-- Komaruddin Hidayat
KETIKA Rumi, sang sufi, meniup seruling, hatinya merasa sedih dan pilu karena yang terdengar dari seruling itu adalah tangis kerinduan untuk kembali bergabung dengan rumpun bambu tempat dia berasal.
Begitulah Rumi mengingatkan, bisikan rohani terdalam kita selalu merindukan kampung asal bersama teman-teman di surga firdaus, mirip kerinduan hati untuk pulang mudik ke kampung halaman setiap Lebaran tiba.
Entah sudah berapa juta tahun anak-cucu Adam tinggal di bumi dan berapa nabi dan agama terlahir menyampaikan panggilan dan petunjuk untuk menapaki jalan lurus menuju Tuhan. Telah muncul ratusan agama, semua menawarkan jalan terdekat menuju Tuhan. Namun, yang terkenal dan memiliki banyak pengikut saat ini mungkin hanya lima rumpun agama, Hindu, Buddha, Yahudi, Katolik/Kristen, dan Islam, meski di luar yang lima itu ada ratusan agama menurut definisi dan keyakinan pendukungnya.
Ibarat air dan sungai
Andaikan Anda tanyakan kepada air minum yang terhidang di atas meja, ke mana gerangan dia hendak bepergian, jawabnya dia sedang bergulat dengan nasib meneruskan perjalanan menuju samudra luas berkumpul dengan yang lain. Begitupun setetes embun yang menempel di daun pada pagi hari, atau air yang tergenang di kolam, mereka senantiasa damba menemukan lorong sungai yang mengantarkan pulang ke samudra. Air hujan yang tumpah ke bumi membawa berita untuk sesamanya yang sudah lama tinggal di perut bumi, di kolam dan danau, bahwa samudra, bak sang ibu, senantiasa menunggu dan merindukan kepulangan mereka untuk berkumpul kembali.
Maka muncul ribuan sungai berpawai sambil meneriakkan tangis rindu serta kegembiraan untuk kembali menyatu dengan samudra luas, jernih, dan indah tempat asal mereka. Di antara sungai-sungai itu mungkin ada yang kesal dan marah karena seribu macam kotoran dan penyakit ditimpakan kepadanya oleh manusia sehingga jalannya lamban dan menjadi cemohan orang. Namun, banyak juga yang tertawa karena airnya yang jernih dengan ikannya yang cantik-cantik hidup berseliweran, sementara sawah yang dilewati menyampaikan terima kasih karena menjadi subur.
Namun, bagaimanapun kondisi sungai itu, semua airnya memiliki target akhir yang sama, kembali ke samudra, meski mungkin di antara serombongan air itu ada yang berputar-putar dan entah berapa ratus tahun baru sampai ke tujuan akhir.
Meski jumlah sungai mencapai ribuan, namun saat didekati, tiap sungai itu unik, masing-masing memiliki nama, kedalaman, panjang, dan wilayah sendiri. Jenis ikan dan sampahnya pun berbeda-beda. Namun, jika Anda menaiki pesawat terbang lalu berputar-putar melihat dari atas, akan terlihat semua sungai itu memiliki kesamaan, berjuang menuju samudra.
Demikianlah, mungkinkah ratusan agama yang dipeluk jutaan, bahkan miliaran penduduk bumi itu ibarat sungai-sungai yang menghimpun kerinduan rohani manusia untuk mendekat dan bergabung dengan Tuhan? Bukankah Tuhan bagai samudra kasih yang senantiasa menampung dan merindukan semua roh manusia untuk bergabung kembali dengan-Nya? Dari mana pun arahnya, apa pun yang terbawa olehnya, samudra tak pernah menolak kehadiran sungai. Berbagai virus yang dibawa bahkan dinetralisir, tetapi sebagian kotoran akan diempaskan kembali ke daratan.
Di balik keunikan tiap agama dengan segala ragam karakter, wajah, dan penampilannya—di antaranya ada yang ramah dan yang menakutkan—saat diurai, pada lapisan terbawah ada riak dan arus kerinduan tiap anak cucu Adam yang bergabung di dalamnya untuk kembali kepada Tuhan. Tiap agama mengajarkan kidung pujian pada-Nya. Dan tiap jiwa pada akhirnya akan kembali kepada-Nya.
Menuju samudra
Jika saja semua agama—sebagaimana sungai-sungai itu—dijaga kejernihannya dan ditata rapi, semua orang akan merasa senang memandangnya. Bahkan, di berbagai negara, sungai di tengah kota dipandang warganya sebagai hiasan. Sungai itu menjadi kesayangan. Warga kota ramai-ramai menjaga kebersihan dan keindahannya karena menjadi tempat rekreasi yang sedap dipandang mata.
Sekali lagi, jika ratusan agama itu bisa dianalogkan dengan ratusan sungai, biarlah semua mengalir menuju samudra dari arah berbeda-beda dengan karakter masing-masing. Biarlah para pemeluknya merawat baik-baik agar menyuburkan semua tanah yang dilalui dan indah dipandang mata.
Suka atau tidak, di muka bumi ini ada ratusan sungai—sebagaimana ratusan agama—yang semuanya menampung himpunan air, ingin kembali ke samudra.
Alangkah damainya jika kita mampu dan berlapang hati menatap keragaman itu sebagai realitas kehidupan yang pantas dirayakan. Namun, selalu saja ada orang yang bertengkar membuat kapling-kapling nama lautan, padahal saat air bertemu samudra, dia tidak memedulikan lagi apakah bergabung di Laut Jawa, Lautan Hindia, Selat Sunda, Pasifik, atau tempat lain karena hakikat samudra adalah satu. Samudra itu satu dengan beragam nama, sebagaimana esensi air sama tetapi bergabung ke sungai dengan beragam nama?
Setelah satu bulan melaksanakan ibadah puasa, semoga kita menemukan kembali kefitrian sehingga menjadi pribadi yang lapang, penyebar damai, dan bisa merayakan keragaman hidup.
* Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 September 2009
No comments:
Post a Comment