Friday, September 11, 2009

[Pustakaloka] Mengurai Sosok Pemimpin Politik Ideal

-- Slamet Effendy Yusuf*

KOMPAS/RIZA FATHONI

• Judul Buku: Menjadi Pemimpin Politik
• Penulis: M Alfan Alfian
• Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009
• Tebal: xl + 344 halaman

PEMIMPIN politik tidaklah sama dengan pemimpin organisasi yang bersifat profit. Kekuasaan politik yang diraih tidak boleh didapuk sebagai tujuan. Ia hanyalah sarana untuk mewujudkan tujuan pokok politik sesungguhnya.

Di negeri ini, pasca-1998, setiap menjelang pemilu, baik itu pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilu presiden, masyarakat dihadapkan pada berbagai atraksi para elite politik. Keran demokrasi yang terbuka lebar membuat banyak orang aktif berkecimpung di dunia politik, mulai dari profesional, saudagar, swasta, aktivis pemuda dan mahasiswa, akademisi, mantan birokrat, hingga mantan tentara atau polisi.

Sayangnya, politisi-politisi tersebut terkadang tidak mempersoalkan kepatutan. Tidak sedikit di antara politisi kurang memahami bahwa politik adalah panggilan dan pengabdian. Sejatinya, seorang pemimpin politik memiliki jiwa tersebut. Tampaknya, kegelisahan inilah yang mendorong penulis, yang concern pada pengamatan mengenai situasi politik nasional, mencoba menguraikan benang kusut tentang politik, kekuasaan, dan kepemimpinan ke dalam sebuah karya tulis.

Membaca buku ini akan digiring tanpa pernah merasa tergiring, akan mengerti tanpa pernah merasa digurui, kepada situasi politik di negeri ini. Setiap uraian yang dituliskan sungguh mencerminkan pengetahuan yang luas dan dalam akan situasi politik nasional serta dinamika yang terjadi di dalamnya. Di antaranya terurai mengapa para pemimpin politik di negeri ini tak juga berhasil menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya? Mengapa politisi negeri ini sukar sekali merespons isu-isu yang peduli langsung kepada kepentingan rakyat?

Kepemimpinan politik

Secara umum, buku ini mengupas tema kepemimpinan politik, yang memiliki ”sisi-sisi pembeda”, dalam empat bagian. Pertama, bagian pendahuluan membahas motif penulisan buku ini hingga sistematikanya. Meskipun dikemas dalam gaya bahasa yang cenderung dinamis, pada bagian ini terasa kental kekhasan penulis, seorang praktisi-akademisi yang selalu berpijak pada metodologi penulisan.

Keringnya stok literatur tentang kepemimpinan politik secara khusus dibandingkan dengan buku-buku kepemimpinan nonpolitik yang profit oriented adalah salah satu hal yang membuat penulis tergerak untuk menulis. Apalagi, di tengah ingar-bingar euforia politik menjelang momentum pesta demokrasi, ada banyak pelaku politik yang alih-alih mampu membawa kekuasaan politik pada tujuan kesejahteraan masyarakat justru sama sekali tidak memahami benar hakikat, makna, dan fungsi politik, kekuasaan, dan juga kepemimpinan politik. Tidak sedikit para pelaku politik yang bermunculan—bak cendawan di musim hujan—saat ini lahir secara instan dan pragmatis. Sungguh situasi yang berbeda dengan beberapa tahun silam, di mana para politisi yang muncul dari suatu proses godokan ”kawah candradimuka” yang penuh liku dan tantangan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas kepemimpinan. Kepemimpinan diartikan sebagai seperangkat tindakan (pemimpin) dan perilaku tertentu yang mampu menggerakkan perubahan dalam organisasi. Pada bagian ini secara tegas dikatakan, terdapat perbedaan mendasar antara bentuk kepemimpinan dalam bidang bisnis dan bidang politik. Dalam bidang bisnis, kepemimpinan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan keuntungan. Pemimpin merancang visi dan strategi berdasarkan perhitungan pragmatis dan ekonomis, perhitungan untung dan rugi.

Berbeda dengan bidang politik, kepemimpinan diarahkan bukan untuk mencapai tujuan profit. Visi dan strategi dirancang seorang pemimpin politik didasarkan pada tujuan bidang politik itu sendiri. Para pemimpin politik harus terus-menerus berpikir jauh ke depan tentang kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Bukankah itu yang menjadi tujuan politik?

Pemimpin dan manajer

Secara khusus penulis memfokuskan pada pembedaan mencolok antara seorang pemimpin dan manajer. Tampaknya, penulis mencoba untuk mengkritik dengan tidak menyebut para pemimpin politik di Indonesia yang dianggapnya lebih dekat dengan tipe manajer politik daripada tipe pemimpin politik. Ia banyak membandingkan para pemimpin di dunia dengan harapan para politisi yang membaca buku ini dapat melakukan introspeksi.

Sebagai referensi, penulis banyak mengutip pendapat Nixon, mantan Presiden Amerika Serikat. Menurut Nixon, kepemimpinan lebih dari sekadar soal teknis. Kepemimpinan diibaratkan sebuah puisi yang sarat akan simbol, citra, dan visi jangka panjang yang bahkan dapat saja mengubah jalannya sejarah. Tidak hanya itu, seorang pemimpin juga harus berkemampuan mengajak orang lain mengikuti idealismenya itu.

Sebaliknya, seorang manajer hanya bertugas berdasarkan perencanaan yang telah disusun sebelumnya, mengaturnya agar perencanaan tersebut berjalan semestinya. Ia hanya sekadar pelaksana dan pengelola yang hanya berpikir tentang hari ini dan besok. Manajemen bersifat lebih teknis daripada kepemimpinan.

Dalam ulasannya, penulis mencontohkan fenomena naiknya Presiden AS Obama yang tak diduga-duga. Obama bukanlah orang kaya, tapi dia punya gagasan, visi, dan pandangan yang beyond border (melebihi batas). Dengan gagasannya inilah Obama mampu menarik simpati para pengusaha AS dan juga kerelaan masyarakat awam menyumbangkan dana untuk kampanyenya.

Pemahaman ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan John P Kotter dalam bukunya, A For Change: How Leadership Differs from Management (New York: Free Press, 1990). Menurut Kotter, kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan pengembangan visi masa depan dan perumusan strategi untuk merealisasikan visi itu. Ini berbeda dengan fungsi manajemen yang hanya bertujuan menghasilkan predictability dan order, mencapai konsistensi hasil yang diharapkan oleh pihak- pihak yang berkepentingan.

Penulis juga menyoroti hubungan antara pemimpin dan elite, mengingat ada banyak kesalahpahaman pada masyarakat tentang dua terminologi itu. Elite lebih merujuk kepada indeks tertinggi dalam setiap cabang kegiatan. Ia dapat berupa individu atau kelompok sosial tertentu. Dalam politik, elite bukanlah pemimpin, melainkan para elite yang memiliki indeks tertentu (intelektual, militer, aktivis, saudagar, dan lain-lain), dapat bersaing untuk menjadi pemimpin.

Di Indonesia, ada banyak sekali fase, meminjam istilah Anies Baswedan, ruling elite, yaitu suatu fase di mana elite dengan indeks tertentu yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara ini. Saat ini yang paling berpotensi menduduki ruling elite baru di Indonesia adalah kalangan pengusaha. Jika ditarik perhitungan, hampir sepertiga dari anggota DPR periode 1999-2004 berlatar belakang pengusaha/ pebisnis (31,3 persen). Lantas, apa yang salah dengan ruling elite yang baru ini?

Pada buku ini diurai secara rinci bahwa kemunculan ”saudagar politisi” tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hanya saja, kekhawatiran muncul apabila mindset saudagar yang profit oriented akan berkembang dalam politik karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang nonprofit oriented. Munculnya kekhawatiran ini tidak terlepas dari pengalaman pahit bangsa ini tatkala berada dalam fase ruling elite militer di zaman Orde Baru. Pada masa itu, mindset politik Indonesia dijalankan berdasarkan prinsip militer yang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Bagian ketiga buku ini membahas kekuasaan, yang wajib dimiliki seseorang untuk menjalankan kepemimpinannya. Sumber kekuasaan dapat berupa posisi, sifat personal, keahlian, atau peluang untuk mengontrol informasi. Bagian terakhir membahas bagaimana seorang pemimpin politik mengelola kekuasaan yang dimilikinya agar kekuasaan itu dapat dipertahankan, dimanfaatkan, dan kalaupun harus diakhiri, dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Menengarai para pemimpin politik dan politisi di Indonesia, menurut penulis, tampaknya hal inilah yang agak terlupakan. Sebagian besar para pemimpin negeri ini hanya memiliki sifat-sifat pemimpin yang bersifat umum, padahal pemimpin politik tidak cukup hanya dengan karisma dan wawasan, tetapi ia juga harus memiliki indera yang lebih peka untuk dapat merasakan apa yang menjadi keinginan masyarakat yang dipimpinnya.

* Slamet Effendy Yusuf, Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar

Sumber: Kompas, Jumat, 11 September 2009

No comments: