal, bahwa Nabi Muhammad adalah penafsir aktif terhadap Tuhan sebagai pemberi wahyu. Setelah dimakmumi selama puluhan tahun, hermeneutika yang penuh bias relativitas berlebihan itu kemudian oleh Zayd direvisi sendiri di hadapan khalayak pada acara International Institute for Quranic Studies, Juni 2008. Dia akhirnya menyatakan persis seperti teori Hanafi bahwa hermeneutika Alquran bersifat horizontal (nabi dengan umat) dan tidak mungkin berlaku secara vertikal antara nabi dan Tuhan.
Krisis Ilmu Tafsir
Berangkat dari krisis tradisi tafsir di Mesir, Hanafi membangun (oto)kritik hermeuneutikanya. Dia melihat banyak involusi dalam tradisi tafsir Quran Mesir yang dari segi pola, hal itu juga terjadi dalam tubuh tradisi tafsir negara-negara Islam lain, tak terkecuali tradisi tafsir di Indonesia. Karena itu, kritik konstruktif Hanafi juga sangat mengena untuk memahami persoalan krisis keberagamaan di Indonesia ini.
Krisis itu, menurut Hanafi, adalah keterpakuan yang alot terhadap tradisi tafsir masa lalu. Suatu diskursus tafsir Quran akan diakui validitas dan otoritasnya sejauh dia memiliki kesahihan riwayat (al-ma'thur) dari genealogi teks mazab-mazab induk. Masa lalu menjadi dasar dan induk penilaian untuk masa kini dan masa depan. Padahal, bentuk-bentuk fenomena baru yang terlahir di masa kini memiliki kompleksitas yang tidak selamanya bisa diqiyaskan (diperbandingkan) dengan hukum masa lalu yang memiliki basis fenomenologis sendiri.
Budayawan Ali Ahmad Said (Adonis) melihat hal itu sebagai ''yang statis'' (as-tsabit) dalam sejarah intelektual Islam. Perjalanan ilmu tafsir bergerak secara sentripetal. Itu tecermin dari karakter pola tafsir berparadigma tradisional yang hanya berkutat di sekitar sarah (komentar), tafsil dan bagian-bagian yang tidak memperhatikan makna independen teks, dan kondisi kontemporer umat (hlm 11). Karena itu, Hanafi mengusulkan adanya tradisi tafsir yang benar-benar baru, yang bisa saja lepas dari mata rantai tradisi tafsir. ''Lepas'' di sini tidak bermakna a-historis, namun justru harus menjadi mata rantai yang ''melompat'' dan melampaui makna-makna masa lalu dan menjadi pintu baru bagi masa depan.
Kedua, kelemahan tradisi penafsiran saat ini lebih diarahkan pada dimensi dogmatis-teologis ketimbang dimensi manusia dalam hubungannya dengan alam dan orang lain. Tradisi tafsir menjadi over-vertikal dan seakan lupa pada yang horizontal. Padahal, menurut Hanafi, tafsir haruslah solutif bagi permasalahan-permasalahan sosial dan mencerahkan bagi kehidupan manusia. Dia melihat kemandulan sosial tafsir dilatarbelakangi oleh ketiadaan pola analisis pengalaman yang memadai dalam melihat masa kini. Asababun nuzul tafsir tradisional haruslah berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir saat ini dan dipahami lewat intuisi fenomenologis para mufasir sendiri.
Ada juga nada Foucaultian dalam kritik Hanafi. Dia juga melihat bahwa ketertutupan tafsir tradisional pada pembaruan (tajdid) itu tidak terlepas dari kepentingan kelas para mufasir yang oleh Sayyid Qutb dinamakan sebagai the professional men of religion untuk memapankan status sosialnya. Dengan reorientasi sosiologis yang lebih egaliter dan terbuka, sesungguhnya tradisi tafsir Quran bisa lebih kreatif dan leluasa dalam mengembangkan sayapnya.
Namun, satu hal yang patut dipertanyakan adalah nuansa pemikirannya yang kental dengan rasa dikotomi Timur-Barat. Hanafi selama ini memang dikenal sebagai penggagas utama oksidentalisme dan rupanya itu turut memengaruhi pula pandangan aplikatif terhadap hermeneutikanya. Padahal, bukankah istilah ''Timur-Barat'' sendiri sudah semakin mencair saat ini?
Untuk mengimbangi kecenderungan keterpakuan pada riwayat teks, Hanafi menekankan bahwa tradisi tafsir harus ''kembali kepada Alam'' dan bukan sekadar ''kembali kepada sumber'' (Sola Scriptura). Dengan itu, ilmu tafsir bisa mempertajam dan memperluas pandangan dunianya terhadap ayat-ayat kauniyah yang tidak lain adalah realitas sosial dan semesta itu sendiri. Padahal, ini sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh tradisi tafsir scientific Alquran oleh para saintis muslim, seperti Harun Yahya, juga saintis muslim era 80-an semacam Ismail Al-Farouqi yang hidup di masa periode kreatif Hanafi mencapai puncaknya. Dan, itu seharusnya diperhatikan secara lebih intensif dan terfokus oleh Hanafi maupun para intelektual yang bermakmum di belakangnya. (*)
Ridwan Munawar, Bergiat di komunitas filsafat BEING Community Jogjakarta dan studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogja
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 13 September 2009
No comments:
Post a Comment