[JAKARTA] Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), telah melakukan pembohongan terhadap publik mengenai pendidikan gratis. Sebab, kenyataan di lapangan masih banyak anak putus sekolah, karena biaya pendidikan yang mahal.
Pengamat Pendidikan Prof HAR Tilaar yang sedang berada di Belanda menegaskan hal itu ketika diminta tanggapannya soal pendidikan gratis baru-baru ini. Menurut Guru Besar emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, pendidikan hanya dijadikan kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan.
Pendidikan gratis hanya untuk membentuk opini masyarakat bahwa semua biaya sekolah ditanggung negara, sehingga seakan pemerintah telah melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Kalaupun pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) diklaim sebagai pendidikan gratis kata Tilaar, itu adalah suatu kebohongan.
"Masyarakat tidak perlu ditipu. Bantuan dana BOS juga tidak bisa dikatakan pendidikan gratis, ini juga kebohongan publik. BOS baru memenuhi sebagian kecil saja, nah bagaimana di sekolah yang miskin, bagaimana mereka mendapatkan pendidikan bermutu," katanya.
"Karena anggaran yang ditetapkan UUD 1945 adalah minimal 20 persen, tetapi itu belum cukup. Kalau dipaksakan gratis, akibatnya justru banyak pungutan lain dari sekolah, karena tanggungan negara belum cukup membiayai operasional sekolah," katanya.
Untuk itu, pendidikan gratis perlu bertahap. Lebih tepatnya dimulai dengan pendidikan yang terjangkau. Artinya, lebih murah dan bisa dijangkau oleh masyarakat, sehingga mengurangi beban orangtua. Setelah terjangkau, secara bertahap naik menjadi gratis.
Sementara itu, Direktur IER Universitas Paramadina Utomo Dananjaya mengatakan, pendidikan gratis jangan disalahartikan. Pendidikan itu mahal, sehingga dalam amendemen UUD 1945 diprioritaskan wajib belajar sembilan tahun yang dibiayai pemerintah agar tidak semuanya ditanggung.
Dalam hal ini menurut Utomo, BOS merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam memberikan sekolah gratis. Anggaran BOS selama ini pun, menurut Utomo, sudah cukup menanggung biaya sekolah semua siswa SD dan SMP.
Malaysia 32 Persen
"Di Malaysia misalnya, anggaran pendidikan 32 persen dari APBN, untuk uang sekolah, seragam, dan buku. Thailand 25 persen untuk pusatnya, dan untuk negara bagiannya mempunyai 25 persen. Indonesia sudah 64 tahun merdeka, namun ide ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah," katanya.
Karena itu, menurut Utomo, Mendiknas tidak pantas mengiklankankan sekolah gratis secara vulgar di media masa. Apalagi pada saat menjelang berakhir masa jabatannya. [DMF/M-15]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 23 September 2009
No comments:
Post a Comment