Sunday, September 27, 2009

Menjaga dan Mengelola Kekayaan Kita

-- A.J. Susmana

PASANG-SURUT hubungan Indonesia: soal perbatasan yang menyangkut pemanfaatan kekayaan alam sampai pada kekayaan budaya atau intelektual seperti lagu, tari, dan berbagai jenis kekayaan seni daerah lainnya. Semua ini menunjukkan bahwa hubungan antardua negara Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan menghargai perasaan nasional masing-masing. Semakin hari, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior dibandingkan kita dan makin seenaknya dalam memandang Indonesia. Di Malaysia sana, mereka menyebut tenaga kerja kita dengan sebutan yang menghina: indon.

Mengapa hubungan kita dengan Malaysia tak menjadi semakin baik dan bersahabat? Bila dirunut dari sejarah, hubungan tak baik antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat kuat: Ganyang Malaysia. Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka imperialis Inggris: Malaysia. Banyak kisah yang bisa disampaikan dalam periode ini bahkan dalam situasi konflik ini, Malaysia masih sempat mengaku lagu Sapu Tangan karya Gesang sebagai miliknya.

Akan tetapi periode ini sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan. Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa memang tak jauh beda dengan kita. Walau begitu, selalu saja ada materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam penyelesaiannya.

Justru di tengah situasi rakyat Indonesia yang lagi menghadapi krisis, konflik-konflik dengan Malaysia justru terasa mengalihkan isu pokok dan besar yang melanda negeri yaitu utang luar negeri, penguasaan tambang nasional oleh perusahaan asing dan hancurnya daya produktif nasional bahkan dalam soal memenuhi kebutuhan garam nasional saja kita tak sanggup. Indonesia dengan garis pantai yang termasuk panjang di dunia?!

Betapa kita ini layak disebut sebagai bangsa yang memalukan dan tampak sebagai bangsa yang malas bekerja dan berpikir. Tak ada kemampuan produksi yang dibanggakan? Situasi yang mengesalkan di dalam negeri ini menemukan jalan keluar untuk menyampaikan kemarahan yaitu Malaysia dengan ulah nakal, menghina dan tak segan juga bermain api dengan mencuri kekayaan nasional rakyat Indonesia baik alam, maupun intelektual.

Sebagai negara berdaulat, kita memang harus melindungi kekayaan alam dan intelektual kita dari pengambil-alihan oleh asing. Dalam kerangka inilah, hak cipta atas kesenian daerah harus difasilitasi oleh pemerintah. Perlindungan ini tentu saja tak sebatas hanya seperti kerja memuseumkan tapi juga kerja mengangkat kesenian daerah seperti tarian-tarian rakyat menjadi kesenian yang digemari rakyat secara nasional.

Panggung-panggung untuk (hak) hidupnya kesenian daerah harus disediakan oleh pemerintah. Pekerja-pekerja seni daerah pun harus bekerja mengorganisasikan diri dan menaikkan taraf mutu kesenian daerah dengan berbagai inovasi yang kreatif. Tanpa itu, kerja melindungi kesenian daerah hanya akan menjadi omong kosong belaka. Sebab, tak bisa disangkal dalam situasi globalisasi seperti sekarang, kesenian daerah yang lamban berinovasi akan kesulitan bertarung dengan kesenian modern dan pop. Kita juga melihat bahwa panggung-panggung kesenian daerah makin terpinggirkan dan tak laku. Sebagai contoh berapa orang yang mengunjungi panggung kesenian tradisional di Sriwedari Solo? Bisa dihitung dengan jari. Barangkali bahkan nama ini pun sudah tak lagi diingat sebagai panggung kesenian dan pernah menjadi pusat para pekerja seni tradisional.

Sementara itu, kapitalisme global juga membuat berbagai kesenian daerah yang mungkin di daerahnya sendiri sudah tak laku menjadi laku di panggung dunia dengan berbagai perspektif pemanfaatannya. Dan selalu, kita tak siap bila itu terjadi?

Marah-marah tak cukup. Lebih baik, agar tak terulang, kita mulai menata, mengelola, dan menghidupkan kesenian daerah sebagai basis bagi pengembangan seni nasional dan kehadirannya di panggung internasional semakin mengokohkan keberadaan kita sebagai bangsa yang beradab di tengah pergaulan dunia yang semoga semakin beradab juga berkat hadirnya kesenian-kesenian kita.

Dengan demikian, kita menempatkan kesenian daerah yang notabene adalah kekayaan intelektual budaya rakyat kita di tempat yang selayaknya.

* A.J. Susmana, Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi, Jakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 September 2009

No comments: