Thursday, September 17, 2009

[Buku] Toleransi: Kontemplasi Spiritualitas

-- Anwar Holid*


KOMPAS/RIZA FATHONI

Data Buku
• Judul Buku: Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna
• Penulis: J Sumardianta
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• Cetakan: I, April 2009
• Tebal: xv + 188 halaman toleransi

PENULIS buku ini dikenal sebagai salah satu peresensi buku yang baik. Kemampuannya menemukan esensi buku dan maksud penulis sungguh baik, juga kuat dalam menafsirkan signifikansi buku. Kekhasan cara bertutur, pilihan diksi, serta kesukaan pada buku beraroma agama dan spiritualisme membuatnya menonjol.

Tulang punggung Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna ialah berupa pustaka yang kuat. Isinya hampir 100 persen berbasis buku, terutama yang awalnya merupakan resensi. Hanya saja kemudian penulis buku ini, J Sumardianta, membongkar naskah ini sedemikian rupa hingga kesan resensinya lenyap, menyisakan pergumulan manusia dengan drama kehidupannya, terutama demi memuliakan diri dan menemukan nilai yang paling berharga, yaitu spiritualitas.

Singkatnya, buku ini berisi kontemplasi perihal masalah sederhana yang berdampak luar bisa dalam hidup tokoh-tokohnya. Upaya ini relatif berhasil, tetapi mempertaruhkan kepaduan isi buku. Boleh dibilang, taktik Sumardianta memang cerdas, tetapi belum terbilang sangat sukses.

Kisah inspiratif

Membaca buku ini, dari bab ke bab pembaca akan bertemu dengan puluhan insan bersama pergumulan hidupnya yang dramatik. Insan itu bisa tokoh dalam buku, jurnalis, pengusaha pers, penerjemah, penyair, rohaniwan, tukang becak, pedagang kecil, atau guru seperti penulisnya sendiri. Kesan umum pergumulan itu ialah betapa spiritualitas merupakan hal esensial dan melekat dalam kehidupan manusia, menjadi persoalan sehari-hari. Ini membuktikan bahwa manusia rindu akan kasih Tuhan. Biasanya, spiritualitas baru bangkit setelah manusia ada di ambang kematian, dihajar derita luar biasa, didera kemiskinan di luar batas nalar, atau merupakan konsekuensi logis dari hasil perjalanan dan renungan mengarungi hidup yang sarat dinamika.

Dengan begitu, meski bentuknya bisa sangat kontras, pengalaman rohani seorang eksekutif kaya raya dengan tukang becak melarat pun kualitasnya sama. Mereka sama-sama merasa dekat dengan Tuhan dan Tuhan menjadi sangat bermakna. Hal yang berbeda dari mereka hanya fenomena dan dampaknya.

Karena subyeknya mengenai kedalaman maupun pengalaman spiritual, apa buku ini terkesan datar? Bagi sebagian orang mungkin iya. Namun, bagi mereka yang haus kebajikan dan hikmah, condong pada iman, mencari-cari kebahagiaan, buku ini justru merupakan appetizer yang dahsyat, membuat ketagihan, sebab contoh orang yang akhirnya takluk kepada Tuhan ada di seluruh halaman.

Sebagian pembaca mungkin akan lebih memilih satu buku utuh berisi pergulatan hidup dan iman seseorang daripada buku berisi kisah-kisah singkat pengalaman rohani. Karena pada dasarnya pengalaman rohani butuh intensitas yang jauh lebih dalam. Di lihat dari sisi itu, Simply Amazing menjadi terkesan hanya di permukaan. Namun, nyatanya berhasil menggambarkan kondisi dengan baik. Sumardianta berhasil dengan jeli memastikan kenapa dan kapan momen-momen spiritualitas seseorang bisa tumbuh (mengalami epifani), lantas membentuk karakter orang tersebut secara permanen. Pengalaman spiritual bukan hanya monopoli orang beragama, melainkan bisa juga terjadi pada orang yang awalnya ateis atau beralih iman. Spiritualitas itu berbeda sedikit dengan religiusitas (keagamaan), ia membutuhkan intensitas penghayatan yang lebih besar dengan kehidupan manusia dan Tuhan.

Meski bungkus utama buku ini spiritualitas, tiga bagiannya menekankan nuansa berbeda-beda. Pertama, mengajak pembaca menyelami pengalaman spiritual sejumlah orang terpilih. Kedua, merasakan pentingnya hidup bersahaja dan tetap tenang meski perjalanan bisa sangat terjal dan penuh halangan. Ketiga, cara berselancar begitu mengetahui ombak besar kehidupan bakal datang.

Mengajarkan toleransi

Komentar Darmaningtyas, seorang tokoh pendidikan, dengan tepat memosisikan Simply Amazing: ”Buku ini bikin pembaca kesengsem. Bahasanya sangat memikat, judul-judulnya unik. Pilihan diksinya tidak lazim. Kisah-kisahnya menggetarkan. Penulisnya lihai mengulas keutamaan hidup bersahaja.”

Buku ini pantas direkomendasikan, baik kepada publik luas sekaligus bisa menjadi contoh sempurna bagi para calon penulis atau peresensi bagaimana sebaiknya mengulas buku sekaligus kembali membongkar isinya untuk keperluan baru. Sumardianta berhasil menghidupkan istilah ”buku beranak buku”, yaitu buku yang lahir berkat keseriusan penulisnya melahap, menggumuli, dan mengandung pemikiran dari ratusan buku lain.

Keunggulan lain buku ini ialah memperlihatkan betapa pemahaman Sumardianta terhadap iman lain—terutama Islam—bagus. Dia mampu menyelami kedalaman spiritual agama Islam, Buddhisme, maupun Hindu. Hal ini cukup mengagetkan bagi seorang guru kolese, yang bukan saja begitu akrab dengan spiritualitas Katolik, melainkan juga sangat jelas komitmen imannya. Lewat pancaran spiritualitasnya, di buku ini Sumardianta mengajari kita soal toleransi dan kebajikan yang amat penting agar terhindar dari bahaya SARA.

Dari segi kepaduan dan penyuntingan, buku ini sedikit membingungkan. Banyaknya kosakata Jawa, istilah Latin, Italia, dan Inggris tampak malah berpotensi merepotkan pembaca umum. Karena amat banyak, pembacaan jadi terhalang dan kurang lancar meski boleh jadi niat penulis ialah memperlihatkan kekayaan khazanah bahasa serapan Indonesia. Penulis seakan-akan memaksa pembaca harus membaca istilah asing tersebut meski sebagian besar sebenarnya bisa dipadankan dengan baik.

Tumpang tindihnya beberapa topik serupa juga kurang berhasil disiangi editor. Sejumlah hal dengan konteks mirip berulang lagi di tempat lain. Misal ketika penulis membahas spiritualitas dan ketabahan penduduk Anand Nagar, kawasan miskin di Calcutta, India, dalam buku The City of Joy (Dominique Lappiere). Topik ini muncul pada halaman 19 dan 60. Ini memperlihatkan betapa upaya mengubah naskah sumber butuh kejelian dan keberanian yang lebih. Salah eja terjadi berkali-kali, semisal ”Nietzche”, mestinya ”Nietzsche”. Juga Amstrong dan Amrstrong, mestinya ”Armstrong”.

Satu hal penting yang dilematik bagi Sumardianta ialah klaim terhadap karakter umum bangsa Indonesia. Dia mengklaim bahwa kehidupan bangsa Indonesia sekarang mengidap social distrust (kecurigaan sosial) yang tinggi dan solidaritasnya rendah (hal xiv). Anehnya, dia sendiri malah lebih sering menghadirkan contoh orang Indonesia dengan integritas kuat untuk mengimbangi kemelaratan mental itu. Justru di buku ini tampak klaimnya otomatis runtuh sendiri sebab betapa orang Indonesia itu masih berhati mulia, tanpa pamrih, dan punya sifat spiritualitas tinggi sebagaimana keyakinan kita selama ini. Nilai agung itu belum luntur sebagai ciri umum bangsa Indonesia.

* Anwar Holid, Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung; Bekerja sebagai Penulis, Editor, dan Publisis

Sumber: Kompas, Kamis, 17 September 2009

No comments: