-- Trusty T Santoso*
• Judul: Rumah Untuk Rakyat: Sebuah Refleksi 63 Tahun Indonesia Merdeka
• Penulis: Panangian Simanungkalit
• Penerbit: Jakarta, Gibon & Pusat Studi Properti Indonesia
• Cetakan: II, 2009
• Tebal: 219 halaman
RUMAH adalah kebutuhan sangat penting dan mendasar. Namun, rumah yang layak huni tampaknya masih menjadi sebuah mimpi bagi rakyat miskin.
Sejatinya, kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai 64 tahun benar-benar dirasakan seluruh rakyat. Makna kemerdekaan adalah bebas dari belenggu penjajahan, bebas dari rasa ketakutan dan bebas dari kemiskinan. Namun, kebanyakan rakyat miskin masih hidup di bawah ketakutan. Takut rumah mereka tiba-tiba digusur karena menempati tanah negara. Mereka yang tidak memiliki rumah dan terpaksa tidur di emperan toko pun takut dikejar-kejar petugas penertiban.
Padahal, tujuan kemerdekaan seperti yang tercantum dalam dasar negara kita, warga negara memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi negara. Paling utama hak-hak tersebut adalah papan, sandang, dan pangan. Hal inilah yang selama hampir 20 tahun mengusik hati dan pemikiran Panangian Simanungkalit. Menurut pandangannya dalam buku ini, kalau papan terpenuhi, maka manusia Indonesia akan lebih bermartabat karena itu merupakan kebutuhan sangat penting dan mendasar.
Sayangnya, reformasi ternyata belum mampu memberi harapan bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan perumahan rakyat. Panangian menilai, reformasi berjalan tanpa persiapan substitusi ideologi baru guna menangani berbagai masalah yang terkait dengan pembangunan negeri ini, tak terkecuali masalah pembangunan perumahan.
Dari berbagai data, penulis buku ini menunjukkan angka kekurangan rumah mencapai 9 juta unit. Angka ini merupakan perwakilan dari rakyat yang hidup miskin dan terpaksa bernaung di kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, dan tempat lain yang tidak manusiawi. Sebagian besar mereka yang memiliki rumah ternyata termasuk dalam kategori kurang dan tidak layak huni.
Dari angka 51 juta unit rumah saat ini, hanya 17 juta unit rumah yang layak huni. Sisanya, 34 juta unit, masuk dalam kategori kurang layak huni. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13,6 juta unit rumah berada di pedesaan dan 17,4 juta unit rumah kurang layak berada di perkotaan. Data dari kantor Menpera memperlihatkan terdapat sekitar 15.000 lokasi permukiman di seluruh wilayah Tanah Air yang dihuni sekitar 30 juta jiwa.
Di Jakarta, hingga tahun 2007, kawasan kumuh bahkan mencapai 40 persen. Kalau Jakarta saja sebagai ibu kota Republik Indonesia belum mampu mengatasi masalah perumahan, agaknya kita tak dapat berharap banyak akan terjadi perbaikan pembangunan perumahan dan permukiman di daerah lain Indonesia.
Kebijakan penataan dan pengaturan pembangunan perumahan telah dilakukan sejak Indonesia merdeka, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1/1964 yang mengacu pada UU Nomor 6/1962 tentang Pokok-pokok Perumahan. Sejak tahun 1973, perumahan tercantum dalam GBHN 1973 yang menyatakan perlunya perhatian lebih konkret dan maksimal bagi perumahan rakyat, sistem pembiayaan, serta penyuluhan terhadap masyarakat tentang rumah layak dan sehat.
Tujuan pembangunan perumahan nasional tak bisa lepas dari prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti diamanatkan dalam UUD 1945 (Amandemen, Pasal 28 H ayat 1), setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal di lingkungan hidup layak dan sehat. Adalah kewajiban bagi penyelenggara negara (pemerintah) dalam memenuhi hak kebutuhan dasar (papan) bagi seluruh anak bangsa.
Panangian lantas menyinggung implementasi pembangunan perumahan untuk rakyat yang selama ini lebih banyak penyimpangan. Penjualan rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi di Jakarta saja ternyata salah sasaran. Pembangunan yang terealisasi rata-rata hanya 1.000 unit per tahun. Padahal, kebutuhan merelokasi warga di kawasan kumuh memerlukan 125.000 unit. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan Pemprov DKI Jakarta menangani kawasan kumuh. Aparat pemerintah lebih gemar menggusur rumah-rumah warga miskin kota tanpa mencarikan alternatif solusi yang tepat.
Negara lain
Dalam buku ini penulis mengajak belajar dari sejarah pembangunan perumahan di berbagai negara. Pada masa revolusi industri di Inggris, kaum buruh yang upahnya sangat rendah mulai mendirikan gubuk di kawasan kumuh.
Pemerintah Inggris segera menyadari kekeliruannya, tetapi tidak serta-merta menggusur mereka. Pemerintah justru membangun rumah layak huni bagi kaum buruh dan menjadikan permukiman kumuh daerah yang lebih tertata. Para buruh bahkan dilibatkan dalam pembangunan permukiman itu. Hasilnya, penduduk yang tadinya miskin menjadi lebih sejahtera. Begitu juga kondisi kota-kota besar lain, berangsur-angsur menjadi kota bersih, rapi, nyaman, dan aman dari berbagai tindak kriminal.
Di Thailand, pemerintah melakukan serangkaian program permukiman bagi warga miskin kota dengan memberlakukan tarif sewa murah. Hasilnya, mereka bisa berteduh di rumah yang lebih layak dan tingkat kesejahteraan mereka juga membaik. Kini, permukiman kumuh di Negeri Gajah Putih ini diperkirakan tinggal 3 persen dari 36 persen pada tahun 1960-an. Demikian pula di Malaysia.
Seharusnya, paradigma pembangunan perumahan nasional melibatkan seluruh masyarakat dalam menuju kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat, tidak terkecuali rakyat miskin. Namun, realitasnya masih jauh dari harapan. Di sini ada kesenjangan yang begitu menganga. Kebijakan pembangunan perumahan nasional masih memihak kepada pemilik modal (pengusaha, pengembang, dan investor individual).
Paradigma yang digunakan pembangunan perumahan yang menitikberatkan pada pencarian keuntungan sebesar-besarnya. Bukan sebaliknya, untuk kemaslahatan sebesar-besarnya bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Retorika kemakmuran pasti akan menetes ke bawah (masyarakat miskin), malah hanya melayani para pengembang dan spekulan tanah. Akibatnya, hak atas perumahan, terutama untuk kalangan miskin, dipandang sebagai seolah-olah hadiah dari pemerintah kepada rakyat, bukan kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah. Cara pandang seperti ini jelas kekeliruan mendasar.
Menurut Panangian, ada dua peranan pemerintah dalam pembangunan perumahan yang diterapkan di negara-negara di dunia. Pertama, pemerintah sebagai pembangun perumahan atau paling tidak memfasilitasi pembangunan perumahan. Kedua, pemerintah sebagai pengendali pembangunan perumahan.
* Trusty T Santoso, Penulis Freelance untuk Bahasan Properti
Sumber: Kompas, Minggu, 13 September 2009
1 comment:
kalo mau pesan buku ini... kontaknya apa y?
Post a Comment