Jakarta, Kompas - Karena tak ada biaya untuk perawatan, sejumlah pemilik naskah kuno cenderung menjualnya ke pedagang perantara yang masuk ke kampung. Mestinya pemerintah menyediakan dana yang memadai untuk perawatan dan penelitian naskah kuno.
”Jika anggaran pemerintah terbatas, mestinya pemerintah bisa mendorong yayasan atau perseorangan terlibat dalam penyelamatan naskah kuno,” kata filolog Suryadi, peneliti dan dosen di Leiden University, Belanda, Kamis (17/9).
Dia mencontohkan, di Inggris ada Yayasan Arcadia, yang menghimpun dana dari orang-orang kaya. Dana tersebut kemudian digunakan untuk penelitian, pelestarian, dan pemeliharaan kebudayaan tradisional, termasuk naskah kuno (manuskrip).
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Abdul Kadir Ibrahim mengungkapkan, pihak Malaysia dan Singapura sampai sekarang terus mengincar dan menawar naskah-naskah kuno yang disimpan warga di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
”Pihak pembeli berani menawarkan harga Rp 5 juta sampai Rp 20 juta per naskah kuno. Bahkan, ada naskah yang kalau mau dijual, pembeli berani dengan harga berapa pun besarnya,” katanya.
Ia menjelaskan, naskah-naskah kuno di Kota Tanjung Pinang banyak diincar, banyak terdapat naskah kuno peninggalan Kerajaan Melayu (Riau Lingga) pada tahun 1722 sampai 1911.
Sekitar 200 tahun lalu Pulau Penyegat menjadi Pusat Kerajaan Melayu, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan Melayu. Naskah-naskah kuno berupa catatan sejarah dan budaya banyak tersimpan di kawasan tersebut.
Naskah-naskah yang banyak diincar antara lain karya-karya Raja Ali Haji, Aisyah Sulaiman Riau, Haji Ibrahim, dan Rusydiah Club. Bahkan, untuk karya berjudul Syair Kadamuddin karya Aisyah Sulaiman Riau, berapa pun harganya, pihak pembeli berani bayar.
Pemerintah Kota Tanjung Pinang, kata Abdul Kadir Ibrahim, memberikan perhatian tinggi kepada masyarakat yang masih menyimpan naskah-naskah kuno. Bahkan, ada seorang warga mempunyai koleksi sampai 50 naskah kuno. Salah satunya Kitab Pengetahuan Bahasa, karangan Raja Ali Haji, yang ditulis abad ke-19.
”Sebagian karya yang merupakan warisan budaya Melayu yang tak ternilai harganya itu disimpan di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang diresmikan Januari 2009 lalu,” kata Abdul Kadir Ibrahim.
Karena keterbatasan dana perawatan dan dana pengganti bagi masyarakat yang mau menyerahkannya ke museum, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang itu berharap perhatian dari pemerintah pusat. Hal itu karena, dengan keterbatasan dana, selain naskah kuno yang ada terancam hancur atau rusak, juga dikhawatirkan bisa berpindah tangan.
Kenyataan yang sama sebelumnya juga diungkapkan Mukhlis PaEni, ahli dan peneliti naskah kuno, dalam seminar ”Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya”, di Jakarta. ”Manuskrip Nusantara mengalir setiap hari ke tangan pembeli naskah/manuskrip yang berani membayar paling rendah Rp 5 juta untuk jenis naskah yang apa adanya dan compang-camping hingga Rp 50 juta untuk naskah-naskah utuh bahkan lebih,” katanya.
Naskah-naskah Nusantara dari berbagai daerah kebanyakan dibawa ke Malaysia dan Singapura. (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 September 2009
No comments:
Post a Comment