Sunday, September 13, 2009

[Ruang Putih] Ganyang-mengganyang

-- A.S. Laksana

When you got nothing, you got nothing to lose.

- Bob Dylan

MUNGKIN kita diam-diam memiliki baya­ngan yang bersifat kuliner tentang Malaysia; mung­kin negeri jiran itu tampak di mata kita se­bagai seekor kambing muda --atau cempe me­nurut lidah orang Jawa-- sehingga setiap kali kita terganggu oleh tabiatnya kita buru-bu­ru ingin mengganyangnya. Niat pertama untuk mengganyang si cempe muncul tahun 1963 dan di­suarakan sendiri oleh Presiden Soekarno da­lam cara yang, tentu saja, sangat menggelora.

Demokrasi Terpimpin sudah berjalan empat ta­hun saat itu dan perekonomian kita remuk di­guncang ''setan inflasi'' yang melambungkan har­ga-harga ke tingkat yang sulit dijangkau. Na­mun Si Bung pantang kelihatan loyo. Ia meng­umumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada bulan Maret, dan bulan berikutnya me­la­kukan pemancangan tiang yang menandai pem­bangunan Toko Serba Ada (Toserba) Sarinah, gedung tinggi pertama di Jakarta yang men­­julang ke langit setinggi 14 lantai.

Ada kritik bermunculan seperti hama, tetapi Si Bung punya tangkisan. ''Janganlah ada satu orang manusia mengira bahwa department store adalah satu proyek luxe, tidak!'' katanya man­tap. ''Menurut anggapan saya, department store adalah satu alat distribusi untuk mendistri­busikan barang-barang keperluan hidup kepa­da rakyat jelata.''

Pernyataan itu mungkin sulit dibenarkan da­lam pengalaman kita hari ini, tetapi saat itu Pe­mimpin Besar Revolusi memerlukan Sarinah de­ngan alasan apa pun. Ia memerlukan sesuatu yang menjulang dan memancarkan cahaya ge­merlap di tengah masa suram yang menggiriskan. Selanjutnya, Mei 1963, setelah pembicara­an dengan IMF dan pemerintah Amerika Serikat, ia mengumumkan paket reformasi eko­nomi, yang nantinya tak bisa dijalankan karena ia bersikeras menolak pembentukan negara Ma­laysia.

Menurutnya, negara baru ini hanyalah proyek akal bulus neokolonial Inggris, jadi sudah se­pan­tasnya kita ganyang saja. Tak usah takut pa­da Inggris, jangan gentar pada Amerika. Ing­gris kita linggis, Amerika kita seterika. Lalu di­lancarkanlah operasi ke Sabah dan Serawak. Juga ada pertemuan pribadi di Tokyo antara Bung Karno dan Tunku Abdul Rahman, perda­na menteri Malaysia. Dan, bagaimanapun, se­telah pertemuan itu Si Bung tidak mengendur­kan semangat konfrontasinya dengan Malaysia.

Ia tetap ingin mengganyang Malaysia. Hanya sa­ja perekonomian kita agaknya tak sanggup me­nopang operasi tersebut dan justru semakin ko­car-kacir sampai mencapai tingkatan nyaris ka­ram dengan inflasi 650 persen. Dalam kondisi terburuknya, tahun 1965, nilai rupiah bah­kan sempat jatuh mengenaskan di mana 1 dolar AS melambung setara dengan Rp 30 ribu. Pun­cak dari seluruh kepahitan itu, Anda tahu, ada­lah me­letusnya Gerakan 30 September (atau Bung Kar­no menyebutnya Gerakan 1 Oktober), dan seluruh rangkaian bencana tahun itu ditutup dengan kebijakan sanering (pemotongan ni­lai mata uang) pa­da bulan Desember --seribu rupiah di­penggal ni­lainya menjadi hanya satu rupiah.

Bung Karno jatuh setelah itu dan Malaysia se­gar bugar sampai hari ini dan rata-rata warga­nya hidup lebih makmur ketimbang rata-rata ki­ta. Tak ada masalah. Tapi kita beberapa kali men­dengar kabar penyiksaan pembantu dari In­donesia oleh majikan-majikan Malaysia. Yah, sedikit banyak ada masalah di situ, itu tak bera­dab. Lalu kita mendengar kabar mereka me­ng­ang­kangi Pulau Ambalat, belakangan juga Pu­lau Jemur. Aih, memang tak banyak orang In­donesia yang tahu di mana kedua pulau itu, tetapi bisa dibilang tindakan Malaysia itu keter­laluan. Lalu kita dengar mereka mengklaim la­gu Rasa Sayange. Alamaaak, itu ngawur. La­lu mereka menyerobot reog Ponorogo. Apa bo­leh buat, itu gila. Lalu mereka mencatut Tari Pen­det. Oke, ''Ganyang Malaysia!''

Hasrat mengganyang jiran kali ini jelas berbe­da dari versi 1960-an; ia tidak terlontar dari mu­lut pemimpin negara, tetapi dari kegeraman orang-orang yang sudah tak tahan pada dua hal. Per­tama, tak tahan pada perilaku tetangga se­belah. Kedua, tak tahan menunggu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Saya tidak tahu apakah kemelut rumah tangga Manohara de­ngan bangsawan Malaysia ikut menyumbang perasaan tak tahan mereka. Saya juga tidak ta­hu apakah keadaan ekonomi kita hari ini turut mem­pernyaring seruan pengganyangan.

Saya tidak ingin serampangan mempersama­kan kondisi perekonomian waktu itu dengan kon­disi sekarang. Jelas bahwa sekarang Anda ti­dak harus menyaksikan orang-orang mengantre sembako setiap hari. Sekarang paling hanya se­sekali kita melihat pemandangan yang mirip-mirip itu; orang-orang berebut uang sedekah Rp 20 ribu dan beberapa tewas terinjak-injak; orang-orang berebut bantuan sembako dan be­berapa mati dalam antrean yang sesak; orang-orang tak berdaya ketika anak-anak mereka di­sandera oleh pihak rumah sakit karena tak sang­gup membayar biaya perawatan, dan sebagainya.

Pada orang-orang yang sudah terdesak seper­ti itu, yang tak bisa lagi maju atau mundur ke ma­na pun, Anda tak boleh main senggol semba­rangan. ''Sebahaya-bahayanya makhluk hidup ada­lah mereka yang tak punya apa-apa lagi... me­reka sungguh tak tertandingi,'' kata James Baldwin, penulis dan aktivis hak asasi kulit hitam Amerika, dalam bukunya Nobody Knows My Name (1961).

Orang-orang yang tak tertandingi itu rela mati de­mi berebut sedekah dan bantuan sembako; saya kira mereka dengan riang akan menyedia­kan diri sebagai relawan untuk mengganyang Malaysia atau apa saja yang boleh diganyang. Ini pernyataan yang sungguh-sungguh. Anda ta­hu, aksi-aksi heroik seringkali merupakan hi­buran yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang nyaris putus asa. Amerika memerlukan sosok Rambo, yang terampil membabat Viet­kong seorang diri, ketika pada kenyataannya mereka compang-camping dalam perang Viet­nam. Amerika memerlukan Saddam Hussein yang harus ditumpas dengan dalih apa pun agar ada alasan untuk menegakkan kepala. Dan Bung Karno memerlukan Malaysia untuk diganyang.

Hari ini, 46 tahun kemudian, kita mendengar lagi seruan yang sama. Saya betul-betul terpe­sona beberapa hari lalu di depan pesawat te­levisi saat menyaksikan kesungguhan para ang­gota Relawan Ganyang Malaysia meng­gembleng diri mereka dalam latihan olah ka­nuragan di sekretariat mereka. Mereka me­mainkan jurus bam­bu runcing, senjata ampuh warisan nenek mo­yang, yang mereka hias dengan bendera me­rah putih kecil. Harap jangan memperbanding­kan latihan mereka de­ngan sandiwara tujuh-be­lasan, yang saya sak­sikan ini jauh lebih patriotik.

Mereka juga menunjukkan kekuatan batok ke­pala dan kekebalan tubuh; mereka mengunyah beling dan kaca seolah-olah menikmati ke­ripik singkong. Jika mereka betul-betul dibe­rangkatkan ke Malaysia, saya bayangkan me­reka pastilah akan membikin keder semua orang di sana. Dengan otot kawat, tulang besi, dan usus pipa ledeng, mereka niscaya akan mam­pu mengobrak-abrik seluruh gedung di sa­na dan memecahkan kaca gedung-gedung itu dan memakan habis belingnya. Saya yakin ne­geri jiran itu akan bangkrut seketika oleh aksi para relawan kita dan selanjutnya mereka pasti jera main serobot seenaknya. (*)

* A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 13 September 2009

No comments: