-- Zulhasril Nasir*
BEBERAPA hari lalu, kubur Tan Malaka di Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, dibongkar.
Ibrahim Datuk Tan Malaka sejak tewas 60 tahun lalu hampir tidak ada yang peduli, termasuk negara. Orang yang berjasa menyelidiki dan menemukan makam Tan Malaka adalah Dr Harry A Poeze, sejarawan Belanda.
Sejak 37 tahun lalu, Poeze meneliti Tan Malaka (seperti sering dikatakan) mulai dari menulis skripsi. Dengan metodologi sejarah, Poeze menemukan makam Bapak Republik Indonesia itu meski disambut dingin pemerintah. Berkali-kali Poeze datang dan berusaha mengambil perhatian pemerintah dan publik. Terakhir, Poeze mengadakan diskusi tentang Tan Malaka di Megawati Institute (Kompas, 21/8).
Apa yang kita pikirkan?
Apa yang sebenarnya kita pikirkan tentang Tan Malaka?
Ada beberapa kemungkinan yang mengganjal hati kita dan pemerintah untuk memberi perhatian kepada (kuburan) Tan Malaka. Pertama, faktor psikologi sosial; kedua, kemauan politik dari pemerintah dan elite politik; ketiga, kesadaran bersejarah publik.
Faktor psikologi-sosial telah mengubur gagasan Tan Malaka, khususnya
sejak Soeharto berkuasa. Imunitas publik pada ideologi kerakyatan seolah melayang dan haram dalam wacana publik, berganti kepada rezim pragmatis otokrasi-feodal yang membawa negeri ini nyaris kehilangan identitas sebagai negara-bangsa. Pengikisan ideologi kiri kerakyatan Soekarno (desoekarnoisasi) tahun 1966 berimbas pada desjahririsasi, dehattaisasi, dan detanmalakaisasi, berganti menjadi militerislistik otoriter.
Gagasan pembangunan bangsa dari para pendiri bangsa pelan- pelan terkubur dalam memori bangsa. Usaha membangkitkan kembali gagasan itu menjadi sia- sia di tengah gemuruh arus kapitalisme global dan neoliberalisme. Bangsa ini telah telanjur menjadi sekrup mekanisme pasar dan budaya global, lalu menjadikan negeri ini tak berdaya dan jalan yang dianggap aman ialah tidak melawan arus itu. Ketika kesadaran tumbuh bahwa kapitalisme dan neoliberalisme bukan tujuan bangsa ini, maka tidak banyak orang sadar betapa pentingnya rujukan yang diberikan para pendiri bangsa 64 tahun lalu. Tan Malaka bahkan tegas menandaskan, ”Indonesia harus merdeka 100 persen karena itu kemerdekaan hakiki.”
Iklim sosial warisan Orde Baru yang tumbuh dan berkembang selama 32 tahun akibatnya masih terasakan hingga kini. Beberapa generasi dicekoki pemikiran atau gagasan otoritarian dan koruptif yang kemudian menjadi perilaku keseharian, jauh dari pemikiran ideal berbangsa.
Tak ada kemauan politik
Peringatan hari kemerdekaan beberapa waktu lalu seharusnya diarahkan kepada penyegaran dan introspeksi bangsa pada apa yang telah mereka (para pemimpin) laksanakan dan apa yang perlu dilaksanakan untuk mencapai cita-cita bangsa. Jika tidak, negeri ini bagai layang-layang putus, melayang tak tentu arah.
Tiadanya kemauan politik pemerintah terlihat dari persepsi mereka atas tokoh Tan Malaka. Bagaimanapun, para elite kuasa tak ingin terlibat sesuatu yang masih dianggap kontroversi. Ini akibat didikan Soeharto, yang berbau kiri belum diterima.
Dari sisi lain, bagi pejabat terkait, mereka ingin selamat dan menjadi bagian elite kuasa. Maka, nasib makam dan eksistensi kepahlawanan Tan Malaka sulit diwujudkan dalam waktu dekat.
Ketidakmenentuan dan tidak adanya komitmen negara ini sebenarnya hal yang amat janggal. Seharusnya pemerintah membantu dan bertanggung jawab atas ditemukannya makam Tan Malaka karena negara, melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963, telah menyatakan sebagai pahlawan nasional.
Sebagai anak bangsa, kita patut miris dan kehilangan muka, justru yang ngotot dan meneliti ketokohan dan kepahlawanan Tan Malaka adalah sejarawan dari negeri Belanda, Harry Poeze. Ia telah meneliti dan menulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 dan terakhir dalam buku setebal 2.200 halaman, Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945- 1949, yang dibahasa-indonesiakan menjadi enam jilid: Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949. Berbagai kegiatan diskusi di Bukittinggi dan beberapa tempat belum mampu mencairkan pikiran elite bangsa dan hanya hinggap di beberapa intelektual di kampus. Catatan terpenting bagi bangsa ini ialah, Poeze meneliti sejarah dan menemukan makam Tan Malaka setelah pemimpin bangsa ini tidak peduli. Sumbangsih kepakaran itu seharusnya memperoleh dukungan opini publik, cendekiawan, dan pemerintah.
Kita pun merasa yakin masyarakat sudah mulai bangkit kesadaran bersejarahnya terutama sejak jatuhnya Orba. Hanya saja mereka masih belum yakin apakah membenahi sejarah sebagai suatu yang amat penting dewasa ini. Maka, saya pun beranggapan para tokoh politik dan intelektual wajib membangkitkan semangat bersejarah ini karena sejarah adalah cermin masa lalu kita yang menentukan masa kini dan pedoman masa depan bangsa. Ketika kita mengacuhkan sejarah, maka kita pun tidak tahu akan ke mana bangsa ini berjalan.
* Zulhasril Nasir, Penulis Buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura; FISIP UI
Sumber: Kompas, Jumat, 25 September 2009
No comments:
Post a Comment